Sejumlah massa menunggu kedatangan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab di kawasan Petamburan, Jakarta, Selasa (10/11). Habib Rizieq Shihab kembali ke tanah air setelah berada di Arab Saudi selama tiga setengah tahun | Republika/Putra M. Akbar

Opini

Setelah Habib Rizieq di Tanah Air

Revolusi akhlak adalah teras wacana dan cita-cita kembalinya Habib ke Tanah Air.

ASWAR HASANDosen Unhas Makassar, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat.

Habib Rizieq Shihab sang Imam Besar, akhirnya tiba di Tanah Air setelah sekitar tiga tahun hijrah ke Arab Saudi. Kedatangannya telah lama di nanti, khususnya bagi jamaah pengikut setianya FPI dan PA 212. 

Bagi sejumlah umat Islam Indonesia, Habib Rizieq dianggap ulama dan pemimpin umat yang diharapkan bisa memenuhi kerinduan akan sosok yang bisa mengisi kekosongan ketokohan yang dibanggakan semua pihak.

Menjadi pemersatu, panutan sejuk  yang berada di garda terdepan memecahkan problem kebangsaan dalam memperkuat negara, untuk pemerintahan yang bersih, adil, dan peduli. Akankah harapan itu bisa terpenuhi? Di situlah tantangan besarnya. 

Revolusi akhlak 

Revolusi akhlak adalah teras wacana dan cita-cita kembalinya Habib ke Tanah Air. Memang, masalah akhlak dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara saat ini sedang mengalami krisis. 

Revolusi mental, program nasional pemerintah seolah hanya bergaung kencang tanpa berefek getar di hati nurani anak bangsa. Perilaku korup semarak, saling caci terutama di media sosial menjadi menu keseharian, dan penegakan keadilan tebang pilih. 

Sudah saatnya pemerintah memandang dan memosisikan Habib Rizieq sebagai aset bangsa yang bisa diajak bermitra secara sinergis dan strategis, dalam membangun dan menata kepribadian bangsa untuk menghadapi aneka tantangan berbangsa. 

Tentu, dengan tetap membuka ruang kritik bagi Habib. Perbedaan hingga perseteruan politik, saatnya diakhiri dengan harmoni berbeda tapi satu, berseberangan tapi saling merindukan tanpa saling mempermalukan hingga menjatuhkan. 

Harmoni berdemokrasi dalam bernegara perlu dirajut menjadi renda dalam berbangsa. Jangan biarkan cita indah itu membusuk dalam gantungan utopia, tanpa pernah bertekad untuk memulai merealisasikannya.

 
Harmoni berdemokrasi dalam bernegara perlu dirajut menjadi renda dalam berbangsa.
 
 

Sekeras dan sevokal apapun Habib Rizieq mengkritik pemerintah, beliau tetap mencintai dan berkomitmen terhadap negara dan bangsanya. 

Demikian juga bagi pemerintah, siapapun dan bagaimanapun ia menilai Habib sebagai tokoh yang berseberangan secara tajam, tetap juga pada akhirnya sadar Habib adalah warga negara yang ingin melihat negaranya maju, aman, dan sejahtera. 

Kesemuanya akan bertemu dan berkelindan dalam bingkai harmoni akhlak dalam berbangsa dan bernegara. Jadi, revolusi akhlak dalam berbangsa dan bernegara adalah kebutuhan kita bersama. Ini merupakan titik temu perbedaan sikap yang selama ini mengeras.  

Ke depan, diperlukan langkah kongkret yang saling menyejukkan untuk mensinergikan cita revolusi akhlak dalam berbangsa. Para “cebong” dan “kadrun” hendaknya tiarap dulu. Biarkan elite masing- masing pihak membangun harmoni untuk bangsa dan negara.  

Godaan partai 

Tidak dapat disangkal, Habib Rizieq adalah tokoh kharismatik yang memiliki pengikut fanatik dan simpatisan yang setia di seluruh Nusantara. Ini modal sosial strategis jika ditranformasikan ke dalam ranah politik. 

Aksi 212 dan massa yang secara spontan datang menjemput kedatangan Habib di bandara merupakan refleksi gambaran riil massa pendukung Habib yang tidak bisa dipandang sebelah mata.  

Hanya saja, di tengah friksi kepentingan partai yang semakin pragmatis dan kerapuhan solidaritas politik keumatan hendaknya menjadi dasar pertimbangan utama Habib jika berencana melangkah ke ranah partai politik.  

Saat ini, lebih tepat dan bijak jika Habib lebih memilih berposisi sebagai pemersatu umat tanpa mendeklarasikan diri pada satu posisi yang rentan terkubu pada posisi tertentu.

 
Umat lebih membutuhkan figur yang bisa menjadi pemersatu.
 
 

Lagi pula, mentransformasikan diri sebagai tokoh spiritual menjadi tokoh politik riskan ditinggalkan pengikut karena tidak ingin ikut terbelah dengan komponen umat lainnya. Umat lebih membutuhkan figur yang bisa menjadi pemersatu.

Ke depan, apakah Habib Rizieq adalah solusi bagi kehidupan umat Islam dalam berbangsa dan bernegara, kita nantikan. Yang jelas, ada peluang sekaligus tantangan yang tidak ringan bagi Habib Rizieq. 

Semoga masa hijrah Habib di Tanah Suci selama lebih tiga tahun menjadi masa perenungan atas perjalanan perjuangannya selama ini, sehingga revolusi akhlak yang telah menjadi misi kepulangannya, disertai solusi bagi umat dalam berbangsa dan bernegara.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat