Terdakwa kasus suap penghapusan red notice Djoko Tjandra, Irjen Pol Napoleon Bonaparte menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Senin (2/11). | Reoublika/Thoudy Badai

Nasional

Polri dan Kejakgung Saling Bantah

Polri dan Kejakgung saling bantah soal pengakuan terdakwa Irjen Napoleon.

JAKARTA — Polri dan Kejaksaan Agung (Kejakgung) saling membantah soal pengakuan terdakwa Irjen Napoleon Bonaparte tentang 'petinggi kita' di Markas Besar (Mabes) yang terlibat dalam skandal penghapusan red notice terpidana kasus korupsi hak tagih Bank Bali, Djoko Sugiarto Tjandra. Karo Penmas Mabes Polri, Brigjen Awi Setiyono menegaskan, isi dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap Napoleon tak sesuai dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). 

“Kemarin saya tanya ke penyidik, katanya enggak ada (pengakuan itu),” kata Awi saat ditemui wartawan di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (3/11). Menurut Awi, dalam BAP Napelon, mantan Kadiv Hubinter Mabes Polri tersebut tak pernah mengaku menerima pemberian uang dari Tommy Sumardi untuk penghapusan red notice Djoko Tjandra. “Penyidik infonya, itu (pengakuan Napoleon), tidak ada dalam BAP.”

Awi menilai, pengakuan Napoleon yang dibacakan dalam dakwaan JPU, merupakan hasil pengungkapan versi kejaksaan. Sebab, meskipun penyidikan terhadap Napoleon dilakukan di Bareskrim Polri, tetapi setelah pelimpahan, tim penuntutan dari Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) berhak melakukan pemeriksaan ulang.

Dalam dakwaan Napoleon pada Senin (2/11), JPU membeberkan percakapan Napoleon dengan prantara suap dari Djoko Tjandra, Tommy Sumardi. Pada 27 April 2020, dan Tommy dan Brigjend Prasetijo Utomo selaku Kakorwas PPNS Bareskrim Mabes Polri menyerahkan uang senilai 50 ribu dolar kepada Napoleon.

Napoleon menolak pemberian tersebut karena merasa kurang. “Ini apaan nih segini (50 ribu dolar)? Enggak mau saya. Naik, Ji, jadi tujuh, Ji,” kata Napoleon. Napoleon, pun menyampaikan angka Rp 7 miliar tersebut, karena ada jatah lain yang harus ia berikan kepada para petinggi di kepolisian.

“Soalnya kan buat depan juga, bukan buat saya sendiri. Yang nempatin saya kan beliau, 'petinggi kita ini,” begitu kata Napoleon.

Selain Napoleon, JPU pada Senin juga mendakwa Prasetijo, Tommy Sumardi, dan Djoko Tjandra dalam kasus yang sama. Khusus Djoko, JPU juga mendakwa pemberian suap kepada Jaksa Pinangki Sirna Malasari terkait usaha pembebasan Djoko melalui jalur hukum.

Menurut Awi, pengakuan Napoleon dalam dakwaan JPU tersebut hasil pemeriksaan ulang oleh kejaksaan. “JPU itu bisa memeriksa kalau, misalnya mau mendalami, atau kurang jelas," kata dia.

Namun, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus), Ali Mukartono membantah pernyataan Awi tersebut. Ali memastikan, isi dakwaan JPU mengacu pada seluruh berkas perkara yang terkait dengan pengungkapan peran tersangka saat penyidikan. 

JPU, kata dia, tak mungkin menambahi isi dakwaan, yang menyimpang dari berkas pemeriksaan. “Enggak mungkin. Pasti ada (dalam berkas perkara). Jaksa tahu dari mana (kalau tidak berdasarkan berkas perkara). Emang dukun dia (JPU-nya),” kata Ali saat disua di Gedung Pidsus Kejakgung, kemarin.

Ali melanjutkan, pengakuan tersangka yang tak mengakui perbuatannya tak bisa menjadi acuan dalam proses penyidikan, pun pemberkasan perkara. Dalam kasus Napoleon, hasil penyidikan dari Bareskrim Polri yang dilimpahkan ke JPU, memastikan adanya bukti-bukti dan pernyataan yang dimuat ke dalam dakwaan. “Jadi enggak mungkin nggak ada (pengakuan Napoleon). Pasti ada. Karena surat dakwaan itu, berasal dari berkas perkara (dari Polri),” terang Ali.

Pasal hilang

Hari ini, Rabu (4/11), sidang skdandal Djoko Tjandra kembali digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta. Pertama, sidang dakwaan Andi Irfan Jaya sebagai perantara suap Djoko ke Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Sementara, Pinangki akan melanjutkan sidang pemeriksaan saksi. Dalam kasus ini, Pinangki dan Andi Irfan didakwa terkait suap 500 ribu dolar Amerika untuk membebaskan Djoko Tjandra dari jeratan hukum lewat fatwa Mahkamah Agung (MA).

Terkait rencana dakwaan Andi Irfan, Komisi Kejaksaan (Komjak) mempertanyakan hilangnya Pasal 6 ayat (1) a UU Tipikor yang sebelumnya masuk dalam penertapan tersangka. Ketua Komjak Barita Simanjuntak menilai, hilangnya tuduhan suap-gratifikasi hakim menguatkan dugaan publik tentang melokalisir keterlibatan pihak lain. “Komisi Kejaksaan akan mempertanyakan hilangnya pasal itu dalam dakwaan AI (Andi Irfan),” kata Barita, kemarin.

Kepala Puspenkum Kejakgung, Hari Setiyono menerangkan, hilangnya Pasal 6 dalam dakwaan Andi Irfan karena penyidik tak menemukan bukti adanya suap kepada hakim di MA. “Jadi dia, hanya swasta yang bersama-sama Pinangki (terdakwa), sebagai penegak hukum melakukan tindak pidana permufakatan jahat,” terang Hari, Senin (26/10). 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat