
Tema Utama
Simpul Monoteisme di Benua Hitam
Monoteisme sudah dikenal penduduk lokal Benua Hitam jauh sebelum Nabi Muhammad SAW lahir.
OLEH HASANUL RIZQA
Tanduk Afrika (Horn of Africa) merupakan suatu semenanjung di Benua Afrika. Daerah itu secara geografis berbatasan langsung dengan Laut Merah dan Teluk Aden di sebelah utara, serta Laut Arab dan Samudra Hindia di sisi timur.
Dataran tingginya terdiri atas banyak bukit, dengan Gunung Ras Dashan (5.053 meter) sebagai puncak tertingginya. Dataran rendahnya didominasi gurun. Masih ada tanah yang cukup subur, terutama di sekitar danau dan sungai yang mengalir dari arah selatan gunung tersebut.
Tanduk Afrika secara geopolitik mencakup sejumlah negara modern, yaitu Djibouti, Eritrea, Etiopia, dan Somalia. Kadang kala, Sudan Selatan dan sebagian Kenya juga turut disertakan beberapa penulis.
Wilayah tersebut saat ini dihuni sekitar 132 juta jiwa. Mereka terdiri atas empat kelompok etnik utama, yakni Oromo, Amhara, Somali, dan Habasyah. Masing-masing menggunakan tidak hanya satu, melainkan puluhan bahasa.
Bila ditotal, ada seratusan bahasa yang dipakai penduduk di keempat negara, yakni Djibouti (10 bahasa), Eritrea (14 bahasa), Etiopia (90 bahasa), dan Somalia (15 bahasa). Hampir seluruhnya berakar dari rumpun bahasa Afro-Asia, khususnya Kush (Cushitic) dan Semit. Tradisi bahasa tulis pun telah berkembang sangat lama di tengah masyarakat lokal.
Contohnya, aksara Geez atau Etiopik yang dipakai kebanyakan rakyat Etiopia dan Eritrea sejak dua ribu tahun silam hingga kini. Selain itu, ada pula ragam tulisan Wadaad dan Osmanya yang mengadopsi aksara Arab untuk komunikasi dalam bahasa Somali. Sebagai imbas kolonialisme Eropa, aksara Latin juga dipergunakan di empat negeri tersebut.

Tanduk Afrika telah didiami manusia sejak zaman prasejarah. Bahkan, daerah itu diduga kuat menjadi hunian “manusia pertama.” Pada 2015 lalu, arkeolog menemukan tulang rahang manusia yang diketahui berusia 2,8 juta tahun di kawasan penelitian Ledi-Geraru, Afar, Etiopia.
Di negara yang sama, para ilmuwan sebelumnya juga berhasil menguak fosil tertua yang berkaitan dengan manusia purba, yakni rahang-atas berusia 2,35 juta tahun.
Catatan terawal mengenai sejarah Tanduk Afrika, menurut Paul B Henze dalam The Horn of Africa (1991), berasal dari peradaban lembah Sungai Nil. Sebuah prasasti dari masa 2.400 tahun sebelum Masehi (SM) menyebutkan, kerajaan Mesir Kuno menjalin hubungan dagang dengan suatu daerah yang bernama Tanah Punt.
Para arkeolog menduga, Punt merujuk pada kawasan kota-kota pelabuhan yang merentang sekitar Laut Merah hingga Selat Bab al-Mandab—memisahkan antara Djibouti dan Yaman. Sebagian ilmuwan menduganya lebih luas lagi, yakni meliputi seluruh pantai Tanduk Afrika.
Henze meneruskan, beberapa pakar sejarah purba meyakini peradaban Mesir Kuno bermula dari gelombang migrasi penduduk dataran rendah Tanduk Afrika ke sekitaran Sungai Nil. Mereka terpaksa pindah ke utara karena tanah tempat tinggalnya kian gersang atau meluasnya area gurun (desertifikasi) Sahara.
Sesudah eksodus itu, kira-kira sejak 1070 SM peradaban Kush muncul di utara Gurun Nubia atau pinggiran Sungai Nil bagian tengah (kini Sudan). Kerajaan Kush bertahan hingga tiga abad pertama Masehi. Dalam rentang ratusan tahun lamanya itu, wilayah tersebut menjadi titik perjumpaan pelbagai kebudayaan besar dunia. Tidak hanya Mesir, tetapi juga Yunani, Romawi, serta Persia.

Antara dua adidaya
Sekitar tahun 590 SM, Kerajaan Kush memindahkan ibu kotanya ke arah selatan, tepatnya Meroe (Sudan). Waktu itu, kaum pendeta tidak hanya berkutat di kuil-kuil berhala, tetapi juga ikut mengontrol jalannya pemerintahan.
Bila mereka membual, “tuhan menginginkan pemimpin yang baru”, maka raja yang sedang menjabat harus mundur atau mati. Keadaan mulai berubah ketika Arkamani I berkuasa pada abad ketiga SM. Sejak saat itu, seorang raja Kush berkuasa sepenuhnya.
Sementara itu, pada abad pertama SM Kerajaan Aksum berdiri di Etiopia Utara. Kush dan Aksum saling bersaing untuk memperebutkan pengaruh di seluruh Tanduk Afrika.
Target utamanya ialah pantai daerah tersebut yang selalu ramai. Sebab, kota-kota pelabuhan di Tanduk Afrika termasuk jaringan perdagangan maritim internasional yang menghubungkan antara Samudra Hindia dan Mediterania.
Pada pertengahan abad keempat, Kush berupaya menyerang Aksum. Eksana I, raja Aksum saat itu, membalasnya dengan kekuatan yang jauh lebih besar. Pasukan Aksum bahkan tidak hanya berhasil menghalau lawan, tetapi juga menaklukkan seluruh Meroe. Sejak saat itu, berakhirlah riwayat Kerajaan Kush.
Ezana I bukan hanya pemimpin yang sukses menguasai berbagai wilayah di Tanduk Afrika. Dialah raja Aksum pertama yang memeluk Nasrani. Sosok yang berhasil mengajaknya ke monoteisme ialah Frumentius alias Aba Salama, seorang pendeta asal Tyre (Lebanon). Sejak masa Ezana I, Aksum menjadi salah satu negeri yang paling awal menjadikan Kristen sebagai agama resmi di dunia.
Aksum menjadi sebuah kerajaan besar yang bercorak maritim. Dapat dikatakan, Laut Merah sudah berada di dalam genggamannya. Sebagai kerajaan Kristen, Aksum otomatis terhubung secara sosial maupun politik dengan Kekaisaran Romawi Timur atau Byzantium.
Aksum menjadi salah satu negeri yang paling awal menjadikan Kristen sebagai agama resmi di dunia..
Sementara itu, negeri tetangganya yakni Arab Selatan disusupi pengaruh Kekaisaran Persia. Sejak abad pertama SM, Kerajaan Himyar berdiri dengan beribu kota di Zafar (kini sekitar Kota Yarim, Yaman). Meskipun mendeklarasikan dirinya sebagai Yahudi, faktanya raja Himyar berafiliasi dengan Persia yang menganut Majusi.
Sejatinya, Aksum dan Himyar merupakan negara-negara penyangga (buffer states ) antara hegemoni Byzantium dan Persia. Kedua negara adidaya itu saling berebut pengaruh di sekitar Tanduk Afrika.
Himyar semakin beringas mengampanyekan politik anti-Kristen karena menganggap pemeluk agama itu sebagai pendukung Kerajaan Aksum. Rajanya saat itu, Dzu Nuwaas, tidak segan-segan menghukum rakyat yang kedapatan memeluk Kristen.
Bahkan, pada 523 terjadilah pembantaian komunitas Nasrani di Najran (kini sebuah kota perbatasan Arab Saudi-Yaman). Alquran sampai-sampai mengabadikan peristiwa itu.
Surah al-Buruj menyebut rezim Dzu Nuwaas sebagai ashhabul ukhdud, "orang-orang yang membuat parit". Sebab, mereka menyiksa kaum beriman dengan cara membakarnya hidup-hidup dalam parit besar yang dinyalakan api. Tragedi itu juga diceritakan dalam hadis panjang yang diriwayatkan Imam Muslim nomor 3.005.

Tujuan hijrah
Kaisar Byzantium Justinus I sangat geram begitu mendengar kabar pembantaian Najran. Ia lantas mengirimkan bala bantuan ke sekutunya di Tanduk Afrika, Kerajaan Aksum. Akhirnya, pada 525 Himyar berhasil ditaklukkan setelah Zafar digempur 100 ribu prajurit. Tidak ingin menjadi tawanan, Dzu Nuwaas pun bunuh diri.
Jenderal yang sukses memimpin misi militer ini bernama Abrahah. Encyclopedia Britannica menyebutnya sebagai seorang Kristen yang fanatik. Abrahah pada mulanya bertindak sebagai wakil Aksum di Sana’a, yang dijadikannya pusat kendali atas seluruh bekas wilayah Himyar. Beberapa tahun kemudian, ia mengeklaim kepemimpinan absolut, tetapi masih mengirimkan upeti kepada raja Aksum.
Abrahah mendirikan sebuah gereja besar di Sana'a. Impiannya menjadikan kota tersebut tujuan ziarah kaum monoteisme sedunia. Belakangan, ia mengetahui adanya situs suci yang jauh lebih tua dan ramai, yakni Ka’bah. Karena tidak ingin Sana’a kalah saing, ia pun memimpin pasukan untuk memusnahkan bangunan di Makkah itu.
Karena tidak ingin Sana’a kalah saing, ia pun memimpin pasukan untuk memusnahkan bangunan di Makkah itu.
Invasi tersebut berlangsung pada 571 M, bertepatan dengan tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW. Bangsa Arab kemudian menyebut tarikh itu sebagai “Tahun Gajah”. Sebab, dalam menjalankan aksinya pasukan Abrahah dilengkapi dengan gajah-gajah yang bertameng dan terlatih untuk menghalau apa pun yang ada di hadapan. Alquran surah al-Fiil mengabadikan bagaimana nasib Abrahah dan balatentaranya.
Sepeninggalan Abrahah, Arab Selatan kembali menjadi kerajaan buffer state yang berkhidmat pada Persia. Sementara itu, Aksum mulai menunjukkan tanda-tanda kemunduran.
Sekitar tahun 610 M, Muhammad SAW diangkat menjadi nabi dan rasul Allah SWT. Sejak saat itu, syiar Islam mulai menyebar di Makkah meskipun terus diadang kekuatan politik setempat. Pada 615, Rasulullah SAW memerintahkan para pengikutnya untuk menyelamatkan diri ke Habasyah—sebutan Arab untuk Kerajaan Aksum.
“Sesungguhnya di Negeri Habasyah terdapat seorang raja yang tak seorang pun dizalimi di sisinya. Pergilah ke negerinya, hingga Allah membukakan jalan keluar bagi kalian (Muslimin) dan penyelesaian atas apa yang menimpa kalian,” sabda Nabi SAW (Fathul Bari VII:189).
Waktu itu, Aksum diperintah oleh seorang raja bernama Armah atau Ashhamah. Orang-orang Arab biasa menggelarinya an-Najasyi.
Sebanyak 16 orang sahabat Rasulullah SAW yang berhijrah itu dipimpin Usman bin Maz’un. Setelah mengarungi perjalanan yang tidak mudah, bahkan mengarungi Laut Merah, mereka akhirnya sampai di Aksum.
Raja an-Najasyi menerima Muslimin dengan ramah. Mereka tidak hanya memperoleh izin, melainkan juga perlindungan sehingga bisa menetap dengan aman di Aksum. Tiga bulan kemudian, tersiar kabar bahwa penduduk Makkah sudah menerima Islam. Beberapa sahabat Nabi SAW yang mempercayainya lantas kembali ke kampung halaman.
Nyatanya, kabar itu bohong belaka. Kaum kafir Quraisy masih saja semena-mena menekan umat Islam. Para sahabat Nabi SAW pun hijrah lagi ke Aksum. Menurut Ibnu Ishaq, seorang sejarawan dari abad kedelapan, gelombang eksodus kedua itu diikuti sebanyak 80 orang Muslim.
Untuk mencegah mereka, kaum kafir Quraisy mengirimkan sejumlah delegasi yang dipimpin Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabiah kepada an-Najasyi. Sesampainya di Istana Aksum, keduanya meminta agar sang raja mengusir para pengikut Nabi Muhammad SAW dari negerinya.
An-Najasyi bertindak sebagai raja yang bijaksana. Ia tidak mau hanya mendengar keterangan dari utusan Quraisy. Muslimin pun dipersilakannya untuk berbicara. Ja’far bin Abi Thalib bertindak sebagai juru bicara. Sepupu Rasulullah SAW itu kemudian membacakan sebagian surah Maryam. Sang raja Aksum sangat mengagumi ayat-ayat Alquran itu.
“Kata-kata ini dan yang dibawa Nabi Musa bersumber dari cahaya yang sama,” kata dia.
Kata-kata ini dan yang dibawa Nabi Musa bersumber dari cahaya yang samaAN-NAJASYI
Ja’far juga mengutip sabda Nabi Muhammad SAW tentang sosok Nabi Isa AS, “Dia (Nabi Isa) adalah hamba Allah dan utusan-Nya, Roh-Nya dan Firman-Nya yang disampaikan kepada Perawan Maryam.”
Setelah itu, an-Najasyi menggoreskan tongkatnya ke atas tanah dan berkata kepada Muslimin, “Antara agama kalian dan agama kami sebenarnya tidak lebih dari garis ini.”
Misi untuk menjemput paksa Muslimin dari Negeri Aksum pun gagal total. Amr bin Ash dan rombongannya kembali ke Makkah dengan tangan hampa. Bukannya sukses, para pemuka Quraisy itu justru membuat Raja an-Najasyi semakin bersimpati terhadap Islam.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.