Peserta aksi dari Forum Ukhuwah Islamiyyah (FUI) menggelar aksi unjuk rasa di Titik Nol Yogyakarta, Jumat (30/10). Aksi ini imbas penyataan Presiden Perancis Emmanuel Macron yang dianggap menghina Umat Islam dan Nabi Muhammad | Wihdan Hidayat / Republika

Laporan Utama

Lawan Perilaku tak Beradab dengan Adab

Melawan perilaku tidak beradab harus dilakukan dengan cara yang beradab.

 

Maulid Nabi menjadi sarana untuk menebalkan cinta kepada Rasulullah SAW. Pada momentum istimewa ini, umat Islam dunia diuji dengan fenomena karikatur Nabi yang menampakkan semangat Islamofobia di Prancis. Meski amat menyakitkan, butuh sikap yang cerdas dan akhlak beradab dari kaum Muslimin untuk menyikapi perilaku tak beradab itu.

Umat Islam mendapatkan ujian saat perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW tahun ini. Serangan Islamofobia masih menjangkiti dunia global. Sentimen itu diperparah dengan pernyataan rasial dari Presiden Prancis Emmanuel Macron belakangan ini.

Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir menilai penghinaan terhadap Rasulullah patut disesalkan. Hal itu tidak bisa diterima oleh masyarakat Muslim maupun umat beragama lainnya yang menjunjung tinggi peradaban.

Haedar beranalogi, jika para tokoh dunia dari berbagai agama kerap dihormati, sangat disesalkan apabila sosok seperti Nabi Muhammad SAW justru dihinakan dan dinistakan. Apalagi, dia berpendapat, hal itu terjadi justru di negara-negara maju yang kerap mengeklaim diri sebagai negara dengan masyarakat yang berperadaban tinggi.

photo
Peserta aksi dari Forum Ukhuwah Islamiyyah (FUI) menggelar aksi unjuk rasa di Titik Nol Yogyakarta, Jumat (30/10). Aksi ini imbas penyataan Presiden Perancis Emmanuel Macron yang dianggap menghina Umat Islam dan Nabi Muhammad - (Wihdan Hidayat / Republika)

"Sangat paradoks jika masyarakat di negara maju berperilaku rendahan, dari segi hak asasi manusia pun menistakan seorang Nabi tidak dibenarkan," ujar dia, Selasa (27/10).

Dia menilai, pihak yang mengaku sebagai penganut HAM tidak dibenarkan menghina hak asasi manusia lainnya. Di negara terbelakang pun tidak dibenarkan jika ada perilaku penghinaan kepada Nabi.

Untuk itu, dia mengajak kepada umat Islam seluruh dunia untuk membela Nabi dari bentuk penghinaan. Haedar menjelaskan, pembelaan mesti dilakukan dengan cara yang sesuai hukum dan demokrasi, juga dilakukan secara berkeadaban.

 
Pembelaan mesti dilakukan dengan cara yang sesuai hukum dan demokrasi, juga dilakukan secara berkeadaban.
 
 

Menurut dia, melawan perilaku tidak beradab harus dilakukan dengan cara yang beradab. Umat Islam pun diimbau agar tidak melakukan perbuatan yang sama rendahnya sebagaimana yang dilakukan Macron. "Tunjukkan bahwa umat Islam itu berakhlak mulia," ujar dia.

Islamofobia dinilai tumbuh karena tidak adanya pemahaman yang cukup mengenai Islam sebagai agama yang damai. Boleh jadi, kata dia, fenomena ini muncul karena adanya perilaku sebagian kecil orang Islam yang bertindak mendahulukan kekerasan dan tidak layak di ruang publik. "Sehingga ditangkap bias oleh pihak lain," kata dia.

Dia pun mengajak kaum Muslimin untuk terus melakukan introspeksi diri agar bertindak sesuai dengan ajaran Islam dan teladan Nabi Muhammad. Selain itu, ujar dia, perlu pemahaman tentang Islam bagi kalangan luar secara benar dan komprehensif, yakni risalah Islam rahmatan lil-alamin.

Ketua Komisi Hukum Pusat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Habib Muhammad Baharun mengatakan, pernyataan Macron memang dapat merusak kerukunan umat beragama. Seharusnya, dia berpendapat, Macron perlu belajar dari cendekiawan Prancis pendahulunya, yakni Lamartine yang memuji Nabi Muhammad.

Dalam Histoire de la Turquie, Lamartine menyebut bahwa jika kebenaran adalah tujuan, kecilnya peralatan, dan produk-produk menakjubkan merupakan tiga ukuran besar, maka siapakah yang berani membandingkan Muhammad dalam sejarah modern umat manusia? Akhlaknya, teladannya, semuanya terpuji. "Bukannya belajar dari pendahulunya, Macron justru melakukan penistaan kepada Nabi yang risalahnya dipeluk oleh 1,3 miliar umat manusia di bumi," kata dia.

 
Seharusnya, Macron perlu belajar dari cendekiawan Prancis pendahulunya, yakni Lamartine yang memuji Nabi Muhammad.
 
 

Menurut Habib Baharun, umat Islam tidak perlu merespons pandangan menyimpang dari pemimpin sekuler tersebut dengan kekerasan. Namun, justru dalam momentum Maulid Nabi Muhammad SAW ini, lanjutnya, umat Islam perlu mendakwahkan seluas-luasnya tentang akhlak dan budi pekerti Nabi Muhammad SAW.

Pemimpin Majelis Rasulullah, Habib Nabiel al-Musawa berpendapat, pernyataan rasial dari Macron memang sangat disesalkan karena membuat hati masyarakat Muslim sakit. Namun demikian, Habib Nabiel berpendapat, umat Islam perlu memaknai maulid Nabi tahun ini dengan teladan Nabi.

"Nabi itu akhlaknya tidak seperti manusia biasa. Bahkan, di dalam Alquran disebut dengan wa innaka lalla khuluqin azhim (sesungguhnya engkau wahai Muhammad memiliki akhlak yang azhim/mulia/besar)," kata Habib Nabiel saat dihubungi Republika, Selasa (27/10).

Dia mengungkapkan, salah satu akhlak Nabi secara personal adalah tidak membalas keburukan dengan keburukan. Terdapat banyak contoh mengenai teladan akhlak Nabi Muhammad.

 
Salah satu akhlak Nabi secara personal adalah tidak membalas keburukan dengan keburukan.
HABIB NABIEL AL-MUSAWA, Pemimpin Majelis Rasulullah
 

Habib Nabiel menjelaskan, salah satu contohnya adalah ketika seorang pendeta besar dari Habasyah (Etiopia) bernama Adi bin Hatim datang menemui Rasulullah di Madinah. Kala itu, Adi datang dengan kalung salib emasnya yang besar. "Atributnya itu menunjukkan bahwa Adi memiliki kedudukan yang tinggi," kata Habib Nabiel.

Adi bin Hatim pun ditunjukkan tempat Nabi berada oleh seseorang di Madinah. Kala itu, Nabi berada di Masjid Nabawi yang masih terdiri atas bangunan sederhana.

Adi melihat ke dalam masjid terdapat seorang laki-laki duduk menekuk lututnya di atas tanah dengan dikelilingi laki-laki lainnya. Dia menjelaskan, cara duduk Nabi, atribut yang digunakan, hingga bagaimana suasana Masjid Nabawi kala itu sama sekali berbeda jauh dengan pandangan Adi bin Hatim tentang sebuah kedudukan.

Nabi pun kemudian disambangi oleh wanita tua renta yang bau bernama Sayyidah Khaulah yang hendak menceritakan perkara suaminya. Ketika Sayyidah Khaulah datang, para sahabat yang mengelilingi Nabi menutup hidung saking baunya wanita tersebut. Hanya Nabi Muhammad seorang yang tidak menutup hidungnya. Beliau justru mendengarkan cerita Sayyidah Khaulah berjam-jam lamanya.

Melihat itu, Adi bin Hatim di dalam hatinya berpendapat bahwa apa yang dilihatnya pada sosok Nabi Muhammad bukanlah akhlak para raja pada umumnya.

Kemudian, Habib Nabiel melanjutkan, Adi bin Hatim pun mengikuti Nabi ke rumahnya. Di dalam rumah Nabi, Adi melihat kondisi rumah yang sederhana dengan satu bantal yang ada.

Ketika Adi datang bertamu, Nabi justru memberikan satu-satunya bantal tersebut kepada Adi dan mempersilakannya duduk, sementara Nabi duduk di atas tanah tanpa beralaskan apa pun. "Dari situlah kemudian Adi bin Hatim berkata asyahadu annaka Rasulullah, lalu dia masuk Islam," ujar dia.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat