Ilustrasi lukisan Sultan Selim I. Untuk menjadi penguasa Turki Utsmaniyah, ia sempat terlibat dalam konflik perebutan takhta | DOK Wikipedia

Tema Utama

Sang Pembuka Kekhalifahan Utsmaniyah

Di bawah kendali Sultan Selim I, Turki melakukan perluasan wilayah hingga ke Mesir dan Hijaz.

OLEH HASANUL RIZQA

Sultan Selim I merupakan seorang pemimpin yang membawa kejayaan bagi Turki Utsmaniyah. Pada masanya, Makkah dan Madinah masuk dalam wilayah kekuasaan. Sejak itu, negeri tersebut berhak menyandang titel kekhalifahan.

Penggerak Ekspansi Turki

 

Banyak pemimpin yang turut menyokong kejayaan Turki Utsmaniyah di sepanjang sejarah. Salah satunya ialah Sultan Selim I. Ia dikenang atas jasa-jasanya, terutama dalam memperluas wilayah kekuasaan Utsmaniyah hingga ke Asia Kecil (Anatolia) Timur, Suriah, Palestina, Mesir, dan Hijaz.

Dialah sultan Turki pertama yang berhak menyandang titel khalifah karena berhasil mengendalikan pemerintahan atas dua kota suci, Makkah dan Madinah. Sejak saat itu, Daulah Turki Utsmaniyah pun menjadi kekhalifahan yang terus bertahan hingga abad ke-20.

Kaisar kesembilan dalam sejarah imperium tersebut lahir pada 10 Oktober 1470 di Amasya, Turki bagian utara. Selcuk Aksin Somel dalam Historical Dictionary of the Ottoman Empire (2003) menjelaskan, Selim merupakan anak bungsu Bayezid II, sultan kedelapan Turki Utsmaniyah. Ibunya bernama Gulbahar Hatun, seorang putri bangsawan dari Turki selatan.

Ayahandanya, Sultan Bayezid II, berkuasa sejak 1481. Pemerintahan Bayezid II cenderung berwatak toleran dan terbuka. Sebagai contoh, ketika gerakan inkuisisi melanda Andalusia (Spanyol) pada 1492 pengganti Sultan Mehmed II al-Fatih itu segera mengirimkan sejumlah armada laut ke sana.

Pihaknya tidak hanya menampung para pengungsi Spanyol yang beragama Islam, tetapi juga komunitas Yahudi yang terancam nyawa dan imannya oleh kezaliman penguasa Kristen setempat.

Memasuki tahun 1500-an, kekuasaan Bayezid II mulai meredup. Bencana gempa bumi hebat yang mengguncang Konstantinopel (Istanbul) pada 14 September 1509 sempat melumpuhkan roda pemerintahannya. Beberapa tahun kemudian, keadaan politik semakin kacau. Anak-anaknya berkonflik karena masing-masing ingin diakui sebagai penerus takhta. Si anak sulung, Pangeran (Sehzade) Ahmet, berupaya menyingkirkan si bungsu, Sehzade Selim.

Dari Karaman, sebuah kota di Turki selatan, Ahmet memimpin pasukannya ke Istanbul. Show of force ini dibalas Selim dengan pemberontakan di daerah Thrace—kawasan Eropa yang berbatasan langsung dengan Istanbul. Kup itu dalam waktu relatif singkat berhasil dipadamkan.

Namun, Ahmet dan pendukungnya kini justru cenderung menakutkan bagi sang sultan yang telah berusia 65 tahun itu. Arak-arakan tentara putra sulungnya itu lantas dicegah agar tidak bisa memasuki ibu kota.

Selim melihat keputusan Bayezid II tersebut sebagai kesempatan baginya untuk menyambangi istana tanpa harus berhadapan dengan kakak tertuanya itu. Berkat dukungan pasukan elite janissari, ia berhasil memaksa ayahnya untuk menyerahkan kedudukan kepadanya.

Pada 25 April 1512, Selim resmi menjadi sultan Turki Utsmaniyah. Kira-kira satu bulan kemudian, Bayezid II mengembuskan nafas terakhir ketika menjalani pengasingan di Demotika, Thrace. Adapun Ahmet terus menggempur kekuatan adiknya itu.

Puncaknya, kedua belah pihak bertemu dalam perang di Bursa, Turki barat laut, pada 24 April 1513. Selim keluar sebagai pemenang. Ahmet berhasil ditangkap, dan lalu dieksekusi mati.

 
Dalam tahun pertama kekuasaannya, Sultan Selim I berusaha melindungi negerinya dari berbagai ancaman.
 
 

Dalam tahun pertama kekuasaannya, Sultan Selim I berusaha melindungi negerinya dari berbagai ancaman. Salah satunya datang dari Dinasti Savafid yang menguasai Persia (Iran). Rezim yang berhaluan Syiah itu terus mengganggu kedaulatan Turki Utsmaniyah, misalnya, dengan menghasut kelompok Qizilbash yang tinggal di Anatolia agar memberontak terhadap pemerintahan yang sah.

Selim I tidak tanggung-tanggung dalam mengatasi persoalan tersebut. Bahkan, sebelum naik takhta dirinya pun pernah menghukum mati sebanyak 40 ribu orang Qizilbash karena mereka diyakini terlibat dalam pemberontakan Sahkulu pada 1511.

Maka begitu berkuasa, Selim I mengerahkan pasukannya untuk melawan Safavid yang pada waktu itu dipimpin Shah Ismail I. Dalam Perang Caldiran pada 1514, Turki Utsmaniyah dapat mengalahkan Persia dan menghalaunya hingga ke Tabriz. Selanjutnya, satu per satu wilayah Anatolia timur, Kaukasus, dan Irak utara jatuh ke tangan kerajaan yang berpedoman Sunni itu.

Mengungguli Mamluk

Gabor Agoston dalam Encyclopedia of the Ottoman Empire (2008) mengatakan, umumnya kalangan sejarawan masih berselisih pendapat, apakah Selim I memang menarget Mesir yang saat itu menjadi pusat kekuasaan Dinasti Mamluk. Yang jelas, lanjut Agoston, wilayah Qizilbash yang dikuasai trah Dulkadir di tenggara Anatolia selama ini berperan sebagai “negara penyangga” (buffer state) antara Turki Utsmaniyah dan Mamluk. Dengan mencaplok wilayah Dulkadir, mau tak mau Selim I harus berhadapan dengan kesultanan yang berpusat di Kairo itu.

Mamluk merupakan julukan yang diberikan kepada tentara militer Kekhalifahan Abbasiyah dan Dinasti Ayyubiyah pada abad pertengahan yang berasal dari keturunan budak. Mereka dikerahkan pertama kali pada zaman Abbasiyah sekitar abad kesembilan. Mayoritasnya berasal dari kawasan Kaukasus dan Laut Hitam.

Mamluk atau mamalik (jamak dari kata mamluk) terlatih sebagai pasukan perang dan pengawal pribadi. Mereka sangat diandalkan karena keberanian dan kemahirannya dalam berkuda serta menggunakan berbagai persenjataan. Kelompok ini sangat disegani khususnya di Mesir dan India.

Kekuasaan Mamluk di Negeri Piramida dimulai ketika perpecahan kekuasaan terjadi di kalangan anggota keluarga Shalahuddin al-Ayyubi, sang pendiri Dinasti Ayyubiyah, penguasa Mesir kala itu. Turansyah merupakan keturunan terakhir dari Dinasti Ayyubiyah. Golongan Mamluk merasa terancam dengan kepemimpinannya karena putra al-Malik as-Salih itu lebih dekat kepada tentara asal Kurdi daripada mereka.

Pada 1250, golongan Mamluk di bawah pimpinan Aybak dan Baybars membunuh Turansyah. Istri almarhum al-Malik as-Salih, Syajarah al-Durr, merupakan keturunan mamluk. Setelah kematian Turansyah, perempuan itu lantas berunding dengan para pemberontak.

Syajarah diakui sebagai pemimpin, tetapi kekuasaannya hanya berlangsung sekitar tiga bulan. Aybak kemudian menikahinya sehingga secara de facto kendali pemerintahan berpindah ke lelaki itu. Bahkan, tak lama berselang Syajarah dan seorang sultan formal (syari) terbunuh. Alhasil, secara otomatis berakhirlah riwayat Dinasti Ayyubiyah di Mesir, dan dimulailah rezim baru: Dinasti Mamluk.

Pada masa keemasannya, Dinasti Mamluk menguasai tidak hanya Mesir, melainkan juga Yaman, Suriah, kawasan di sepanjang aliran Sungai Eufrat, dan bahkan Hijaz. Oleh karena mengendalikan pemerintahan di Makkah dan Madinah, negeri ini pun berhak menyandang titel kekhilafahan.

 
Oleh karena mengendalikan pemerintahan di Makkah dan Madinah, negeri ini pun berhak menyandang titel kekhilafahan.
 
 

Lebih lanjut, dinasti ini berhasil menumpas habis sisa-sisa kekuatan Pasukan Salib di Asia Barat. Begitu pula ketika bangsa Mongol berhasil menghancurkan satu per satu negeri yang dikuasai Islam, Dinasti Mamluk menjadi satu-satunya penguasa Muslim yang berhasil mempertahankan wilayah kekuasaannya.

Ketika memasuki abad ke-16, keadaan berubah. Seluruh Anatolia sudah jatuh ke tangan Turki Utsmaniyah. Apalagi, Sultan Mehmed II al-Fatih sebelumnya berhasil menaklukkan jantung Imperium Romawi Timur, Konstantinopel, pada 1453. Pusat geopolitik dunia Islam pun bergeser dari Mesir ke Turki.

Pada 24 Agustus 1516, Sultan Selim I dengan membawa sebanyak 60 ribu pasukan berhasil memenangkan pertempuran di Dabiq, sekitar Halab (Aleppo). Karena kalah dalam perang tersebut, Dinasti Mamluk harus rela menyerahkan kontrolnya atas Suriah, Lebanon, dan Palestina kepada Turki Utsmaniyah.

Berbagai catatan sejarawan Turki kala itu menuturkan, kemenangan Selim I disambut suka cita penduduk setempat. Kebanyakan rakyat lokal dikabarkan sudah merasa muak dengan pemerintahan Mamluk yang cenderung semena-mena. Agoston menduga, keterangan itu hanyalah justifikasi untuk membenarkan tindakan Selim I dalam memukul mundur Dinasti Mamluk—sesama rezim yang berhaluan Sunni—dari Negeri Syam.

Beberapa bulan kemudian, balatentara Selim I bergerak hingga ke pusat kekuasaan Mamluk di Mesir. Pertempuran pun pecah di Reydaniyya, sekitar Kairo, pada 23 Januari 1517 (sumber Wikipedia menyebut: 22 Januari 1517). Pasukan Mamluk terus bertahan di benteng Kairo.

Namun, mereka semakin terdesak sehingga tak bisa berbuat banyak. Bahkan, Sultan Mesir Tuman Bay II akhirnya dapat ditangkap dan dihukum mati oleh Selim I. Dengan kematiannya, tamatlah riwayat Dinasti Mamluk yang telah memerintah 2,5 abad lamanya.

photo
Di bawah kepemimpinan Sultan Selim I, Turki Utsmaniyah berhasil memperluas wilayah kekuasaan hingga Suriah, Mesir, dan Hijaz - (DOK WIKIPEDIA)

Menjadi Khilafah Pertama Utsmaniyah

Kemenangan dalam Perang Reydaniyya membuka jalan bagi Sultan Selim I untuk meneguhkan kedaulatan Turki Utsmaniyah di dunia Islam. Sebab, Dinasti Mamluk yang berhasil dikalahkannya mau tak mau mesti menyerahkan kepadanya kendali pemerintahan atas dua kota suci, Makkah dan Madinah.

Berdasarkan catatan sejarah, Selim I tidak memakai titel yang biasa digunakan para penguasa Mamluk, yakni “Penguasa Dua Kota Suci” (Hakimu’l Haramain). Alih-alih demikian, raja kesembilan Dinasti Utsmaniyah itu memilih gelar yang lebih bernada rendah hati: “Sang Pelayan Dua Kota Suci”. Dengan menguasai Haramain, Turki Utsmaniyah layak mengenakan julukan khilafah.

Transisi kekhilafahan dari Dinasti Mamluk ke Turki ditandai dengan upacara simbolis di Konstantinopel (Istanbul) pada 1517. Mamluk diwakili al-Mutawakkil III, khalifah terakhir Dinasti Abbasiyah yang berlindung di Kairo setelah bangsa Mongol membumihanguskan Baghdad pada 1258—sehingga dirinya hanya menjadi “boneka” Dinasti Mamluk belaka sejak saat itu.

Dalam perjalanannya ke ibu kota Turki, al-Mutawakkil III didampingi keluarganya. Selim I memperlakukan rombongan ini dengan penghormatan yang semestinya diberikan kepada kalangan ningrat.

Menurut catatan sejarah tradisional Turki, upacara tersebut diiringi penyerahan beberapa lambang kekhilafahan Islam, seperti pedang dan mantel yang diyakini sebagai milik Nabi Muhammad SAW, dari khalifah lama kepada penguasa baru.

Namun, narasi tentang prosesi tersebut sesungguhnya baru muncul di berbagai manuskrip pada 1780-an atau sesudah Perjanjian Kucuk Kaynarca yang mengakhiri perang antara Turki Utsmaniyah dan Rusia pada 1774. Cerita itu juga sering kali dikaitkan sebagai klaim yurisdiksi atas wilayah Muslim di luar Imperium Turki Utsmaniyah.

Apa pun fakta sejarahnya, yang jelas jantung dunia Islam, yakni Makkah dan Madinah, sudah berhasil dikuasai Turki Utsmaniyah selama berabad-abad sejak kesuksesan Sultan Selim I dalam menaklukkan Mamluk. Ia pun menyadari perannya sebagai khalifah bagi umat Islam, minimal dalam melindungi dua kota mulia tersebut dari segala macam ancaman dan gangguan.

Pemimpin Turki itu juga selalu berupaya menjamin keamanan dan kenyamanan jamaah dari berbagai penjuru dunia yang melaksanakan haji dan umrah di Tanah Suci. “Pelayan Dua Kota Suci” tidaklah semata-mata gelar, tetapi juga tugas yang dijalankan sebaik-baiknya.

 
Pemimpin Turki itu juga selalu berupaya menjamin keamanan dan kenyamanan jamaah dari berbagai penjuru dunia yang melaksanakan haji dan umrah di Tanah Suci.
 
 

Menurut H Erdem Cipa dalam The Making of Selim: Succession, Legitimacy and Memory in the Early Modern Ottoman World (2017), sejumlah penulis pada abad ke-16 mengenang kepemimpinan Sultan Selim I sebagai masa yang penuh kedamaian dan keadilan bagi negerinya.

Mevlana Isa yang menulis pada zaman Sultan Suleiman I al-Qanuni bahkan mengibaratkan, pada zaman Selim I “kumpulan domba dan serigala dapat berjalan beriringan tanpa saling bertengkar, dan begitu juga tikus terhadap kucing.”

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat