Jessica Carla memeluk Islam sejak 24 Desember 2014. Keputusan untuk menjadi mualaf merupakan hasil dari pencarian yang panjang dalam hidupnya untuk menemukan kebenaran. | DOK IST

Oase

Jessica Carla: Meyakini Islam Sepenuhnya

Jessica mengaku, dalam agama Islam ini semuanya serba masuk akal.

OLEH RATNA AJENG TEJOMUKTI

Jessica Carla, 32 tahun, menceritakan perjalanannya sebagai seorang mualaf. Pada awalnya, tutur dia, tidak ada seorang pun yang mengenalkan Islam kepadanya. Dalam arti, ia tidak pernah menerima dakwah. Bagaimanapun, tak sedikit kawan-kawannya yang berasal dari komunitas Muslim.

“Saya sejak SMP banyak bergaul dengan teman-teman yang memeluk agama Islam. Keluarga besar saya juga relatif multi-religi,” ujar Jessica mengisahkan kepada Republika, beberapa waktu lalu.

Menurut dia, periode antara tahun 2003 dan 2011 cukup kelam baginya pribadi. Ketika itu, ia sedang mengalami rasa ketidakpastian, semacam quarter life crisis yang harus dihadapi. Apalagi, kenyataan pahit mendera. Bisnis ayahnya terkena musibah sampai-sampai bangkrut total. Perlahan-lahan, keluarganya jatuh miskin.

Tahun 2011 menjadi titik puncak krisis dalam hidup perempuan ini. Jessica mengenang, waktu itu dirinya merasa ditimpa terlalu banyak masalah. Bahkan, tebersit gagasan dalam benaknya untuk menyalahkan Tuhan. Ia memutuskan untuk berhenti percaya pada Tuhan dan agama.

 
Ia memutuskan untuk berhenti percaya pada Tuhan dan agama.
 
 

 

Padahal, sejak kecil dirinya dididik dalam lingkungan yang cukup religius. Orang tuanya selalu mengajarkan anak-anak agar teguh beriman. Mereka pun rutin beribadah, pergi ke gereja, dan menyerahkan persembahan. Ayah Jessica bahkan adalah seorang aktivis gereja.

Suatu hari, di tengah diskusi seputar hidup, seorang kerabat mengajukan pertanyaan yang mengusik hatinya. Kerabatnya itu bertanya, “Kamu memeluk agama kamu saat ini sejak lahir, itu sudah pemberian. Apakah kamu yakin, itu adalah yang terbaik untukmu?”

Waktu itu, Jessica tidak sampai menjawabnya dengan lugas. Namun, entah mengapa kata-katanya terus terngiang dalam pikiran. Ia ingin mencari jawaban yang pasti.

Akhir tahun 2012, ia pun mulai mempelajari agama-agama lain, di luar Kristen sebagai agama yang dianut keluarganya. Mulanya, ia berupaya mempelajari agama Katolik. Sebab, dirinya sempat menempuh pendidikan SD hingga SMP di sebuah lembaga pendidikan yang bercorak Katolik.

Anehnya, kenang Jessica, dirinya kemudian justru jatuh cinta pada Islam. Ketertarikan ini mulai muncul setelah dia membaca buku berjudul Mengapa Saya Masuk Islam karya Drs Dyayadi MT. Ada pula buku yang baginya eye-opening, yaitu Mualaf karya John Michaelson. Pada 2010-an internet belum menjadi acuan referensi kebanyakan orang. Umumnya masyarakat masih mengandalkan buku-buku bacaan.

Prosesnya dalam mempelajari Islam sempat mengalami pasang surut. Itu terutama berlangsung selama kurun waktu 2012-2014.

Awalnya, dia hanya belajar seorang diri. Akan tetapi, Jessica merasa, metode itu tak akan cukup membantunya dalam menggali perihal seluk-beluk agama ini. Oleh karena itu, ia pun mulai membuka diri.

Di berbagai kesempatan, bila memungkinkan, ia menceritakan ketertarikannya akan Islam kepada kerabat, sahabat, dan bahkan seorang atasan di kantor tempatnya bekerja. Dari mereka semua, Jessica mulai mendapatkan gambaran yang lebih utuh tentang agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW ini.

 
Dari mereka semua, Jessica mulai mendapatkan gambaran yang lebih utuh tentang agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW ini.
 
 

 

Akhirnya, seorang kawan menghubungkannya dengan komunitas pengajian. “Saya sempat dibantu, dipertemukan dengan dua orang ustaz untuk berdialog,” ucapnya.

Namun, Jessica saat itu mulai merasa dirinya didoktrin. Hal itu sempat membuatnya ragu-ragu. Atas saran kawannya yang lain, ia diajak untuk bertemu Ustaz H Syamsul Arifin Nababan. Mubaligh ini bukan sekadar penceramah, tetapi telah lama aktif dalam membina mualaf. Salah satu kiprahnya ialah mendirikan Yayasan Annaba Center, sebuah pesantren mualaf.

Bersama temannya, Jessica pun mendatangi tempat ustaz tersebut. Setelah berdialog cukup panjang, ia terkagum-kagum dengan penjelasan sang kiai mengenai Islam. Sebab, penjelasan menjawab semua pertanyaannya selama ini tentang agama tersebut. Tidak hanya merujuk pada dalil-dalil kitab suci, Ustaz Nababan juga menyuguhkan argumentasi yang logis dan empiris.

Sejak itu, Jessica menjadi semakin giat dan bersemangat mendalami Islam. Sampai pada suatu siang, entah bagaimana, dia mengaku tiba-tiba merasakan tekad yang begitu besar dalam hatinya untuk segera memeluk Islam.

 
Sampai pada suatu siang, dia mengaku tiba-tiba merasakan tekad yang begitu besar dalam hatinya untuk segera memeluk Islam.
 
 

 

“Namun jujur, saya takut bagaimana menghadapi keluarga saya. Waktu itu, saya belum terbuka pada mereka tentang banyak hal dalam hidup saya, termasuk sedang belajar Islam ini,” ucap dia.

Karena tidak tahu harus berbuat apa, ia pun menelepon Ustaz Nababan. Jessica masih ingat betul satu kalimat yang keluar dari lisan dai tersebut, “Tidak semua orang mendapatkan hidayah. Hidayah bisa dicabut kapan saja sesuai kehendak Allah.”

photo
Jessica Carla di tengah keluarga besarnya. - (DOK IST)

Bersyahadat

Ustaz Nababan mengusulkan kepadanya untuk mengikrarkan syahadat pada saat acara peletakan batu pertama pembangunan Asrama Mualaf Puteri Annaba Center. Hingga saat itu, Jessica disarankan untuk terus membaca buku-buku tentang Islam, termasuk kisah Rasulullah SAW dan para sahabat. Ia ingat, kisah tentang Sumayyah binti Khayyat sungguh menggugah hatinya.

Malamnya, dengan keyakinan bulat Jessica mengonfirmasi kepada sang ustaz bahwa dirinya siap bersyahadat. Prosesi itu dilakukan pada 24 Desember 2014 di area yang sekarang menjadi Pesantren Pembinaan Mualaf Puteri Yayasan Annaba Center.

“Saya menangis, antara bahagia, grogi karena jelas hadirinnya (jamaah yang menyaksikan --Red) ada lebih dari 100 orang. Kemudian, kepikiran juga, takut menghadapi keluarga saya,” kata Jessica  mengingat kembali momen penting dalam hidupnya itu.

Saat ditanya mengapa memilih Islam, ia mengaku, dalam agama ini semuanya serba masuk akal. Selain itu, akidah dan prinsip keyakinan Islam juga begitu sederhana. Tuhan hanya satu, tunggal, yakni Allah Ta’ala. Dia mengutus para nabi dan rasul kepada manusia, sejak Nabi Adam AS hingga Nabi Muhammad SAW.

Tidak hanya itu, kaidah ibadah Islam juga tidak memberatkan umatnya. “Awalnya, saya sempat kaget. Loh, zakat cuma 2,5 persen?” kata dia.

Setelah melakukan syahadat, dia langsung melakukan shalat perdana. Masih jelas dalam ingatannya, shalat Zhuhur itu dilakukan secara terbata-bata. Sesekali, dirinya melakukan gerakan shalat sembari membaca buku panduan agar bisa melafalkan bacaan berbahasa Arab.

Ia mengaku sangat bersyukur ke hadirat Illahi. Tak sedikit kawan-kawan Muslimah yang membimbingnya agar semakin baik dalam ibadah. Beberapa dari mereka sampai-sampai memberikan koreksi, misalnya, terkait gerakan shalat yang benar, bacaan Alquran, dan lain-lainnya.

Saat ini, Jessica mulai mendisiplinkan dirinya. Tidak hanya shalat wajib lima waktu, tetapi juga beberapa amalan sunah, seperti shalat rawatib dan Dhuha. Begitu pula dengan shalat Istikharah dan Tahajud. Semua itu dilakukannya meskipun belum sampai pada taraf rutin setiap hari.

“Alhamdulillah lagi, saya diberikan kesempatan untuk menjalankan ibadah umrah pada tahun 2017. Di Tanah Suci, saya banyak mendapatkan pengalaman luar biasa sebagai refleksi diri. Keharuan dan kedamaian di hati saat saya melihat Ka’bah untuk pertama kalinya dengan mata kepala saya sendiri,” kata dia menceritakan.

Pada 2016, Jessica menikah dengan seorang Muslim yang dicintainya. Islam mengajarkan, dalam berumah tangga suami-lah yang berperan sebagai pemimpin sekaligus pembimbing bagi istri dan anak-anak.

Jessica melihat sang suami betul-betul menghayati perintah agama ini. Yang membuatnya semakin suka cita, pasangan hidupnya itu cenderung mengayomi, alih-alih memaksa apalagi mendoktrin dirinya.

“Keluarga suami juga cukup memberikan dukungan. Selain ibu mertua, keluarga besar suami saya juga mengelola pondok pesantren di Pabelan, Jawa Tengah,” kata dia.

 
Keluarga suami juga cukup memberikan dukungan.
 
 

 

Setahun lalu, ia dan suaminya sempat melakukan rihlah ke pondok pesantren tersebut. Bagi Jessica, inilah kesempatan untuk mengejar ketertinggalan dalam menuntut ilmu-ilmu agama, terutama kemampuan membaca Alquran.

Sejak beberapa bulan ini, ia terpaksa tidak hadir dalam pengajian di sana. Pandemi Covid-19 memaksa semua orang untuk mengutamakan kerja dan beraktivitas dari rumah. Untungnya, pada zaman serba digital ini berbagai ilmu dapat diakses melalui internet.

Jessica pun semakin sering menonton konten-konten kajian keagamaan Islam, misalnya, melalui YouTube atau Facebook. Bahkan, berkat itu ia kini berhasil menghafal Asmaul Husna.

“Selain itu, tahun ini saya bergabung menjadi seorang educator, bagian pengembangan diri dan pemasaran di MHC Sunnah, sebuah shelter untuk para mualaf dan muhajirin, yang dibangun seorang kerabat,” kata dia.

Kini, ia berharap dapat terus menjalani kehidupan sebagai Muslimah yang baik. Untuk itu, ia mengakui, dirinya perlu lebih istikamah lagi.

Ia ingat, saat awal bersyahadat dia sempat dilanda kekhawatiran. Takutnya, keputusan yang membuatnya berbahagia ini justru akan membuat orang tuanya sedih dan terluka.

“Namun, saya punya keyakinan, kita sebagai manusia bertanggung jawab atas amal dan ibadah masing-masing. Jangan sampai faktor orang lain mencegah kita dari mengambil sikap yang kita yakini betul baik. Sebab, ini untuk diri dan kehidupan kita, sekarang maupun akhirat kelak,” ujar dia.

Alhamdulillah, sekarang pihak keluarga dan hampir seluruh teman-temannya memberikan dukungan. Memang, Jessica mengakui, masih ada beberapa orang terdekat yang menentang atau menghakimi keputusannya memeluk Islam. Akan tetapi, baginya hal itu tidak mesti memutus tali silaturahim.

“Kalau bicara tentang yang sudah-sudah, sangat dramatis. Bagaimana hubungan saya dan keluarga, mulai dari diskusi baik-baik, nangis-nangisan, sampai pertengkaran skala besar. Alhamdulillah saya diberikan kekuatan dan keikhlasan dalam menjalaninya,” jelas dia.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat