Sunarsip | Daan Yahya | Republika

Analisis

Perbankan dan Pemulihan Ekonomi

Perbankan memiliki peluang menjadi lokomotif bagi pemulihan ekonomi.

Oleh SUNARSIP

OLEH SUNARSIP

Saya hampir tidak percaya ketika membaca laporan yang diterbitkan lembaga kami, The Indonesia Economic Intelligence, yang menyebutkan pada Agustus 2020 lalu kredit perbankan hanya tumbuh 1,04 persen (year on year/yoy). Bisa dikatakan, ini adalah angka pertumbuhan kredit terendah dalam 10 tahun terakhir.

Bank BUMN yang biasanya membukukan pertumbuhan kredit relatif tinggi, kini hanya mampu tumbuh 3,05 persen (yoy). Hanya bank BPD yang menjadi satu-satunya kelompok bank yang kreditnya mampu tumbuh di atas 5 persen, yaitu tumbuh 6,86 persen (yoy).

Apakah perbankan kita mengalami kesulitan likuiditas sehingga tidak mampu menyalurkan kredit? Ternyata juga tidak. Simpanan masyarakat atau dana pihak ketiga (DPK) tumbuh relatif tinggi. Pada Agustus lalu, DPK tumbuh 11,64 persen (yoy). Pertumbuhan DPK terutama berasal dari dana murah, giro tumbuh 23,48 persen (yoy), dan tabungan 10,29 persen (yoy). 

Tidak mengherankan bila kini transaksi di pasar uang antar bank (PUAB) terlihat sepi karena memang praktis perbankan tidak membutuhkan “emergency support” untuk memenuhi kebutuhan likuiditasnya. Perbankan kini justru mengalami kelebihan likuiditas! 

 
Bank BUMN yang biasanya membukukan pertumbuhan kredit relatif tinggi, kini hanya mampu tumbuh 3,05 persen (yoy).
 
 

Kelebihan likuiditas tersebut kini “tertimbun” dalam aset perbankan, namun kurang produktif. Pertumbuhan DPK murah yang tinggi yang semestinya menjadi “senjata” untuk mendorong pertumbuhan kredit, ternyata belum termanfaatkan secara maksimal.

Dukungan penempatan dana pemerintah ke perbankan, sepertinya hasilnya kurang maksimal dalam mendorong sektor riil melalui kredit. Relaksasi kebijakan makroprudensial yang dikeluarkan bank sentral tampaknya belum termanfaatkan secara optimal.

Biasanya, bank-bank dengan portofolio kredit korporasi yang lebih besar memiliki peluang yang lebih cepat untuk mengejar pertumbuhan kreditnya. Sayangnya, di tengah krisis pandemi ini, sektor korporasi praktis tidak melakukan ekspansi, sehingga kebutuhan kreditnya juga berkurang. Bahkan, beberapa komitmen kredit yang telah dibuat sebelum Covid-19, kini terpaksa dibatalkan karena mempertimbangkan kemampuan membayarnya.

Pada akhirnya, praktis tinggal kredit-kredit dengan skala yang lebih kecil (UMKM) yang potensial dikembangkan karena dinilai memiliki kemampuan survival yang lebih baik.

Pertanyaannya, apakah kemudian kredit UMKM tumbuh yang signifikan? Jawabannya, ternyata tidak. Kredit UMKM justru tumbuh negatif selama 2020. Pada Agustus lalu, kredit UMKM tumbuh negatif (-1,89 persen yoy), terutama dari segmen kredit mikro (-4,23 persen yoy) dan kredit menengah (-4,45 persen yoy). Hanya segmen kredit kecil yang tumbuh positif (3,69 persen yoy).

Kondisi ini tentunya tidak sejalan dengan upaya pemerintah yang ingin mendorong kinerja UMKM. Kondisi ini juga tidak sejalan dengan tujuan penempatan dana pemerintah ke perbankan untuk mendorong sektor riil, khususnya UMKM.

 
Perbankan semestinya tidak hanya fokus ke restrukturisasi dan kualitas aset dan tidak melupakan ekspansi. 
 
 

Kondisi ini tentunya tidak boleh berlangsung lama. Perlu adanya dorongan baik berupa insentif kebijakan (bila diperlukan) atau melalui pendekatan reward and punishment agar perbankan lebih agresif dalam mendorong pertumbuhan kreditnya. Pertumbuhan kredit boleh saja rendah, namun kalau melihat angka pertumbuhan kredit yang hanya sebesar 1,04 persen (bahkan tumbuh negatif di segmen UMKM) tentu ada sesuatu yang perlu dikoreksi.

Krisis pandemi Covid-19 memang telah membuat perekonomian kita lesu. Pemberlakuan PSBB tentu membatasi aktivitas ekonomi. Namun demikian, PSBB sebenarnya hanya diberlakukan secara terbatas, di Jabodetabek. Di luar itu, aktivitas ekonomi masih berjalan, meskipun dengan tetap diberlakukan protokol kesehatan.

Perbankan semestinya tidak hanya fokus ke restrukturisasi dan kualitas aset dan tidak melupakan ekspansi. Perbankan memiliki peluang menjadi lokomotif bagi pemulihan ekonomi, bukan hanya menjadi follower pada kondisi ekonomi, yang kini sedang lesu. Kelesuan ekonomi justru berpeluang dihentikan bila perbankan lebih agresif dalam mendorong pertumbuhan usahanya.

Data pertumbuhan ekonomi sampai dengan semester I-2020 memperlihatkan, beberapa daerah (khususnya di luar Jawa) masih mengalami pertumbuhan positif di tengah Jawa yang seluruhnya sudah mengalami pertumbuhan negatif. Perbankan memiliki peluang menjadi lokomotif untuk mencegah terjadinya perluasan krisis ekonomi di daerah bila mampu mengembangkan ekspansi keluar Jawa.

 
Saya melihat, fenomena ini terjadi disebabkan terdapat persoalan implementasi di lapangan. Patut diduga, berbagai insentif pemerintah tidak terlaksana (delivered) sampai di tingkat bawah (pelaku usaha). 
 
 

Pertanyaannya, lalu apa yang diperlukan untuk mendorong pertumbuhan kredit perbankan? Pertama, dari sisi insentif kebijakan. Saya berpendapat, sebenarnya insentif kebijakan sudah cukup. Dari sisi moneter, bank sentral telah menurunkan suku bunga acuannya (policy rate) pada level yang rendah.

Suku bunga acuan ini juga telah diikuti dengan penurunan suku bunga simpanan dan kredit. Hanya saja, penurunan suku bunga kredit memang tidak lebih agresif dibanding suku bunga simpanan. Namun demikian, suku bunga kredit saat ini sebenarnya sudah cukup kompetitif untuk menarik peminjam (debitur). 

Saya berpendapat, insentif kebijakan pemerintah juga sudah cukup kompetitif. Insentif pemerintah baik berupa penempatan dana, subsidi suku bunga kredit program, insentif perpajakan, insentif kelistrikan sudah memadai untuk membuat sektor ekonomi, khususnya UMKM tumbuh. Pertanyaannya: lalu kenapa pertumbuhan kredit (terutama UMKM) tidak bergerak?

Saya melihat, fenomena ini terjadi disebabkan terdapat persoalan implementasi di lapangan. Patut diduga, berbagai insentif pemerintah tidak terlaksana (delivered) sampai di tingkat bawah (pelaku usaha). Sosialisasi, kerja sama dan dukungan dengan instansi di tingkat lokal, serta agresivitas petugas di lapangan yang kurang intensif membuat berbagai insentif tersebut menjadi kurang termanfaatkan secara optimal.

Saya berpendapat, pemerintah perlu melakukan evaluasi terhadap implementasi keseluruhan program terkait dengan pemberdayaan UMKM melalui perbankan ini.

 
Kemudian, dari sisi pemerintah sebagai pemilik bank BUMN, perlu dipertimbangkan sistem reward and punishment yang dikaitkan dengan pertumbuhan usaha.
 
 

Kedua, perlu dipertimbangkan pula sistem reward and punishment baru untuk mendorong pelaku di sektor perbankan agar lebih agresif dalam menyalurkan kredit. Sistem reward dan punishment ini dapat dikembangkan oleh regulator (dalam konteks perbankan secara nasional) dan ditambah oleh pemerintah (khususnya bagi bank-bank milik pemerintah). Dari sisi regulator, otoritas industri (OJK) sebenarnya telah mengeluarkan sejumlah kebijakan yang menjadi insentif, reward dan punishment.

Misalnya, mengkaitkan kinerja perkreditan dengan izin pembukaan kantor cabang dan pengembangan usaha. Saya mengusulkan, faktor kemampuan bank dalam mendorong pertumbuhan kreditnya dan menjaga kualitas asetnya perlu dikaitkan dengan insentif pengembangan usaha bank. Perlu dikaji pula, apakah di era digitalisasi saat ini, masih relevan insentif pembukaan kantor cabang dikait dengan dengan kinerja bank?

Kemudian, dari sisi pemerintah sebagai pemilik bank BUMN, perlu dipertimbangkan sistem reward and punishment yang dikaitkan dengan pertumbuhan usaha. Selama ini reward didasarkan pada besarnya perolehan laba. Besarnya reward ditetapkan sekian persen dari besarnya laba. Saya mengusulkan, besarnya reward perlu dikaitkan dengan kinerja pertumbuhan usaha, seperti pertumbuhan kredit dan kualitas aset.

Bila target pertumbuhan usaha tidak tercapai, maka reward dikurangi bahkan bisa tidak diberikan, meskipun bank mencatatkan kenaikan laba. Dengan sistem reward and punishment seperti ini, diharapkan dapat meningkatkan agresivitas perbankan dalam mendorong pertumbuhan usahanya, terutama perkreditan, mulai dari manajemen puncak hingga petugas di lapangan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat