Pameran pernikahan (ilustrasi) | Antara/Sigid Kurniawan

Keluarga

Siap Menikah, Mau Sederhana atau Mewah?

Pesta pernikahan yang sederhana dan akrab bisa menjadi pilihan saat pandemi.

Menikah mewah tapi kemudian tinggal di rumah kontrakan? Pertanyaan ini bisa jadi sering muncul dalam benak para calon pengantin. Tak jarang ada tuntutan untuk menyelenggarakan pernikahan mewah namun dana yang tersedia belum memadai.

Ingin pernikahan mewah tapi berutang, sehingga  ujung-ujungnya tinggal di rumah kontrakan setelah menikah lantaran belum mampu membeli rumah sendiri. Dilema ini pun kerap mengganggu hubungan kedua calon mempelai menjelang pernikahan lantaran sering memicu pertengkaran.

Namun sebenarnya, bagaimanakah sebaiknya pernikahan itu dilaksanakan terutama pada masa pandemi Covid 19 seperti saat ini? Andita Rahma (27 tahun) punya cerita sendiri tentang persiapan pernikahannya. Sebelum pandemi, ia dan pasangan memang merencanakan untuk membuat pesta secara sederhana dan akrab. Mereka berencana mengundang maksimal 200 orang untuk kerabat dan saudara terdekat saja.

“Pas ada pandemi, ya akhirnya ganti akad saja. Jadi saya pindah tempat ke restoran. Tamunya pun cuma boleh 30 orang. Jadi lebih hemat,” kata Andita kepada Republika sembari tertawa kecil menceritakan rencana pernikahannya.

Luar biasanya lagi, ia dan pasangan telah mempersiapkan semua biaya dengan menabung. Jauh sebelum  bertemu, mereka sudah rajin menabung masing-masing. Jadi ketika mereka bertemu, kenal, lalu menentukan kapan akan menikah, ia langsung membuat catatan pengeluaran untuk lamaran dan menikah dalam format excel.

Bagi karyawan swasta ini, semua alur pengeluaran uang harus jelas dan dikomunikasikan berdua. Jadi keduanya sudah mengetahui apa saja yang menjadi pengeluaran mereka setiap bulan serta totalnya. Keuangan mereka pun juga dibagi menjadi tiga, yaitu untuk lamaran, pernikahan, dan tabungan pribadi.

“Awalnya saya dan pasangan maunya pakai uang pribadi kita saja, tapi ibu saya insist (memaksa) mau ikut bayarin. Jadi saya kasih slot untuk bayar dua hal saja, sisanya sepenuhnya duit saya dan pasangan. Ibu saya memang menjadi tantangan pernikahan kita,” papar perempuan yang tinggal di kawasan Cipinang, Jakarta Timur, ini.

Andita memang anak pertama, sehingga ibunya ingin pernikahan anak pertamanya dirayakan secara besar-besaran. Tapi karena kondisi pandemi ini, akhirnya ibunya setuju untuk melaksanakan konsep pernikahan yang sederhana saja.

Andita dan pasangan memang lebih memikirkan kehidupan setelah menikah daripada pelaksanaan pernikahan itu sendiri. Setelah menikah pun mereka masih ada simpanan uang untuk persiapan membeli rumah.

“Soal merayakan besar-besaran ya sah saja sih, toh tiap orang kan punya kesenangan yang berbeda. Tapi kalau sampai berutang sebisa mungkin ya jangan. Lebih baik dari awal sudah ketok palu mau nikah, terbuka soal keuangan masing-masing lalu bikin catatan pengeluaran biar tahu alur masuk keluar duit,'' kata Andita.

Dia juga mengaku kerap berdiskusi dengan orang tuanya untuk masalah pernikahan ini. ''Jujur soal kondisi keuangan, kalau mereka sekiranya minta yang terlalu tinggi. Jadi insya Allah nggak ada utang,” jelas Andita memberikan pandangannya.

Meski begitu, Andita dan pasangan tampaknya tidak terlalu pusing dengan urusan tempat tinggal setelah menikah kendati mereka sudah memikirkan untuk membeli rumah. Menurut dia, tidak wajib untuk mempunyai rumah setelah menikah. Bila belum mampu membeli, mengontrak rumah pun tidak masalah untuknya. ''Jadi balik lagi ke kondisi keuangan masing-masing, jangan memaksa beli kalau susah mencicilnya,'' kata dia.

 

 

photo
Pameran pernikahan (ilustrasi) - (Antara/Sigid Kurnia)

Pertimbangan Khusus di Masa Pandemi

Di masa pandemi Covid 19, pernikahan dapat diselenggarakan dengan mematuhi berbagai protokol kesehatan terutama untuk mereka yang tinggal di zona merah.

Berdasarkan aturan dalam Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), kegiatan mengumpulkan orang dalam jumlah besar termasuk salah satunya resepsi pernikahan belum diperbolehkan. Oleh karena itu, konsep pernikahan dengan jumlah tamu yang minimalis akan lebih baik di masa pandemi ini karena diharapkan tidak menjadi klaster penyebaran baru.

Perencana keuangan, Diana Sandjaja menegaskan agar tetap memerhatikan protokol kesehatan dan mempertimbangkan kemampuan finansial. “Ikuti protokol kesehatan dan bila memang bujet mepet sebaiknya tidak memaksakan. Yang penting adalah menjalani hari setelah acara pernikahan dengan gembira. Bukan hanya menjadi gembira satu hari saja di hari pernikahan dan merana di hari selanjutnya,” kata Diana memberikan saran.

Bagi Diana, menikah dengan sederhana ataupun dengan perayaan mewah hasil berutang, semuanya adalah pilihan masing-masing dengan konsekuensi yang siap ditanggung oleh tiap pasangan. “Menikah itu masuk dalam ranah pilihan pribadi dengan konsekuensi dan tanggung jawab masing-masing. Kecuali bila kita masuk dalam hitungan pihak yang diajak (dipaksa) ikut membiayai, walaupun dana terbatas dan demi gengsi yang tidak terbatas,” kata Diana kepada Republika.

Bagaimana agar biaya menikah tidak sampai melonjak? Diana menekankan perlu sekiranya untuk menuliskan hal yang menjadi prioritas dalam pernikahan. Bila sudah bisa menentukan visi misi yang sama, maka akan lebih mudah untuk mengalokasikan bujet yang ada. Misalnya, bila prioritas memiliki hunian yang nyaman lebih tinggi dari acara pernikahan, maka sudah jelas prioritas alokasi terbesar dari dana yang dimiliki adalah membeli rumah.

Namun bila memang hendak tinggal dengan orang tua atau menyewa rumah setelah menikah serta memang menyiapkan untuk acara pernikahan besar, maka tidak ada salahnya mengalokasikan dana untuk acara pernikahan. “Dalam acara pernikahan pun ada skala prioritas lagi. Misalnya memilih yang resmi secara negara, diakui oleh agama, serta mendapat doa restu dari orang tua serta kerabat, maka tentu perlu mempersiapkan sebaik mungkin untuk semua hal tersebut,” papar Diana.

Bila biaya terbatas, maka penentuan prioritas membutuhkan pemikiran yang mendalam apalagi bila ditambah dengan permintaan dari pihak orang tua atau tuntutan dari budaya dan adat yang mau tidak mau perlu dilakukan. ''Tapi justru di sinilah pasangan belajar saling memecahkan persoalan secara bersama sebagai latihan akan menempuh hidup baru bersama kelak,'' ujar Diana.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat