Serikat buruh mogok kerja nasional yang berlangsung tanggal 6-8 Oktober 2020. Mereka menolak UU Cipta Kerja. | Republika/Thoudy Badai

Nasional

Tiga Strategi Menyikapi UU Cipta Kerja

Kemaslahatan UU Cipta Kerja tak berbanding lurus dengan mudharat yang ditimbulkan.

 

JAKARTA — Perencanaan, pembahasan dan persetujuan RUU Cipta Kerja oleh DPR dan Pemerintah secara formal dinilai bermasalah. Di antara masalah tersebut adalah minimnya keterlibatan masyarakat yang mengakibatkan banyak pihak merasa dirugikan. Mereka kemudian menggelar aksi demonstrasi beberapa waktu lalu. Juga ada yang menyuarakan penolakannya melalui konten digital dan artikel opini yang dimuat di berbagai media arus utama.

"Respons dari kalangan ormas, buruh, pemerintah daerah, mahasiswa dan berbagai kelompok kepentingan (stakeholders) lainnya membuktikan saluran partisipasi publik tersumbat. Di sini letak masalahnya," tegas Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ahmad Tholabi Kharlie, dalam keterangan tertulisnya pada Senin (12/10).

Menurut Ketua Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Se-Indonesia ini, keputusan negara melalui DPR dan Pemerintah dalam persetujuan UU Cipta Kerja semestinya menjadikan kemaslahatan sebagai pijakannya. Yang menyangkut dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas. Menjadi solusi pembangunan ekonomi di tengah pandemi Covid-19. Juga menjaga kedaulatan dan harga diri bangsa di mata dunia.

"Ada kaidah Ushul Fikih yang cukup ideal untuk dijadikan pedoman bagi para penyelenggara negara yakni, keputusan pemimpin harus berpijak pada kemasalahatan rakyatnya, tasharruf  al-Imam 'ala al-ra'iyyah manuth bi al-mashlahah. Rakyat di dalamnya ada pengusaha, buruh, pemerintah daerah, ulama dan seluruh stakeholder bangsa ini. Tidak boleh timpang sebelah," ingat Tholabi. 

Pihaknya memahami niat dan keinginan pemerintah dengan adanya UU Cipta Kerja ini. Hanya saja, ia menilai aspek kemaslahatan berupa mudahnya berinvestasi dan iklim yang positif dalam usaha di Indonesia dengan asumsi akan melahirkan lapangan pekerjaan, tidak berbanding lurus dengan potensi kemudharatan yang muncul akibat UU Cipta Kerja. 

"Selain ada sisi positif dari UU ini, namun ada potensi kerusakan yang bakal terjadi adanya UU Cipta Kerja ini. Protes dan catatan kritis dari berbagai elemen merupakan potensi kerusakan yang akan muncul. Pemerintah semestinya mendahulukan untuk menghindari kerusakan daripada mendahulukan kemaslahatan, dar'u al-mafasid muqaddam 'ala jalb al-mashalih," tegas Tholabi. 

photo
Sejumlah buruh dari berbagai serikat dan organisasi melakukan longmarch menuju Balai Kota Bandung di Jalan Merdeka, Kota Bandung, Selasa (6/10). Dalam unjuk rasa tersebut mereka menolak pengesahan UU Cipta Kerja dan mengancam akan melakukan mogok kerja pada 6-8 Oktober 2020 - (ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA)

Atas kegaduhan yang muncul akibat UU Cipta Kerja ini ada sejumlah opsi yang dapat ditempuh. Pertama, pemerintah seperti Presiden dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dengan membatalkan sejumlah norma yang bermasalah. "Penerbitan Perppu dapat ditempuh oleh Presisden, meski rasanya sulit dilakukan jika melihat sikap  terakhir presiden. Saya sangat pesimis Presiden akan menerbitkan Perppu," tegas Tholabi. 

Kedua, DPR dan Presiden mengubah beberapa substansi UU Cipta Kerja yang dianggap bermasalah. Hal ini dilakukan dengan mengundang sebanyak-banyaknya stakeholder yang berkepentingan dengan UU Cipta Kerja ini. "Opsi yang relatif moderat adalah dengan melakukan legislative review, yakni perubahan sejumlah norma melalui DPR dengan catatan undang dan libatkan seluruh stakeholders sebanyak-banyaknya. Di atas kertas sulit, tetapi kenapa tidak diupayakan. Toh DPR dan Presiden dipilih rakyat, sebaiknya mendengar aspirasi yang memilihnya," tambah Tholabi. 

Ketiga, dan ini opsi terakhir, imbuh Tholabi, judicial review merupakan langkah paling ujung untuk menguji  konstitusionalitas UU Cipta Kerja tersebut. Jika jalan musyawarah antara rakyat dengan Presiden dan DPR buntu, maka jalur judicial review adalah pilihannya. Warga Negara berhadap-hadapan dengan DPR dan Presiden di ruang pengadilan. "Ini pilihan terakhir," kata Tholabi.

UU Cipta Kerja yang telah disetujui bersama DPR dan Pemerintah pada Senin (5/10/2020) menyisakan polemik di tengah publik. Sejumlah catatan di berbagai klaster. Kali ini catatan di klaster di sektor keislaman. Tholabi telah membaca dan membandingkan antara norma lama dengan norma baru, khususnya di sejumlah isu yang terkait dengan keislaman.  "Ada sejumlah norma di UU Cipta Kerja ini yang secara langsung mengatur mengenai sejumlah hal terkait dengan isu keislaman. Seperti Perbankan Syariah, Jaminan Produk Halal, serta Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah," ujar Tholabi. 

Dari sejumlah ketentuan tersebut, ada semangat dari pembentuk undang-undang (law maker) untuk mengatur dari sisi bisnis di sektor keislaman tersebut. "Ada upaya untuk mendorong dan menguatkan sisi ekonomi dan bisnisnya di sektor keislaman. Dari sini kami menangkap ada spirit yang patut diapresiasi," sebut Tholabi. 

 

 
Ada upaya untuk mendorong dan menguatkan sisi ekonomi dan bisnisnya di sektor keislaman. Dari sini kami menangkap ada spirit yang patut diapresiasi.
AHMAD THOLABI KHARLIE, Ketua Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum se-Indonesia.
 

 

 

Ia mencontohkan dalam pengaturan mengenai perbankan syariah posisi badan hukum asing kemitraan ditempatkan dalam posisi penting dalam pendirian Bank Syariah di Indonesia. Selain itu, payung hukum dalam pengaturan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) yang semula melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI), di UU Ciptaker diatur melalui UU Penanaman Modal Asing (PMA). "Di poin ini UU Cipta Kerja ingin menjadikan perbankan syariah di Indonesia menjadi sektor yang diunggulkan," kata Tholabi.  

Namun demikian, pihaknya juga menjumpai sejumlah norma di UU Cipta Kerja yang berpotensi menimbulkan masalah. Ia menyebut seperti kedudukan MUI dalam urusan jaminan produk halal (JPH) khususnya mengenai kerjasama dengan Badan Jaminan Produk Halal (BPJH) berkurang hanya di bidang penetapan kehalalan produk saja. 

"Padahal di undang-undang lama di Pasal 10 UU No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), MUI bekerjasama dengan BPJH dalam bentuk sertifikasi auditor halal,  akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) serta penetapan produk halal. Ada kewenangan MUI yang dipreteli. Apakah MUI pernah diajak bicara tentang hal ini?" sebut Tholabi. 

Di bagian lain, dia juga mencatat tentang penghapusan denda administratif terhadap pelaku yang tidak memisahkan lokasi dan alat proses produk halal (PPH) yang semula disebutkan dalam UU Jaminan Produk Halal, kini dalam UU Ciptaker dihapus dan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah (PP). "Dari sisi hierarki peraturan perundang-undangan,  tentu turun kelas, di UU Ciptaker didelegasikan ke PP. Padahal, ancaman sanksi ini penting sebagai bagian dari proteksi terhadap masyarakat Islam khususnya mengenai produk halal," urai dia. 

Ada pula norma yang positif seperti negara memfasilitasi UMKM dalam pengurusan sertifikasi halal sebagaimana diatur dalam perubahan pasal 44 terhadap UU No 33 Tahun 2004 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Pada ketentuan lainnya yang terdapat di Pasal 28 disebutkan, penyelia halal dapat dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan (Ormas). "Saya melihat ini sisi positif. Ada keberpihakan pada UMKM dalam urusan sertifkasi halal, termasuk diberinya ruang ormas dalam urusan penyelia halal, meski sifatnya opsional," cetus Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.  

 

Sudah berusaha

photo
Ketua Gerakan Nasional Anti Miras Fahira Idris menyampaikan pendapatnya saat diskusi forum legislasi di komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (10/11). Diskusi tersebut membahas penerapan RUU Minuman Beralkohol - (ANTARA FOTO)

Anggota DPD RI Fahira Idris menegaskan, dirinya sejak awal pembahasan RUU Cipta Kerja telah meminta kepada Pemerintah dan DPR untuk menunda dulu semua pembahasan di semua klaster yang ada dalam RUU ini hingga pandemi ini bisa dikendalikan. Baginya, sebuah RUU yang mendapat penolakan luas, bahkan bukan hanya dari kalangan buruh, petani, nelayan, civil society, mahasiswa, akademisi tetapi juga ditolak organisasi keagamaan besar, menandakan RUU tersebut mengandung banyak persoalan. Menurutnya dalam merespon penolakan ini, seharusnya Pemerintah maupun DPR memformulasikan ulang draf RUU Cipta Kerja dengan melibatkan sebanyak mungkin partisipasi publik atau mengedepankan prinsip keterbukaan. Bukan malah tergesa-gesa mengesahkannya. 

“Niat ingin mempercepat kesejahteraan rakyat dengan memperbaiki secara mendasar iklim investasi dan memudahkan rekrutmen tenaga kerja yang muaranya membuat pertumbuhan ekonomi, sah-sah saja. Namun, jika niat tersebut dicapai dengan meniadakan aturan-aturan lain yang juga sangat penting maka mungkin saja pertumbuhan ekonomi naik, tetapi berpotensi semu karena tidak merata dinikmati seluruh rakyat,” tukasnya. 

DPD RI secara kelembagaan telah berupaya sangat keras untuk memperjuangkan aspirasi rakyat dan kepentingan daerah dalam pembahasan tingkat pertama RUU Cipta Kerja. DPD RI telah menyampaikan aspirasi rakyat dan daerah yang telah disiapkan oleh masing-masing Komite. DPD RI berkepentingan untuk mengutamakan kesejahteraan rakyat dan menjaga agar tidak terjadi degradasi kewenangan Pemerintah Daerah dalam pembahasan RUU Cipta Kerja dalam 56 kali rapat panja mulai 20 April hingga 3 Oktober 2020.

Terkait dengan substansi perubahan UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, DPD RI telah menyampaikan analisa substansi dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap norma-norma baru yang diusulkan dalam RUU tentang Cipta Kerja. DPD RI bahkan mengusulkan untuk kembali ke UU eksisting atau dicabut dari RUU tentang Cipta Kerja.

Penolakan DPD RI terhadap kluster UU Ketenagakerjaan juga telah disampaikan Ketua PPUU mewakili DPD pada Rapat Kapoksi dengan Pimpinan DPR RI. Dalam setiap pembahasan, DPD RI tak pernah berhenti mendesak agar kewenangan daerah tetap diakomodir dalam RUU Cipta Kerja. Dikembalikannya kewenangan daerah dari draf awal, merupakan bukti perjuangan DPD RI untuk menjaga prinsip otonomi daerah. Namun sayang, permintaan DPD RI secara kelembagaan untuk menghentikan dan menunda pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja sampai pandemi Covid-19 berakhir, belum berhasil dikabulkan oleh DPR dan Pemerintah sehingga pembahasan terus bergulir hingga RUU tersebut disahkan oleh DPR. 

“Kesulitan DPD RI memuluskan usulannya untuk diakomodir dalam proses pembentukan RUU Cipta Kerja ini, disebabkan keterbatasan kewenangan DPD RI. Sebagai lembaga Negara seharusnya kelak DPD RI diberikan kewenangan yang cukup dalam pengambilan keputusan,” ujarnya. 

Memang, jika merujuk Pasal 22D UU MD3, DPD RI hanya dapat mengajukan dan ikut membahas berbagai UU. Kewenangan pengambilan keputusan tidak diberikan kepada DPD RI. Pasal 22D UUD 1945 telah menyebutkan kewenangan DPD dibidang legislasi yakni pengajuan RUU tertentu, ikut membahas bersama DPR dan Pemerintah terhadap penyusunan RUU tertentu, pemberian pandangan dan pendapat terhadap RUU tertentu, pemberian pertimbangan terhadap RUU tentang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama, serta pengawasan terhadap pelaksanaan UU tertentu. Dengan Keterbatasan ruang lingkup DPD RI dalam bidang Legislasi, DPD hanya dilibatkan dalam pembahasan Tingkat I dan tidak dilibatkan langsung dalam proses pengesahan dan persetujuan RUU Cipta Kerja antara Pemerintah dengan DPR. 

Fahira berharap rakyat bersedia memahami keterbatasan kewenangan DPD RI. Dengan segala keterbatasan kewenangan ini, DPD RI semaksimal mungkin telah memperjuangkan aspirasi rakyat dan kepentingan daerah dalam Omnibus law Cipta Kerja. 

“Sedari dulu saya pribadi tidak pernah mengeluhkan soal keterbatasan kewenangan DPD RI dalam hal legislasi, karena ini menjadi konsekuensi yang harus saya jalani sebagai Anggota DPD RI agar lebih maksimal lagi berjuang. Namun, memang kenyataan di lapangan, keterbatasan kewenangan dalam hal legislasi ini menjadi hadangan besar bagi Anggota DPD RI untuk mengawal sebuah aspirasi untuk benar-benar menjadi sebuah regulasi atau UU. Mohon maaf jika belum bisa maksimal, ini karena keterbatasan kewenangan lembaga DPD RI,” pungkasnya.

Terkait aksi penolakan pengesahan RUU Cipta dari berbagai elemen masyarakat di wilayah Jakarta (8/10) kemarin, Fahira Idris melalui LBH Bang Japar membuka crisis center bagi siapa saja yang merasa kehilangan keluarga dan membutuhkan bantuan hukum, pendampingan dan advokasi pasca unjuk rasa dan penyampaian pendapat terkait pengesahan Omnibuslaw UU Cipta Kerja di wilayah Jakarta. Warga yeng membutuhkan bantuan hukum, pendampingan dan advokasi bisa datang langsung ke Mako Pusat dan LBH Bang Japar, Jl. H. Sa’abun No. 20, RT.10/ RW.05, Jati Padang, Kec. Pasar Minggu, Jakarta Selatan atau bisa menghubungi 0821-6842-5158 atau 0812-9818-7060 atau 0818-4300-86. Layanan advokasi mulai pukul 10.00 sd 19.00 WIB.

Di tengah polemik UU Cipta Kerja, Presiden Joko Widodo menjelaskan sejumlah hal berkaitan dengan substansi peraturan tersebut. Di antaranya adalah bahwa peraturan perundang-undangan tersebut dimaksudkan untuk memfasilitasi dan mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional. UMKM dapat dengan mudah mendapatkan sertifikasi halal. Lapangan kerja akan terbuka luas, sehingga angka pengangguran akan tertekan drastis.

Presiden juga mengeklaim bahwa banyak pihak yang terpapar kebohongan (hoax) sehingga tidak tepat memahami substansi UU Cipta Kerja. Namun masalahnya, masyarakat kesulitan untuk mendapatkan draft UU Cipta Kerja yang sudah disahkan DPR beberapa waktu lalu.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat