Masjid Jami an-Nawier merupakan salah satu bangunan bersejarah di Ibu Kota. Lokasinya berada di Kampung Arab Pekojan, Kelurahan Pekojan, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. | DOKREP Fakhri Hermansyah

Arsitektur

Masjid Jami an-Nawier, Ikon Kebudayaan Arab di Ibu Kota

Bangunan bersejarah masjid ini memiliki keunikan arsitektur maupun tradisi.

OLEH HASANUL RIZQA

Pada masa perjuangan kemerdekaan, menara masjid ini juga dijadikan tempat persembunyian para pejuang dari kejaran tentara Belanda.

Jakarta sejak berabad-abad silam merupakan simpul perjumpaan dari beraneka suku bangsa. Salah satu kelompok etnik yang telah berbaur lama dengan penduduk lokal ialah komunitas Arab.

Bahkan, tak sedikit tokoh nasional yang memiliki darah Arab. Dari generasi ke generasi, mereka berkiprah di macam-macam bidang, seperti agama, budaya, pemerintahan, kesenian, dan masih banyak lagi.

Di Ibu Kota, jejak akulturasi Arab dan tempatan dapat dijumpai pada berbagai bangunan bersejarah. Di antaranya adalah Masjid Jami an-Nawier. Kompleks tempat ibadah itu berlokasi di Kampung Arab Pekojan, Kelurahan Pekojan, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Meskipun namanya “kampung Arab”, kawasan tersebut juga dihuni penduduk keturunan Gujarat atau India.

Masjid Jami an-Nawier berdiri sejak abad ke-18, tepatnya pada 1760. Hingga saat ini, masjid tersebut masih tegak berdiri dan menjadi kebanggaan masyarakat Jakarta. Secara kapasitas, bangunan yang terkesan megah ini dapat menampung sekitar seribu orang jamaah.

photo
Masjid Jami an-Nawier dirintis oleh seorang habib yang juga dermawan setempat, Habib Abdullah bin Husein Alaydrus. - (DOKREP Fakhri Hermansyah)

Masjid ini dibangun Habib Abdullah bin Husein Alaydrus. Menurut pegiat sejarah Betawi Alwi Shahab, pada masa jayanya sang habib terkenal sebagai sosok yang kaya raya sekaligus dermawan. Kiprahnya tidak hanya tampak dalam pembangunan masjid yang berarti ‘cahaya’ (an-nawir) itu.

Sebagai contoh, tokoh keturunan Arab Hadrami itu juga menyokong pendirian madrasah modern Jamiatul Khair dan Arabitah Alawiyah. Namanya bahkan diabadikan sejak zaman kolonial Belanda sebagai nama jalan: Alaydruslaan (Jalan Alaydrus).

Adapun lahan yang menjadi lokasi pembangunan masjid ini diyakini merupakan wakaf dari Syarifah Baba Kecil. Sama seperti Habib Abdullah, dirinya juga keturunan Arab Hadrami. Makamnya terletak di bagian depan area masjid tersebut.

Masjid Jami an-Nawier dianggap sebagai salah satu masjid tertua di Jakarta. Dalam sejarah penyebaran syiar Islam di Tanah Betawi, peranan Masjid Jami an-Nawier pun tidak kecil. Melansir situs Jakarta Islamic Center, konon masjid ini adalah induk dari masjid-masjid di sekitarnya. Kompleks tempat ibadah ini juga diyakini berkaitan dengan masjid-masjid kuno lainnya di Keraton Surakarta (Jawa Tengah) dan Banten.

photo
Tempat wudhu di Masjid Jami an-Nawier. Masjid ini telah mengalami pemugaran pada 1970-an untuk menjaganya tetap terawat - (DOKREP Fakhri Hermansyah)

Sebagai gambaran, bilamana ada seorang anggota keluarga atau alim ulama Keraton Solo yang wafat, maka berita duka cita itu disiarkan pula di Masjid Jami ini. Setelah itu, biasanya para pengurus dan jamaah masjid tersebut akan melaksanakan shalat gaib dan berdoa bagi si fulan atau fulanah yang meninggal dunia. Tradisi semacam ini tidak pemah dilakukan masjid-masjid lain di Ibu Kota.

Adapun kaitannya dengan Masjid Maulana Hasanuddin di Banten berkenaan dengan seringnya masjid ini mendapat kunjungan dari para alim ulama Banten. Di sekitar masjid ini pun, terdapat makam-makam tua yang diperkirakan menjadi tempat peristirahatan terakhir sejumlah ulama besar dan pejuang pada zamannya. Alhasil, Masjid Jami an-Nawier sering mendapat kunjungan para peziarah dari berbagai daerah Nusantara.

Sebagai karya arsitektur, masjid ini tentunya sangat kaya akan nuansa khas Arab-Betawi. Umpamanya, mimbar yang tampak antik, hingga kini masih dapat dijumpai di sana. Mimbar itu merupakan hibah dari seorang sultan Pontianak, Syarief Algadri, yang memerintah pada abad ke-18.

Secara keseluruhan, gaya bangunan Masjid Jami an-Nawier bercorak Arab yang memadukan berbagai unsur-unsur Betawi dan Barat, terutama neo-klasik. Agaknya, masjid ini tidak dibangun sekaligus jadi, melainkan secara bertahap. Di sana, sudah beberapa kali mengalami pemugaran dan pemeliharaan. Di antaranya adalah renovasi besar-besaran yang dikerjakan pada 1800.

photo
Masjid Jami an-Nawier dijuluki juga sebagai Masjid 33 Tiang - (DOKREP Fakhri Hermansyah)

Satu keunikan masjid ini ialah jumlah tiang penyangganya di dalam ruangan utama. Totalnya sebanyak 33 tiang. Maka dari itu, Masjid Jami an-Nawier acapkali disebut sebagai Masjid 33 Tiang.

Alas tiang berbentuk segi delapan, sedangkan tiangnya bulat dengan galur-galur vertikal sehingga mirip tiang bangunan khas Eropa. Tinggi tiang yang berjajar dari arah barat ke timur (sisi utara) sekitar 4 meter. Adapun tinggi tiang-tiang arah utara ke selatan (sisi selatan) sekira 3,5 meter.

Sisi unik lainnya Masjid Jami an-Nawier juga terlihat dari menaranya. Menara masjid ini cukup tinggi menjulang. Letaknya berada di sisi timur laut, menyatu dengan ruang utama. Sekilas, bentuknya menyerupai sebuah mercusuar. Tubuh menara ini dapat dipilah menjadi tiga bagian: yang berbentuk empat persegi panjang, silinder dengan empat buah jendela, dan silinder dengan diameter yang lebih kecil.

 

photo
Masjid Jami an-Nawier tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah bagi kaum Muslimin. Ia juga merupakan ikon sejarah kebudayaan Arab-Betawi sejak masa silam - (DOKREP Fakhri Hermansyah)
 
Konon, pada masa perjuangan kemerdekaan, menara masjid ini juga dijadikan tempat persembunyian para pejuang dari kejaran tentara Belanda. Dahulu, seorang bilal atau muazin mesti mendaki hingga ke bagian pucuknya untuk mengumandangkan azan. Kini, tradisi itu mulai surut karena kehadiran teknologi pengeras suara.

Di sebelah timur Masjid Jami an-Nawier, terdapat sebuah Sekolah Dasar Islam (SDI) yang dikelola oleh pihak takmir atau pengurus masjid ini. Pemerintah DKI Jakarta terus memberikan perhatian pada perawatan bangunan-bangunan tua dan cagar budaya di wilayah setempat, termasuk masjid ini. Pada periode 1970-an, pemugaran sempat dilakukan untuk menjaga keindahan dan pesona kompleks bersejarah ini.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat