Andi Irfan Jaya berjalan usai menjalani pemeriksaan di gedung Bundar, Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (2/9). | ANTARA FOTO/Galih Pradipta

Nasional

Andi Irfan Didakwa Berlapis dalam Kasus Djoko Tjandra

Jaksa penuntut umum mendakwa Andi Irfan menjadi perantara suap dan melakukan permufakatan jahat.

JAKARTA—Mantan politikus Partai Nasdem Andi Irfan Jaya didakwa berlapis pada sidang pembacaan dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (4/11). Jaksa penuntut umum mendakwa Andi Irfan menjadi perantara suap dan melakukan permufakatan jahat dengan Pinangki Sirna Malasari dan Djoko Soegiarto Tjandra.

"Terdakwa (Andi Irfan Jaya) telah melakukan permufakatan jahat dengan Pinangki Sirna Malasari dan Djoko Soegiarto Tjandra untuk melakukan tindak pidana korupsi," kata jaksa penuntut umum Didi Kurniawan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (4/11).

Dalam dakwaan disebutkan, Andi Irfan Jaya, Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung Pinangki Sirna Malasari, dan Djoko Tjandra diduga bermufakat jahat untuk memberi atau menjanjikan uang sebesar 10 juta dolar AS atau senilai Rp 145 miliar kepada pejabat di Kejaksaan Agung (Kejakgung) dan di Mahkamah Agung (MA). 

Tujuan suap, yakni agar pejabat Kejakgung dan MA memberikan Fatwa Mahkamah MA melalui Kejaksaan Agung, agar pidana penjara yang dijatuhkan kepada Djoko Tjandra berdasarkan putusan PK Nomor 12 Tanggal 11 Juni 2009 tidak bisa dieksekusi. "Sehingga, Joko Soegiarto Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani pidana," tutur Jaksa.

Disebutkan dalam dakwaan, pada 22 November 2019, terdakwa Andi Irfan Jaya sempat dihubungi oleh Pinangki Sirna Malasari. Saat itu, Pinangki meminta bantuan Andi Irfan Jaya untuk menemaninya bertemu dengan Djoko Tjandra di Kuala Lumpur, Malaysia pada 25 November 2019. Keduanya bersama Anita Dewi Anggraeni Kolopaking selaku kuasa hukum Djoko Tjandra bertemu dengan Djoko Tjandra di Kantor The Exchange 106 Kuala Lumpur Malaysia.

Andi Irfan Jaya, Anita Kolopaking, dan Pinangki menyerahkan serta memberikan penjelasan mengenai rencana untuk mengurus Fatwa MA melalui Kejakgung. Atas perbuatannya, Andi Irfan Jaya didakwa melanggar Pasal 15 Juncto Pasal 5 ayat (1) huruf a dan Pasal 15 Juncto Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Andi Irfan juga didakwa turut serta membantu menjadi perantara suap terpidana kasus pengalihan hak tagih Bank Bali Djoko Tjandra kepada Pinangki. "Terdakwa Andi Irfan Jaya dengan sengaja memberi bantuan kepada Pinangki Sirna Malasari yang merupakan pegawai negeri atau penyelenggara negara," kata Didi.

Andi Irfan Jaya didakwa melanggar Pasal 5 ayat (2) Juncto Pasal 5 ayat (1) huruf a dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Juncto Pasal 56 ke-1 KUHP.

Usai mendengarkan dakwaan, pihak Andi Irfan Jaya memutuskan untuk mengajukan eksepsi. "Setelah mendengarkan dakwaan yang dibacakan rekan Jaksa Penuntut, kami ingin menggunakan hak untuk mengajukan eksepsi," kata kuasa hukum Andi Irfan Jaya, Andi Syafrani, Rabu.

Majelis hakim memberikan kesempatan Andi Irfan membacakan eksepsinya pada Senin (9/11) pekan depan. "Kami memberi kesempatan dibacakan Senin tanggal 9," ujar Ketua Majelis Hakim IG Eko Purwanto.

photo
Terpidana kasus cessie Bank Bali Joko Tjandra menjalani sidang dakwaan dalam perkara dugaan suap kepada jaksa dan perwira tinggi Polri serta pemufakatan jahat di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (2/11). - (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Kesaksian

Terpisah, dalam sidang perkara suap dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan terdakwa Pinangki Sirna Malasari di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi,  jaksa penuntut umum menghadirkan saksi Kepala Sub Bagian Pengelolaan Gaji dan Tunjangan pada Kejaksaan Agung, Wahyu Adi Prasetyo. Dalam kesaksiannya, Wahyu membeberkan nominal gaji yang diterima Pinangki sebagai pegawai Kejaksaan Agung.

"Penghasilan resmi ibu Pinangki sebagai jaksa golongan 4A dengan gaji Rp 9.432.300 dan mendapat tunjangan kinerja Rp 8.757.600 dan uang makan Rp 731.850 per bulan," ujar Wahyu di persidangan.

Kepada hakim, Wahyu mengatakan, Kejaksaan Agung tidak mencatat penghasilan lain yang didapatkan Pinangki selain hal tersebut. Pinangki sendiri didakwa dengan tiga dakwaan berlapis. Pertama, Pinangki didakwa telah menerima suap. Kedua, didakwa pasal TPPU, dan ketiga tentang pemufakatan jahat. 

Sementara, terdakwa Irjen Napoleon Bonaparte menolak seluruh isi dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Pengacara Haposan Batubara menegaskan, kliennya tak mengakui fakta peristiwa yang disampaikan tim penuntutan dalam sidang dakwaan di PN Tipikor, Senin (2/11) kemarin.

Dakwaan terhadap Napoleon, kata Haposan, hanya berbasis pengakuan dan kesaksian Tommy Sumardi yang menjadi terdakwa lain dalam kasus sama, dugaan suap-gratifikasi penghapusan red notice Djoko Tjandra. “Pak Napoleon tidak terima dakwaan JPU itu. Karena semuanya itu, dakwaan untuk Pak Napoleon, kebanyakan cuma berdasarkan dari BAP-nya (berita acara pemeriksaan) Tommy Sumardi,” kata Haposan saat dihubungi Republika, dari Jakarta, Rabu (4/11). 

Pengakuan Tommy dalam BAP-nya, itu yang menurut Haposan, dituangkan dalam dakwaan untuk Napoleon. Haposan mengatakan, pengakuan Tommy itu pula, yang belakangan membuat selisih paham antara Mabes Polri dan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus). “Bahwa sampai hari ini, memang Pak Napoleon tidak menerima uang itu. Dan dipaksakanlah pengakuan Tommy Sumardi itu, ke dalam dakwaan (Napoleon),” tegas Haposan. 

Ia mengatakan, dalam BAP-nya, Tommy memang menyampaikan adanya peristiwa permintaan uang Rp 7 miliar oleh Napoleon. Haposan menambahkan, pengakuan Tommy pula yang menyebutkan, permintaan dari Napoleon tersebut untuk dibagi-bagi kepada petinggi-petinggi lain yang ada di Mabes Polri. Namun, Haposan meyakinkan, pengakuan Napoleon yang berbeda saat pemeriksaan. 

Dalam BAP Napoleon, tak ada pengakuan tentang permintaan uang tersebut. Menurut Haposan, Napoleon tak ada mengucapkan kalimat permintaan uang untuk dibagi-bagikan ke petinggi-petinggi lain di kepolisian. “Makanya dari awal, Pak Napoleon itu berjanji akan membongkar, dan membuka semua itu. Karena dakwaan itu, berbeda dari kenyataannya. Pak Napoleon akan mengungkap itu di pengadilan nanti,” kata Haposan.

Sebelumnya, aksi saling bantah terjadi antara Karo Penmas Mabes Polri Awi Setiyono, dan JAM Pidsus Ali Mukartono terkait isi dakwaan Napoleon. Dalam dakwaan, JPU mengungkapkan, adanya permintaan uang Rp 7 miliar dari Napoleon, kepada Tommy Sumardi. Pernyataan Napoleon seperti dalam dakwaan JPU, sempat dibantah oleh Awi, Selasa (3/11). Menurut Awi, pernyataan Napoleon yang disampaikan dalam dakwaan JPU itu, tak ada dalam BAP Napoleon saat dilakukan pemeriksaan oleh penyidik Bareskrim Polri. 

Awi mengungkapkan, adanya pengakuan untuk 'petinggi kita ini', tersebut dalam BAP terdakwa lainnya, yang terlibat dalam kasus sama. “Kalau ditanyakan NB (Napoleon), itu di BAP (Napoleon), tidak ada yang menyatakan uang untuk 'petinggi kita ini'. Namun, keterangan dari tersangka lainnya, ya ada,” tutur Awi ditemui di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (4/11). Pernyataan Awi tersebut, sempat ditanggapi JAM Pidsus Ali Mukartono. 

Ali menegaskan, dakwaan Napoleon mengacu pada berkas perkara Napoleon saat diperiksa penyidik di Bareskrim. Ali meyakinkan, tim penuntutannya tak mungkin membuat dakwaan berbasis 'ramalan'. 

Nggak mungkin. Pasti ada (dalam berkas perkara). Jaksa tahu dari mana (kalau tidak berdasarkan berkas perkara). Emang dukun dia (JPU-nya),” kata Ali, Selasa (3/11). 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat