Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Libur Bersama, Apa Masih Perlu?

Pertanyaannya, apakah kebijakan cuti bersama pada masa pandemi merupakan pilihan tepat?

Oleh ASMA NADIA

OLEH ASMA NADIA 

Ada yang ingat sejak kapan libur bersama menjadi budaya? Sejak kapan pemerintah menggabung hari libur terpisah dan membuat kebijakan cuti bersama sehingga masyarakat mempunyai banyak waktu untuk libur pada saat bersamaan?

Seingat saya pemicunya, koreksi jika salah, sejak peristiwa bom Bali. Insiden tragis tersebut menyebabkan Pulau Dewata yang sejatinya menjadi destinasi wisata kehilangan pengunjung, terutama dari luar negeri.

Hotel minim tamu, kamar-kamar kosong, pedagang lokal tak berjumpa pembeli, pemandu wisata tidak mempunyai klien, dan berbagai pengaruh menyedihkan lainnya.

Banyak wisatawan mancanegara sempat takut berkunjung ke Bali juga ke wilayah Indonesia secara umum. Travel warning berseliweran di sebagian besar kedutaan besar negara Barat. Akibatnya, industri pariwisata secara keseluruhan mengalami hantaman keras. 

 
Langkah pertama, tentu saja anak bangsa diimbau berwisata menikmati indahnya alam Indonesia. Cukup? Tentu saja belum.
 
 

Untuk menyelamatkan pariwisata, turis domestik menjadi salah satu solusi. Ketika tidak ada orang asing berkunjung, kedatangan wisatawan domestik akan sangat membantu. Namun, bagaimana caranya agar wisatawan lokal termotivasi bepergian?

Langkah pertama, tentu saja anak bangsa diimbau berwisata menikmati indahnya alam Indonesia. Cukup? Tentu saja belum.

Pemerintah memang tidak mungkin menyediakan dana liburan bagi rakyat, tapi pemegang kebijakan bisa membantu dengan cara berbeda. Salah satunya, memberikan liburan panjang pada warga negara.

Bagaimana menyiasatinya? Meliburkan masyarakat tanpa alasan hanya akan mengurangi produktivitas bangsa. Solusi yang kemudian dipilih adalah membuat cuti bersama atau memindahkan hari-hari libur ke satu waktu. 

Sepanjang pengetahuan saya, kebijakan seperti ini belum ada sebelumnya. Jika ada hari libur dan bukan liburan yang sakral, hari libur tersebut digeser ke Sabtu atau Ahad terdekat.

Misalnya, tanggal merah jatuh pada Kamis, pilihannya hari libur dipindahkan ke Jumat supaya Jumat, Sabtu, Ahad libur atau hari Jumat dijadikan hari wajib cuti bersama sehingga hari Kamis, Jumat, Sabtu, dan Ahad libur.

 
Jika dulu libur panjang identik dengan cuti tahunan, kini dalam satu tahun masyarakat bisa bepergian beberapa kali.
 
 

Dengan waktu libur lebih lama, masyarakat bisa merencanakan perjalanan, termasuk menjangkau titik di Tanah Air yang agak jauh. Secara tidak langsung, perusahaan diwajibkan memberi izin kepada pegawai untuk cuti hingga mereka memiliki waktu lebih leluasa.

Harus diakui, cara ini cukup berhasil mendorong kembali geliat pariwisata kita. Masyarakat mulai menabung karena tahu mereka akan memiliki kesempatan libur panjang untuk mendatangi berbagai destinasi pariwisata.

Jika dulu libur panjang identik dengan cuti tahunan, kini dalam satu tahun masyarakat bisa bepergian beberapa kali. Pertanyaannya, apakah kebijakan cuti bersama pada masa pandemi merupakan pilihan tepat?

Saya mengerti, sektor pariwisata saat ini anjlok, tetapi nyaris semua bidang kehidupan mengalami penurunan drastis. Bisa dikatakan semua lini bisnis terimbas sejak wabah terjadi dan terus memburuk. Selama pandemi belum berakhir, keadaan tidak akan membaik.

Namun, harus digarisbawahi, pandemi tidak akan berhenti jika mobilitas masyarakat masih tinggi, penyebaran virus dari luar negeri masuk ke kota, lalu berpindah terus dari kota ke desa, dari desa ke dusun, dari dusun ke dusun lain.

 
Kita tentu saja ingin wisata lokal bangkit juga industri lainnya. Namun, terkesan membiarkan pandemi menyebar lebih luas pun sama sekali bukan keputusan bijak.
 
 

Ya, bagaimana penularan terputus bila korona terus diberi ruang untuk bergerak lincah dari keluarga ke anggota keluarga, kerabat ke kerabat, komunitas, teman satu kantor, dan semua dimulai dari mobilisasi atau pergerakan.

Jika hal yang ingin dicapai dari cuti bersama adalah meningkatnya perjalanan wisata, bukankah jika itu terjadi, justru pandemi meluas dan kian sulit terkendali?

Kita tentu saja ingin wisata lokal bangkit juga industri lainnya. Namun, terkesan membiarkan pandemi menyebar lebih luas pun sama sekali bukan keputusan bijak.

Seharusnya, jika dulu untuk mencapai kepentingan tertentu kita bisa membuat kebijakan cuti bersama, kini untuk kepentingan amat darurat justru pembuat kebijakan harus berpikir untuk menghindari opsi ini.

Sebab opsi tersebut potensial sekali alias berbanding lurus dengan penyebaran Covid-19.

Hal yang lucu, setelah cuti bersama diumumkan, beberapa pihak yang berwenang sempat mengimbau masyarakat agar segera kembali ke rumah atau tidak melakukan perjalanan jauh. Pelajaran sederhana yang diabaikan. Jika tidak ingin air mengalir, jangan pernah membuka kerannya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat