Suasana sidang di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (28/9). | Akbar Nugroho Gumay/ANTARA FOTO

Opini

Uji Materi UU Cipta Kerja

Kurangnya keterbukaan dalam pembahasan draf RUU Ciptaker membuat marak gugatan.

JOHAN IMANUEL, Praktisi Hukum Ketenagakerjaan

DPR akhirnya mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi UU pada 5 Oktober 2020. Ini di luar perkiraan yang sebelumnya direncanakan, yakni 8 Oktober 2020. Kemudian, ini menegaskan, klaster ketenagakerjaan sudah tercantum dalam Bab IV UU Cipta Kerja.

Dengan disahkannya UU Cipta Kerja, Indonesia memiliki regulasi ketenagakerjaan baru. Namun, apakah regulasi ini dapat diterima oleh semua kalangan atau berpotensi diuji materi (judicial review)? Hal ini masih belum dapat dipastikan.

Kurang keterbukaan 

Fenomena uji materi terhadap UU yang baru disahkan, lazim di Indonesia. Menurut penulis, kurangnya keterbukaan dalam pembahasan draf RUU menjadi salah satu penyebabnya. Sampai saat ini, publik tidak tahu draf terakhir dari klaster ketenagakerjaan.

 
Alangkah disayangkan, sampai kini ataupun sebelum disahkan, publik memperoleh informasi tak menyeluruh soal klaster ketenagakerjaan.
 
 

Padahal, mengenai keterbukaan ini, cukup jelas dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 yang diubah menjadi UU  Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan (Pasal 5 huruf g).

Dalam penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud “asas keterbukaan”, mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Jadi, masyarakat berkesempatan luas memberikan masukan. Ini diatur pada Pasal 96 mengenai partisipasi masyarakat.

Pada ayat (4) dinyatakan, “...Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat...”

Pada ayat (3) mengatur mengenai frasa masyarakat, dalam hal ini adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi rancangan peraturan perundang-undangan.

Alangkah disayangkan, sampai kini ataupun sebelum disahkan, publik memperoleh informasi tak menyeluruh soal klaster ketenagakerjaan karena hanya menonton dan membaca melalui media cetak atau elektronik sebatas pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR.

Sementara itu, isi pasal per pasal dari draf paling akhir RUU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan, sampai hari ini dapat dipastikan publik tidak dapat menjangkau aksesnya.

 
Terkait uji materi terhadap UU yang baru disahkan, terjadi berkali-kali. Terakhir yang menarik perhatian publik adalah UU KPK, UU MK.
 
 

Menurut Joko Riskiyono (2015:173), penting untuk memastikan partisipasi masyarakat terakomodasi dalam materi UU sepanjang untuk kepentingan dan kesejahteraan umum. Karena itu, akses publik diperlukan sehingga partisipasi masyarakat terlaksana secara aktif.

Potensi diuji materi

Menurut Mifthakul Huda (2019), sejarah uji materi pertama kali timbul dalam praktik hukum di AS melalui putusan Mahkamah Agung dalam perkara “Marbury Vs Madison” pada 1803.

Meskipun ketentuan uji materi tak tercantum dalam UUD AS, MA membuat sebuah putusan yang ditulis John Marshall dan didukung empat hakim agung lainnya yang menyatakan, pengadilan berwenang membatalkan UU yang bertentangan dengan konstitusi.

Di Indonesia, keberadaan MK disahkan setelah  perubahan ketiga UUD 1945 yang merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama MK dalam Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945.

Terkait uji materi terhadap UU yang baru disahkan, terjadi berkali-kali. Terakhir yang menarik perhatian publik adalah UU KPK, UU MK. Sejumlah kalangan yang tak terima, langsung mengajukan permohonan uji materi ke MK beberapa hari kemudian.

Ini berpotensi pula pada UU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan. Tak dimungkiri, UU tersebut sampai saat ini masih belum dapat diterima semua kalangan, salah satunya serikat pekerja.

Bagaimanapun, bila nanti serikat pekerja mengajukan permohonan uji materi terhadap UU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan, MK tetap wajib menerima, memeriksa, dan mengadili permohonan itu.

Dengan demikian, uji materi merupakan salah satu jalan keluar efektif untuk meluruskan substansi yang dinilai memberatkan dan bertentangan dengan batang tubuh dari UUD 1945.

Substansi yang diperdebatkan

Tercatat, yang beredar di media, ada 10 substansi diperdebatkan saat pembahasan RUU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan. Di antaranya, materi bagian umum, TKA, PKWT, alih daya, waktu kerja dan istirahat, pengupahan, pesangon dan PHK, sanksi, jaminan kehilangan pekerjaan, dan penghargaan lainnya.

Menurut penulis, hampir semua itu telah diatur UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hal yang belum diatur, soal jaminan kehilangan pekerjaan dan penghargaan lainnya. Ini sebenarnya materi baru dibandingkan materi lainnya yang diatur dalam UU Cipta Kerja.

Caranya diatur tersendiri dalam peraturan presiden atau menggabungkan substansi dalam satu UU. Seperti jaminan kehilangan pekerjaan dapat ditambahkan substansi dalam UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS).

Sementara itu, mengenai penghargaan lainnya dapat menambahkan substansi pada Pasal 156 UU Ketenagakerjaan dengan menambah ayat (5), yaitu penghargaan lainnya.

Ini dirasa lebih bisa diterima masyarakat daripada dicantumkan dalam UU Cipta Kerja, termasuk perubahan materi lainnya yang sebenarnya sudah diatur UU Ketenagakerjaan. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat