Buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) berunjuk rasa di depan Gedung DPRD Sumatera Utara, di Medan, Senin (2/11). | ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi

Opini

UMP di Tengah Resesi

Harapannya, tenaga kerja dengan gaji UMP atau di bawahnya, memperoleh kompensasi atas resesi.

TASMILAH, Statistisi pada BPS Kota Malang

Menteri tenaga kerja menerbitkan surat edaran kepada seluruh gubernur di Indonesia agar menetapkan UMP 2021 sama dengan UMP 2020. Alasannya, pandemi dan keberlangsungan usaha.

Surat edaran ini mendorong buruh melakukan aksi penolakan UMP 2021, sekaligus penolakan UU Cipta Kerja. Sebagian besar provinsi mengikuti surat edaran dari Menaker meski ada provinsi yang menaikkan UMP 2021, seperti Jawa Tengah dan DIY.

Pemerintah Provinsi DKI menetapkan kenaikan UMP kepada pelaku usaha yang tidak terdampak pandemi, sedangkan untuk perusahaan yang terdampak pandemi dapat mengajukan keberatan untuk tidak menaikkan UMP.

Secara formula, kenaikan upah buruh ini memperhitungkan pertumbuhan ekonomi sekaligus inflasi.

Pertumbuhan ekonomi mewakili kemampuan atau performa dari pelaku usaha, sedangkan inflasi sebagai kompensasi bagi buruh atas kenaikan harga barang dan jasa agar pendapatan riilnya tidak mengalami penurunan.

 

 
Artinya, pihak pengusaha juga mengalami kesulitan untuk meningkatkan produksinya. Sedangkan di pihak buruh pun kondisinya tidak kalah sulit.
 
 

 

Pertumbuhan ekonomi yang digunakan adalah triwulan 2 tahun 2020, yaitu minus 5,32 persen dan inflasi September 2020  (year on year) sebesar 1,42 persen. Jika merujuk rumus tersebut, secara matematis UMP 2021 tidak mengalami kenaikan karena pertumbuhan ekonomi minus.

Minusnya pertumbuhan ekonomi hingga 5,32 persen, mengindikasikan kondisi pelaku usaha di Indonesia yang mengalami penurunan produksi. Bahkan, hampir semua lapangan usaha mengalami pertumbuhan minus.

Artinya, pihak pengusaha juga mengalami kesulitan untuk meningkatkan produksinya. Sedangkan di pihak buruh pun kondisinya tidak kalah sulit.

Pemutusan hubungan kerja, perumahan karyawan, hingga pengurangan jam kerja merupakan dampak yang terjadi dari resesi ekonomi ini.

Deflasi yang terjadi selama Juli hingga September, mengindikasikan bahwa daya beli penduduk, termasuk buruh juga tertekan. Jadi saat ini, baik pengusaha maupun buruh juga dalam kondisi yang tidak menguntungkan.

Bahkan, jika pemerintah hanya memberikan perhatian kepada buruh dan mengabaikan kondisi pelaku usaha, kenaikan UMP 2021 hanya sebesar 1,42 persen atau sebesar inflasi/kenaikan harga barang secara umum yang ditanggung konsumen.

 

 
Oleh karena itu, keputusan pemerintah melalui Kementerian Tenaga Kerja terkait UMP 2021 bukan hal yang mudah untuk diterima buruh/tenaga kerja.
 
 

 

Akan tetapi, dalam kondisi resesi, saat aktivitas ekonomi menurun seperti sekarang ini, pelaku usaha pun memerlukan stimulus dan menghindari kenaikan biaya produksi agar perusahaan tetap mampu bertahan.

Oleh karena itu, keputusan pemerintah melalui Kementerian Tenaga Kerja terkait UMP 2021 bukan hal yang mudah untuk diterima buruh/tenaga kerja.

Menyadari hal tersebut, pemerintah memberikan subsidi gaji bagi karyawan dengan gaji di bawah Rp 5 juta dan yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan. Batasan lima juta ini mencakup tenaga kerja dengan upah sebesar UMP dan UMK paling tinggi sekalipun.

UMP tahun 2020 tertinggi di DKI Jakarta, yaitu sebesar RP 4,28 juta dan UMK tertinggi di Kabupaten Karawang, yaitu  RP 4,59 juta.

Upaya tersebut sebagai bantuan sosial bagi buruh di tengah penurunan aktivitas ekonomi. Bahkan, untuk tenaga kerja yang mengalami PHK dapat mengajukan kartu prakerja untuk memperoleh pelatihan sekaligus insentif.

Benar, bahwa Rp 600 ribu per bulan bukanlah jumlah yang besar dan tidak mampu menutup kebutuhan buruh, melainkan hal itu menjadi bantalan sosial untuk menjaga daya beli penduduk dan buruh.

Dengan kondisi UMP yang tidak mengalami kenaikan pada tahun 2021, program perlindungan sosial, termasuk bantuan subsidi gaji diharapkan masih tetap berlanjut hingga tahun depan.

Harapannya, tenaga kerja dengan gaji sebesar UMP ataupun di bawahnya, memperoleh kompensasi atas penurunan ekonomi.  

 
Apalagi, dengan kondisi ekonomi yang masih lesu untuk beberapa waktu ke depan. Akan lebih parah lagi jika investor asing yang masuk ke Indonesia juga membawa serta tenaga kerja dari negara asalnya.
 
 

Upah dan kesejahteraan buruh masih menjadi persoalan utama di negeri ini, di samping kebutuhan lapangan pekerjaan yang terus meningkat setiap tahun. Di tengah pro kontra UU Cipta Kerja, perlu kiranya kita menilik kondisi ketenagakerjaan di Indonesia.

Salah satu tujuan disahkannya UU Cipta Kerja ini untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, yang menciptakan lapangan pekerjaan yang luas. Tidak dapat dimungkiri, Indonesia yang tengah menuju puncak bonus demografi, membutuhkan lapangan kerja untuk menampung angkatan kerja yang terus meningkat setiap tahun.

Namun, kalau boleh menelisik, berapa pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dari UU Cipta Kerja ini? Mengingat jumlah angkatan kerja di Indonesia rata-rata meningkat dua juta orang setiap tahunnya. Belum lagi jumlah pengangguran yang mencapai 6,88 juta orang pada kondisi Februari 2020.

Untuk saat ini, jumlah pengangguran tentu lebih banyak lagi sebagai akibat pandemi Covid-19 dan resesi ekonomi yang terjadi.

Data ketenagakerjaan terbaru hasil dari survei angkatan kerja nasional (Sakernas, Agustus 2020) baru dirilis oleh BPS pada 5 November 2020 nanti.

Berdasarkan tahun sebelumnya, setiap satu persen pertumbuhan ekonomi menyerap tenaga kerja sebanyak 498 ribu orang. Dengan pertumbuhan ekonomi yang hanya berkisar lima persen sekalipun, belum mampu menyerap angkatan kerja yang ada.

Apalagi, dengan kondisi ekonomi yang masih lesu untuk beberapa waktu ke depan. Akan lebih parah lagi jika investor asing yang masuk ke Indonesia juga membawa serta tenaga kerja dari negara asalnya. Maka itu, angkatan kerja dalam negeri semakin tidak memperoleh pekerjaan.

 
Diharapkan, UU Cipta Kerja yang telah disahkan DPR dapat ditinjau kembali dengan mendengar lebih banyak kalangan agar kepentingan buruh.
 
 

Selain pengangguran, terdapat penduduk setengah menganggur di negeri ini yang jumlahnya mencapai 8,34 juta orang. Kelompok ini bekerja kurang dari jam kerja normal dan masih mencari pekerjaan tambahan.

Artinya, pekerjaan yang dilakukan saat ini belum memenuhi keinginannya, masih ada waktu produktif dan peluang ekonomi yang belum termanfaatkan secara optimal.

Pengangguran paling banyak di Indonesia adalah lulusan sekolah menengah (SMA/sederajat) yang mencapai 46,20 persen, diikuti pendidikan SMP ke bawah yang mencapai 37,59 persen. Dengan jumlah pengangguran yang besar pada kelompok ini, tentu membutuhkan lapangan pekerjaan yang sesuai.

Industri-industri dengan teknologi tinggi bisa jadi akan memberikan nilai tambah yang besar, tetapi penyerapan tenaga kerjanya bisa jadi kurang karena padat modal dan teknologi.

Fakta lain yang seharusnya menjadi kegelisahan pemangku kepentingan di negeri ini adalah pengangguran pada kelompok umur muda (umur 15-24 tahun). Tingkat pengangguran terbuka pada kelompok umur muda, mencapai 16,28 persen.

Artinya, dari 100 orang angkatan kerja berumur 15-24 tahun terdapat 16 orang yang menganggur. Proporsi pengangguran umur muda terhadap total pengangguran mencapai 51,05 persen atau separuh lebih dari pengangguran di Indonesia yang berusia 15-24 tahun.

Dengan kenyataan di atas, permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia masih banyak. Diharapkan, UU Cipta Kerja yang telah disahkan DPR dapat ditinjau kembali dengan mendengar lebih banyak kalangan agar kepentingan buruh, yang tidak lain juga merupakan penduduk di negeri ini, tidak terkorbankan. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat