Deretan permukiman penduduk semi permanen dengan latar belakang gedung bertingkat di kawasan Kuningan, Jakarta, Senin (5/10). | Aprillio Akbar/ANTARA FOTO

Opini

Prakarsa Solidaritas Sosial

Dibutuhkan prakarsa solidaritas sosial dalam bentuk dialog publik yang melibatkan semua.

SUDIRMAN SAID, Ketua Institut Harkat Negeri

Pandemi global Covid-19 makin jauh bergerak dan kian dalam memberi dampak. Worldometer (4 Oktober 2020, 00.00 GMT) mencatat, lebih dari 35 juta orang terpapar virus korona dan lebih dari satu juta orang meninggal dunia.

Angka ini tentu bukan sekadar simbol dalam operasi matematika, melainkan juga representasi dari kehidupan. Hal yang mencemaskan, angka tersebut belum menampilkan tanda keadaan yang menurun. Malah sebaliknya, masih cenderung naik tanpa kejelasan kapan kurva akan melandai.

Informasi yang rutin disampaikan merupakan hal baik karena membantu kita bersiap dan secara sistematis membuat respons atas semua dampak yang ditimbulkannya.

Namun, menjadi masalah jika informasi itu diperlakukan dengan cara berbeda, yakni bersikap tidak peduli, menganggap angka hanya deretan simbol dalam statistik dan bersikap panik disertai ketidakjernihan sehingga ada kekacauan informasi, yang kerap disertai benih ketidakpercayaan.

 
Kelumpuhan ekonomi akan menimbulkan dampak besar, khususnya bagi yang ada di lapis bawah struktur sosial.
 
 

Perdebatan publik mana sebaiknya yang didahulukan, apakah masalah kesehatan atau perbaikan ekonomi, mungkin dapat diletakkan sebagai fragmen lain dari cara merespons situasi. Kita tahu, secara standar kesehatan publik, pandemi harus direspons dengan pembatasan sosial. Yakni, upaya saintifik memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Makin tinggi angka korban, seharusnya makin ketat pula pembatasan. 

Namun, persis di sini pula timbul masalah. Pembatasan mobilitas warga akan langsung memukul laju ekonomi. Makin ketat, makin lumpuh ekonomi.

Kelumpuhan ekonomi akan menimbulkan dampak besar, khususnya bagi yang ada di lapis bawah struktur sosial.

Bank Dunia, beberapa waktu lalu, menurunkan laporan, jika dibandingkan prakiraan sebelum krisis, Covid-19 dapat mendorong 71 juta orang ke dalam kemiskinan ekstrem dan menjadi 100 juta orang jika penanganan buruk (lihat worldbank.org).

Pembatasan sosial dan penerapan protokol kesehatan yang ketat, memukul beberapa sektor, seperti transportasi, konstruksi, dan pariwisata. Sektor informal yang menopang sektor formal, langsung terimbas karena mengandalkan “mobilitas penduduk” atau “kerumunan orang”.

Keadaan ini akibat perubahan perilaku penduduk yang dipersyaratkan untuk mengendalikan penyebaran virus. Karena itu, kita berpandangan, keadaan ini bukan hal layak untuk dilihat dengan optik dikotomi: kesehatan dan ekonomi.

Solidaritas sosial

Solidaritas sosial yang dimaksudkan di sini adalah usaha bersama, yang didasarkan pada kebersamaan untuk dapat mempunyai kesanggupan dasar dalam mengurus urusan “rumah tangga” sendiri.

Apakah solidaritas sosial merupakan ekspresi dari sikap yang sepenuhnya memusatkan diri pada orang-orang dan mengabaikan masalah lingkungan serta masalah terkait usaha ekonomi, yang membutuhkan pendasaran nilai berbeda?

 
Bahkan, tatkala ada tindakan politik tertentu, yang dipandang sebagai perwujudan dari upaya melahirkan keadilan, pertama-tama akan diuji kelayakannya, dengan menengok respons dari lantai bursa saham.
 
 

Justru di sinilah perlunya studi dan dialog yang sehat serta terbuka, agar kita dapat keluar dari kerangka berpikir dikotomi dan mampu menemukan “racikan pengetahuan baru”, yang mampu menjawab problem kekinian.

Sebelum pandemi, kita mengetahui, moda pembangunan yang berorientasi pertumbuhan ekonomi, menuai kritik sengit. Soalnya, pertumbuhan (yang tinggi), kerap tak ramah dengan pemerataan pendapatan dan menciptakan jurang kesenjangan yang lebar.

Pengalaman Indonesia, kita menyaksikan dinamika gagasan pertumbuhan dan “pemerataan”. Meskipun tampaknya, gagasan pengutamaan distribusi kekayaan yang lebih adil, berhasil memimpin, tetapi kebijakan ekonomi tetap dalam koridor pertumbuhan ekonomi.

Bahkan, tatkala ada tindakan politik tertentu, yang dipandang sebagai perwujudan dari upaya melahirkan keadilan, pertama-tama akan diuji kelayakannya, dengan menengok respons dari lantai bursa saham.

Apa yang hendak dikatakan di sini, senyatanya garis pembangunan, tidak secara hitam putih mengikuti kehendak konstitusi, tetapi juga mengikuti dinamika market.  

Ulasan ini akan langsung masuk ke pokok soalnya, yakni terjadi penambahan signifikan jumlah keluarga miskin. Masalah ini disadari tidak dapat begitu saja diserahkan kepada pola yang ada untuk mengatasinya?

 
Munculnya pertanyaan mengenai bagaimana distribusi vaksin yang adil atau tentang kemungkinan mengatasi krisis pangan global, merupakan gambaran masalah yang ada lebih kompleks.
 
 

Lebih banyak pengamat yang mengatakan, pandemi justru membantu mengungkapkan kelemahan mendasar dari struktur ekonomi yang ada. Karena itu, kita berpandangan perlu pendekatan baru agar masalah dapat diatasi.

Pemerintah, di seluruh dunia, tak tinggal diam agar ekonomi tak masuk jurang resesi meski tak mungkin dielakkan. Dalam keadaan normal, saat sebuah negara dalam krisis, kesempatan mendapatkan dukungan internasional terbuka.

Namun kini, yang menghadapi masalah bukan hanya sebuah negara melainkan seluruhnya. Munculnya pertanyaan mengenai bagaimana distribusi vaksin yang adil atau tentang kemungkinan mengatasi krisis pangan global, merupakan gambaran masalah yang ada lebih kompleks.

Maka itu, dibutuhkan alternatif. Yakni, perlunya kekuatan baru, yang dihimpun secara sukarela dari masyarakat, yang didasarkan pada kesadaran bahwa saatnya masyarakat menolong masyarakat. Baik di dalam suatu negara maupun antarnegara.

Ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama, membangkitkan kebersamaan (solidaritas). Kedua, perlu langkah prioritas, membantu yang paling membutuhkan bantuan. Ketiga, perlu pemberdayaan: menumbuhkan dan memperkuat pusat pertumbuhan berbasis komunitas.

Upaya ke depan

Setiap negara, tentu mempunyai desain tersendiri dalam menghadapi masalah. Secara aktual, seluruh kekuatan politik akan bekerja sesuai agenda yang telah ditetapkan, mengikuti kalender politik yang telah ditetapkan.

 
Untuk itu dibutuhkan prakarsa solidaritas sosial, dalam bentuk mengupayakan dialog publik yang melibatkan seluruh kekuatan sosial-politik dan sosial-ekonomi.
 
 

Apa yang kini menjadi suara publik global, yakni utamakan keselamatan warga, harus diakui mendapatkan penafsiran dan perlakuan berbeda-beda.

Ada yang menganggap, menjalankan politik sesuai prosedur yang telah ditetapkan merupakan cara terbaik menjaga kedaulatan warga, meskipun prosedur tersebut diadakan sebelum pandemi menyerang.

Ada yang menganggap, dengan tetap dijalankannya roda ekonomi, justru menyelamatkan warga. Sebab, jika tidak bekerja, warga terancam keselamatannya. Pandangan ini tentu tak bisa diabaikan karena sebagian mewakili kekuatan dominan di arena politik.

Untuk itu dibutuhkan prakarsa solidaritas sosial, dalam bentuk mengupayakan dialog publik yang melibatkan seluruh kekuatan sosial-politik dan sosial-ekonomi. Ada tiga hal yang diharapkan dari dialog publik tersebut. Yakni, kesamaan pandangan tentang apa yang disebut sebagai “mengutamakan keselamatan warga, kesamaan pandangan perlunya mengatur kembali prioritas, dan kesamaan pandangan perlunya kerja sama elemen sosial dan ekonomi dalam kerangka solidaritas sosial”.

Dialog bisa dimotori kaum akademisi, kelompok sosial kemasyarakatan, termasuk kelompok keagamaan dan kelompok ekonomi, baik yang mikro, kecil, menengah, maupun besar, yakni mereka yang menjadi penggerak ekonomi.

Secara ideal diharapkan, ketiga elemen tersebut dapat menghimpun diri dalam dialog-dialog intensif dan terbuka. Dengan begitu, pandemi secara nyata menjadi urusan publik dan diselesaikan dengan semangat solidaritas sosial. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat