KH Abdul Muchith Muzadi merupakan seorang tokoh Nahdliyin yang telah berjuang sejak zaman penjajahan. | DOK WORDPRESS

Mujadid

KH Abdul Muchith Muzadi, Sosok Nahdliyin Pejuang

Kakak KH Hasyim Muzadi ini turut berperan mengawal Khittah Nahdlatul Ulama.

OLEH MUHYIDDIN

 

Pada zaman penjajahan, rakyat Indonesia hidup dalam kesengsaraan dan kemelaratan ekonomi. Karena itu, banyak kalangan alim ulama Nusantara yang turut memperjuangkan kemerdekaan. Salah satu kiai yang terlibat dalam sejarah perjuangan itu ialah KH Abdul Muchith Muzadi.

Kakak kandung mantan ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi itu lahir di Bangilan, Tuban, Jawa Timur, pada 4 Desember 1925. Ia berasal dari keluarga yang tergolong mampu secara ekonomi. Ayahnya adalah Haji Muzadi dan termasuk kaum pedagang tembakau sukses. Adapun ibundanya bernama Rumyati.

Sejak kecil, Abdul Michith sudah diajari kedua orang tuanya untuk lancar membaca Alquran. Selain itu, dasar-dasar agama Islam juga dipelajarinya. Untuk menambah wawasan keagamaannya, ia pun menimba ilmu di sebuah pondok pesantren yang diasuh Kiai Ridwan, seorang mubaligh kenamaan di Kampung Bangilan. Kiai tersebut masih berkerabat dengan Haji Muzadi.

Setelah itu, Abdul Michith kecil belajar di Pondok Pesantren Kulon Banon Kajen, di bawah asuhan KH Nawawi. Tak hanya pada sang pengasuh pesantren, dirinya juga berguru kepada KH Salam. Rihlah keilmuannya terus berlanjut hingga ke Pondok Pesantren Tebuireng Jombang yang diasuh Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari.

Tepatnya pada 1941, tatkala usianya masih 16 tahun, Abdul Michith telah menjadi anggota NU.Ia mendaftar pada organisasi tersebut melalui pengurus ranting di Tebuireng. Mulai saat itu, dirinya tidak hanya larut dalam belajar ilmu-ilmu agama di pesantren, tetapi juga aktif berorganisasi. Dalam periode ini, ia mulai berkenalan dengan beberapa santri terkenal dari daerah-daerah lain, seperti KH Achmad Shiddiq yang kelak menjadi ketua umum PBNU.

Sejak 1942, Jepang menggantikan penjajahan Belanda di Indonesia. Selama masa pendudukan Dai Nippon, Abdul Muchit bersama teman-temannya mendirikan sebuah koperasi desa bernama Tokoku. Di lembaga tersebut, ia bertindak sebagai sekretaris selama dua tahun, 1942-1944.

 
Selama masa pendudukan Dai Nippon, Abdul Muchit bersama teman-temannya mendirikan sebuah koperasi desa bernama Tokoku.
 
 

Usai tidak lagi nyantri di Tebuireng, Abdul Michith kembali ke kampung halamannya. Pada 1946, ia mendirikan Madrasah Salafiyah. Ketika Cabang Suisintai “Barisan Pelopor” didirikan di Bangilan, ia pun ikut aktif di sana. Suisintai terbentuk atas inisiatif Sukarno. Dalam perspektif Jepang, organisasi itu dapat menguatkan dukungan rakyat pribumi terhadap Dai Nippon di kancah Perang Dunia II. Namun, Bung Karno sendiri bermaksud agar rakyat, terutama kalangan pemuda, dapat mempersiapkan tenaga dan kemampuan mereka dalam menyongsong kemerdekaan Indonesia.

Laskar Hizbullah

Laskar Hizbullah (harfiah: “Tentara Allah”) didirikan menjelang akhir pendudukan Jepang di Indonesia, tepatnya pada 8 Desember 1944. Laskar itu terdiri atas barisan para pemuda Islam dan kaum santri dari seluruh Indonesia. Mulanya, Jepang mendukung pembentukan Laskar Hizbullah karena dipandang sebagai kekuatan cadangan di luar pasukan Pembela Tanah Air (PETA).

Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, para tokoh Muslim menjadikan Laskar Hizbullah sebagai tenaga penyokong demi mempersiapkan diri sebelum Indonesia merdeka. Dengan tujuan itu, pondok-pondok pesantren diminta untuk mengirimkan para santrinya untuk dijadikan anggota laskar.

Mereka dilatih secara militer di sebuah pusat pelatihan yang diawasi tentara Jepang. Setelah itu, para laskar kembali pulang. Mereka ditugaskan untuk mencari, melatih, dan membentuk cabang Laskar Hizbullah di daerahnya masing-masing.

Laskar Hizbullah pun terbentuk di Bangilan. Mendengar informasi tersebut, Abdul Muchit muda ingin bergabung dengan kelompok itu. Awalnya, ia terkendala untuk mengikuti latihan bersama Hizbullah di Cibarusa. Sebab, kedua orang tuanya tidak memberikan izin. Namun, setelah meyakinkan mereka pemuda itu pun dapat turut serta dalam laskar tersebut.

Di Hizbullah, ia tidak hanya dilatih secara kemiliteran, melainkan juga spiritual. Aspek yang terakhir itu diterimanya melalui pembekalan kerohanian yang diadakan sejumlah ulama. Abdul Muchit kemudian ditunjuk sebagai Komandan Kompi Hizbullah di Bangilan. Waktu itu, ia membawahi 60 orang anak buah.

Setiap hari, Abdul Muchith menjalani kehidupan dengan disiplin khas tentara. Ketika pagi, dirinya mendatangi markas untuk mengawasi anak buahnya. Begitu azan zuhur, ia pun kembali ke madrasahnya untuk mengajar. Saat malam turun, ia berjalan-jalan di seputar Bangilan, seperti stasiun atau dekat kantor pemerintahan, untuk mengamati situasi. Hal itu dilakukannya dengan membawa senjata api di pinggang.

 
Setiap hari, Abdul Muchith menjalani kehidupan dengan disiplin khas tentara.
 
 

Beberapa tahun pascaproklamasi RI tanggal 17 Agustus 1945, keadaan memang rawan. Pasukan Sekutu yang diboncengi Belanda terus membuat kerusuhan di tengah rakyat. Pemerintah Indonesia bersama dengan rakyat terus berjuang mempertahankan kedaulatan negeri. Begitu pula dengan seluruh Laskar Hizbullah dan Sabilillah.

Ketika ada rasionalisasi Hizbullah ke dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 1947, Abdul Muchit tidak meneruskan lagi keanggotaannya dalam laskar tersebut. Di satu sisi, ia merasa panggilan jiwanya bukan untuk dunia ketentaraan. Di sisi lain, perjuangan merawat negeri tercinta tidak harus melalui dunia militer. Maka dari itu, ia memilih kembali sebagai guru di dunia dakwah dan pendidikan.

Saat usianya 27 tahun, Abdul Muchit mendirikan Sekolah Menengah Islam dan Madrasah Muallimin Nahdlatul Ulama di daerah tempat tinggalnya. Mulai saat itu, reputasinya semakin dikenal sebagai seorang tokoh agama yang berilmu tinggi. Orang-orang memanggilnya dengan sebutan kiai. Bagi murid dan santrinya, panggilannya adalah Mbah Muchith.

Pengawal khittah

Pada 1961, Mbah Muchith menerima tawaran bertugas sebagai pegawai di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pekerjaan itu dijalaninya sembari meneruskan studi pendidikan tinggi di Universitas Cokroaminoto. Selama di Yogyakarta, ia menemukan kembali ide-ide pembaharuan Islam.

Karena itu, sewaktu ditugaskan di IAIN Malang pada 1963, ia juga sempat merintis SMP Nahdlatul Ulama (NU). Hal yang sama juga dilakukannya tatkala bertugas di IAIN Sunan Ampel Jember dengan mendirikan sebuah madrasah tsanawiyah di sana.

Penugasan ke IAIN Sunan Ampel Jember menjadi sebuah keberuntungan tersendiri bagi Mbah Muchit. Sebab, di sana ia bisa semakin rutin bertemu dengan sahabat seperguruannya kala di Tebuireng dahulu, yakni KH Achmad Shiddiq—yang saat itu sudah mengasuh sebuah pondok pesantren besar.

Mbah Muchith menemukan partner diskusi yang seimbang dan sekaligus guru yang bisa diteladani. Masa-masa itu yang semakin mematangkan pemikirannya. Banyak karya besarnya lahir pada periode tersebut, khususnya mengenai pemikiran keislaman.

Ketokohannya kian dikenal di lingkungan PBNU. Bahkan, saat NU mengadakan muktamar pada 1984 di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo, Jawa Timur, dirinya didaulat sebagai pengawal Khittah NU. Peran itu dijalaninya bersamaan dengan jabatan sebagai sekretaris pribadi KH Achmad Siddiq, yang terpilih sebagai rais ‘aam PBNU.

Muktamar NU di Situbondo itu menjadi tonggak bersejarah bagi NU. Sebab, mulai saat itu organisasi tersebut menerima Pancasila sebagai asas tunggal negara. Tak hanya itu, pertemuan akbar tersebut memberikan penegasan Khitah NU sehingga otomatis //jam’iyah// ini meninggalkan dunia politik praktis.

Dalam buku Berjuang Sampai Akhir: Kisah Seorang Mbah Muchith, diceritakan bahwa Mbah Muchith sudah bertekad untuk menjadi sosok yang militan dalam membesarkan NU. Prosesnya masuk NU sejak masih menjadi santri di Pesantren Tebuireng. Dalam berbagai sumber tercatat, ia pernah menjabat sebagai sekretaris GP Ansor Yogyakarta (1961-1962), sekretaris GP Ansor Kabupaten Malang, serta sekretaris dan wakil ketua Pengurus Cabang NU di Jember (1968-1975).

Sebelum naik ke level nasional, Mbah Muchith pernah menjadi pengurus LP Ma’arif, serta wakil rais syuriyah Pengurus Wilayah NU Jawa Timur (1992-1995). Selanjutnya, ia mengemban amana sebagai rais syuriyah PBNU (1994-2004) dan Mustasyar PBNU sejak Muktamar NU ke-31 di Boyolali tahun 2004.

photo
ILUSTRASI KH Abdul Muchith Muzadi telah menghasilkan banyak karya tulis di sepanjang hayatnya. - (DOK REP Agung Suptiyanto)

Alasan Dipanggil ‘Kiai’

 

KH Abdul Muchith Muzadi merupakan sosok ulama yang tawadhu. Di samping itu, alim yang akrab disapa Mbah Muchit itu juga sangat mencintai dunia literasi. Hingga pengujung usianya, mubaligh kelahiran tahun 1925 itu selalu menghabiskan waktu luangnya untuk menulis dan membaca. Dari tangannya, telah muncul banyak karya. Di antaranya adalah Risalah Fiqh Wanita serta NU dan Fiqh Kontekstual.

Mbah Muchit dikenal sebagai ulama yang cerdas dan berprinsip tegas. Dalam kesehariannya, sosok tersebut selalu tampil sederhana dan bersikap tawadhu. Walaupun sudah menjadi seorang tokoh utama di kalangan Nahdliyin, dirinya tetap rendah hati dalam bergaul dengan siapapun.

Dalam sebuah kesempatan di Pondok Pesantren Langitan, Mbah Muchith pernah berkelakar bahwa orang-orang memanggilnya sebagai “kiai” bukan karena dirinya memang seorang kiai, melainkan adiknya-lah yang menjadi kiai. Sosok adik yang dimaksud adalah KH Hasyim Muzadi. Waktu itu, mantan ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tersebut merupakan pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa al-Hikam Malang.

“Mosok adiknya dipanggil ‘kiai’, kok kakaknya enggak? Kan kasihan,” demikian canda Mbah Muchith.

 
Mosok adiknya dipanggil ‘kiai’, kok kakaknya enggakKan kasihan.
 
 

Dari sejarah hidupnya, dapat disimpulkan bahwa Mbah Muchith termasuk kalangan ulama yang pejuang. Di masa tuanya, semangat perjuangan pun diwariskan kepada generasi muda. Dalam seminar di sebuah kampus di Jember, Jawa Timur, ia pernah berpesan agar anak-anak muda tidak kehilangan mental pejuang dalam diri mereka.

Diakuinya, tantangan pada zaman sekarang mungkin lebih hebat daripada masa lampau. Hal itu dapat terbaca dari luruhnya semangat gotong royong yang tergantikan munculnya pribadi-pribadi sunyi yang individualistis. Oleh karena itu, Mbah Muchit berharap supaya mereka terus berupaya dan berjuang.

Semasa hidupnya, putra Haji Muzadi dan Rumyati itu juga pernah berpesan agar PBNU menjalin hubungan dengan penguasa secara normal saja. Tak perlu terlalu akrab dengan penguasa, dan tidak perlu juga sampai memberontak.

Sikap menjaga jarak dari kekuasaan itu, menurutnya, perlu dilakukan karena berkaca dari sejarah—sejak era penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, hingga bahkan Orde Lama dan Orde Baru. Ia berharap, NU tidak menjadi kelompok yang didatangi hanya ketika diperlukan dan ditinggalkan begitu kekuasaan politik sudah digenggam.

Mbah Muchith wafat saat berusia 90 tahun, tepatnya pada 6 September 2015 di Kota Malang, Jawa Timur. Lautan manusia mengiringi pemakamannya. Jenazahnya dikebumikan di Tempat Permakaman Umum (TPU) Tegalboto, Jalan Kalimantan, Jember.

Sumber: Azzam Muzadi

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat