
Opini
Warisan Diplomasi Indonesia
Partisipasi delegasi Indonesia pada Resolusi Dekolonisasi merupakan contoh warisan Indonesia.
FEBRIAN A RUDDYARD, Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral, Kementerian Luar Negeri RI
Tahun 2020 merupakan tahun monumental bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia. Selain diwarnai perjuangan yang tak ada presedennya dalam melawan pandemi Covid-19, tahun ini merupakan peringatan 75 tahun Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Organisasi dunia yang dibangun dengan cita-cita luhur ini dideklarasikan pada 24 Oktober 1945, berselang sebulan dari berakhirnya Perang Dunia (PD) II. Ikatan batin Indonesia dengan PBB tak dapat dipandang sebelah mata.
Sebagai bangsa yang paling pertama memproklamasikan kemerdekaannya pasca-Perang Dunia II, halaman dari catatan awal sejarah Indonesia penuh rekam jejak diplomasi Indonesia di PBB. Bahkan, di antaranya menjadi prinsip-prinsip yang diakui dunia hingga hari ini.
Tak heran jika pada sesi general debate SMU ke-15 tersebut, secara tegas dan lantang Presiden Sukarno menjejakkan catatan berjudul “To Build World Anew” di hadapan para pemimpin dunia.
Enam puluh tahun lalu saat PBB baru berumur 15 tahun, Pemerintah Indonesia berpartisipasi pada Sidang Majelis Umum (SMU) ke-15 PBB pada 20 September-20 Desember 1960, di New York, Amerika Serikat.
Sebagai negara muda yang baru saja merdeka, SMU ke-15 digunakan Indonesia sebagai sarana menginternasionalkan semangat bangsa yang antikolonialisme dan antiimperialisme.
Tak heran jika pada sesi general debate SMU ke-15 tersebut, secara tegas dan lantang Presiden Sukarno menjejakkan catatan berjudul “To Build World Anew” di hadapan para pemimpin dunia.
Dari perspektif kekinian, banyak “global diplomatic legacies” disampaikan dalam pidato itu, mulai dari situasi konflik di Kongo, permintaan mereformasi dewan, hingga desakan agar dialog sebagai pilihan utama menyelesaikan konflik dan perbedaan.
Selain itu, Presiden Sukarno menggunakan momentum tersebut untuk mengingatkan dunia atas diplomatic stalemate antara Indonesia dan Belanda mengenai penyerahan kembali Irian Barat, yang sejak 2002 disebut Papua.
Dekolonisasi
Intensitas keadaan pada masa itu membebankan misi penting pada diplomat Indonesia yang ditugaskan sebagai delegasi pada rangkaian SMU ke-15.
Perjuangan diplomasi Indonesia dalam merajut NKRI memiliki romantikanya sendiri di antara perjuangan bangsa-bangsa modern.
Pada salah satu agenda, delegasi Indonesia berpartisipasi dalam pembahasan rancangan Resolusi PBB No 1514 (XV) 1960 atau sering disebut “Resolusi Dekolonisasi” yang menjadi salah satu dasar hukum internasional terpenting dalam sejarah perjuangan bangsa-bangsa terjajah.
Delegasi Indonesia harus dapat memformulasikannya agar sesuai dengan kepentingan khusus bangsa Indonesia, yang saat itu berfokus pada pengembalian wilayah Papua.
Dan betul saja, delegasi Indonesia menjadi pioner dalam penyusunan resolusi tersebut, dengan menyematkan prinsip-prinsip hukum internasional mengenai integritas wilayah dan kesatuan wilayah ke dalam Pasal 6 Resolusi Dekolonisasi.
Sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum internasional, Indonesia berpandangan, proses dekolonisasi belum dapat dikatakan selesai jika wilayah jajahan belum sepenuhnya diberikan kepada bangsa yang telah memerdekakan dirinya.
Diplomat kawakan Indonesia, Mr LN Palar, selaku ketua delegasi menyampaikan, “in bringing in it into draft we have in mind that the continuation of Dutch colonialism in West Irian is a partial disruption of the national unity and the territorial integrity of our country”.
Narasi dari pernyataan Mr LN Palar memiliki dua makna. Pertama, ia menyampaikan, Papua merupakan bagian tak terpisahkan dari wilayah Indonesia yang diproklamasikan sejak 1945.
Kedua, narasi tersebut serupa ultimatum. Bila jalan damai tidak dapat menyelesaikan persoalan, Indonesia dapat menerjemahkannya sebagai a threat to peace terhadap integritas dan kesatuan wilayah Indonesia.
Selain konsisten, diplomasi kedaulatan Indonesia juga dilakukan sejalan dengan komitmen konstitusional bangsa yang menjunjung tinggi hukum internasional.
Kedaulatan Indonesia
Perjuangan diplomasi Indonesia dalam merajut NKRI memiliki romantikanya sendiri di antara perjuangan bangsa-bangsa modern. Ia dilakukan secara konsisten, ditabuh sejak 1945 ketika bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.
Setiap pembahasan kebangsaan, baik antara pendiri bangsa maupun dalam perundingan internasional yang membahas isu kedaulatan, tidak pernah melepaskan pembahasan isu Papua.
Mantan menteri luar negeri, Soebandrio, dalam bukunya Meluruskan Sejarah Perjuangan Irian Barat menguraikan secara lugas terkait hal ini.
Momentum SMU ke-75 PBB dapat dijadikan pengingat bagi bangsa Indonesia mengenai sejarah perjuangannya. Terajutnya NKRI secara utuh diperjuangkan secara konsisten oleh para diplomat dan negarawan ulung.
Selain konsisten, diplomasi kedaulatan Indonesia juga dilakukan sejalan dengan komitmen konstitusional bangsa yang menjunjung tinggi hukum internasional.
Partisipasi besar delegasi Indonesia pada Resolusi Dekolonisasi merupakan salah satu contoh warisan Indonesia untuk peradaban dunia tanpa penjajahan.
Melalui refleksi sejarah ini diharapkan, perjuangan para pendahulu tidak sekadar menjadi remnants of the past bagi penerus bangsa, tetapi juga terus menjadi semangat melakukan perbaikan untuk Tanah Air tercinta.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.