Mahasiswa melakukan unjuk rasa dengan membawa foto almarhum Munir Said Thalib di Kampus UNS, Solo, Jawa Tengah, Selasa (10/9/2019). | ANTARA FOTO

Nasional

Komnas HAM Kaji Permohonan KASUM 

Dalam kasus pelanggaraan HAM berat, alasan menghapus tuntutan pidana atau menghapus kewajiban negara

JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah menerima permohonan dari Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) untuk menetapkan kasus pembunuhan Munir menjadi pelanggaran HAM berat. Status pelanggaran HAM berat dinilai dapat membuat kasus Munir tidak terpengaruh masa kedaluwarsa seperti dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). 

Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan, Komnas HAM masih memproses permohonan tersebut. "Mereka sudah mengajukan dan kami sudah membentuk tim untuk mengkaji apakah secara hukum dimungkinkan," kata Taufan, Senin (19/10).  

Taufan menjelaskan, tim dibentuk berdasarkan keputusan sidang paripurna. Tim itu dipimpin oleh Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Sandrayati Moniaga. 

Ketua KASUM Usman Hamid mengatakan, KASUM berharap penetapan status pelanggaran HAM berat membuka peluang penuntasan kasus ini. "Dengan penyelidikan projustisia tersebut akan terbuka peluang baru penuntasan kasus ini," ujar dia, kemarin.

Usman menerangkan, dalam kasus pelanggaraan HAM berat, alasan menghapus tuntutan pidana atau menghapus kewajiban negara dalam memidanakan seseorang tidak berlaku karena tidak adanya masa kedaluwarsa. Diketahui, dalam KUHP, masa kedaluwarsa kasus pidana 18 tahun dan kasus Munir akan genap 18 tahun pada 2022. Dalam pidana biasa, pelaku pembunuhan tidak bisa diadili lebih dari sekali. Hal itu berbeda dalam kasus pelanggaran HAM berat. 

photo
Aktivis Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (Kasum) berorasi usai mengikuti sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tata Usaha Negara, Jakarta, Rabu (29/7). - (ANTARA FOTO)

Aktivis HAM, Munir Said Thalib meninggal dalam pesawat saat menuju Amsterdam, Belanda pada September 2004. Munir dinyatakan sebagai korban pembunuhan karena ditemukan adanya racun arsenik dalam tubuhnya. Kasusnya kembali mencuat setelah Pollycarpus Budihari, mantan terpidana kasus Munir, meninggal pada Sabtu (17/10). 

Pollycarpus merupakan mantan pilot Garuda Indonesia yang divonis 14 tahun penjara. Ia merupakan eksekutor yang meracuni Munir ketika transit di Singapura. Pollycarpus dinyatakan bebas murni pada Agustus 2018. Kematian Pollycarpus menambah gelap pengungkapan kasus tersebut.

Namun, Usman menilai kematian Pollycarpus tidak menghalangi kelanjutan kasus Munir. Sebab, kesaksian maupun keterangannya sebagai tersangka tidak bisa dipakai untuk menjeratnya dengan pemidanaan. "Dalam perspektif hukum HAM ada prinsip non-self incrimination, artinya pengakuan seseorang tidak boleh digunakan untuk menjerat orang itu dengan sebuah pemidanaan," ujar Usman.

Kata dia, proses pengusutan yang benar adalah jika dimulai dari keterangan saksi, keterangan ahli, serta bukti ilmiah atau petunjuk lainnya. Selain itu, keterangan Pollycarpus selama ini telah ada dalam berkas pemidanaannya yang masih bisa digunakan. "Ia juga sudah diadili dan divonis bersalah," ucapnya. 

Keterangan Pollycarpus juga sudah tertuang sebagai alat bukti bagi pelaku yang memberi akses dan bantuan, yakni fakta percakapan telepon antara dirinya dan mantan presiden direktur Garuda Indonesia Indra Setiawan serta komunikasi telepon dengan pejabat lainnya. "Indra juga sudah diadili dan divonis bersalah. Bahan persidangan itu bisa dipakai untuk proses pengusutan selanjutnya, " ujar Usman. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat