Mahasiswa meluber hingga ke kubah Grahasabha Paripurna ketika menggelar unjuk rasa yang menuntut reformasi menyeluruh, Selasa (19/5/1998). Tim Mawar melakukan penculikan terhadap mahasiswa pendorong reformasi kala itu. | SAPTONO/ANTARA FOTO

Nasional

Penunjukan Eks Tim Mawar Disoal

Pengangkatan dua pati eks Tim Mawar itu dinilai kurang mempertimbangkan psikologi masyarakat.

JAKARTA -- Pengangkatan dua perwira tinggi (pati) TNI eks anggota tim Mawar sebagai pejabat di lingkungan Kementerian Pertahanan (Kemenhab) disebut tak bermasalah secara normatif dan administratif. Namun, presiden dianggap abai terhadap catatan sejarah penghilangan paksa sejumlah aktivis pada akhir masa Orde Baru.

"Ini mestinya menjadi pertimbangan serius, namun ternyata presiden dan Tim Penilai Akhir (TPA) kan memilih mengabaikan catatan itu," jelas pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi kepada Republika, Ahad (27/9).

Berdasarkan dakwaan dalam persidangan Tim Mawar pada 1998 di Pengadilan Militer Jakarta, tim tersebut dibentuk oleh Mayor Bambang Kristiono pada Juli 1997. Di Tim Mawar, Bambang membawahi 10 orang anggota, yakni Kapten Inf FS Multhazar, Kapten Inf Nugroho Sulistiobudi, Kapten Inf Untung Budiarto, Kapten Inf Joko Budi Utomo, Kapten Inf Fauka Nurfarid, Kapten Inf Yulius Selvanus, dan Kapten Inf Dadang Hindrayuda. Dua nama terakhir muncul saat mutasi enam pati di Kemenhan yang ditandatangani Presiden Jokowi pada Rabu (23/9).

Berdasarkan salinan yang didapat Republika pada Jumat (25/9), Brigadir Jenderal (Brigjen) Dadang Hendrayuda dipromosikan menjadi Dirjen Potensi Pertahanan Kemenhan menggantikan Prof Bondan Tiara Sofyan. Sedangkan Brigjen Yulius dipromosikan menjabat Kepala Badan Instalasi Strategis Pertahanan yang kini diemban Mayjen Joko Supriyanto.

Sebelumnya, eks komandan Tim Mawar Mayjen (Purn) Chairawan Kadarsyah Kadirussalam Nusyirwan sudah lebih dulu bergabung di Kemenhan. Dia menjadi satu dari lima Asisten Khusus yang diangkat Menteri Pertahanan Prabowo Subianto berdasarkan Keputusan Menhan per 6 Desember 2019.

photo
Beberapa kendaraan lapis baja berpatroli di sekitar Jalan Sabang, Jakarta, Kamis (14/5/1998), setelah terjadinya kerusuhan yang disertai penjarahan di tempat tersebut. - (ANTARA FOTO/Saptono)

Fahmi mengatakan, secara politik, pengangkatan dua pati eks Tim Mawar itu dinilai kurang mempertimbangkan psikologi masyarakat karena bagaimanapun mereka terkait dengan masa lalu yang kelam. "Bahkan apa yang terjadi di masa lalu itu sampai hari ini masih menjadi catatan serius. Kasus penghilangan paksa sejumlah aktivis masih belum tuntas dan tercatat sebagai pelanggaran HAM berat. Dan hal itu tidak menjadi pertimbangan sama sekali," kata dia.

Bagi Fahmi, keputusan itu mencerminkan rekomendasi Prabowo memiliki pengaruh besar dalam menentukan sosok mana yang dapat menjabat di Kemenhan. Itu tercermin dari TPA dan presiden mengabaikan trauma psikologis publik dalam kaitannya dengan Tim Mawar.

Fahmi memaklumi jika Prabowo selaku Menhan menunjuk orang-orang yang sudah dekat untuk membantunya di Kemenhan. Pengalaman dan kecocokan dalam bekerja sama di masa lalu, ia nilai menjadi pertimbangan yang sangat wajar dan masuk akal. Prabowo, kata Fahmi, tentu bisa menilai kapasitas, loyalitas, dan kinerja mereka. "Apalagi tak ada ketentuan terkait jabatan itu yang dilanggar. Persoalan menjadi lebih serius karena menyangkut kata kunci Tim Mawar itu," katanya.

Penunjukan dua eks anggota Tim Mawar itu juga dinilai sebagai sinyal yang mengkhawatirkan. Langkah itu dianggap seperti melakukan penghinaan terhadap hak asasi manusia (HAM). "Ini bukan sekadar pragmatisme politik kekuasaan, tetapi juga penghinaan terhadap HAM yang ditetapkan pada era Reformasi," ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, Jumat (25/9). 

t dia, mereka yang terlibat pelanggaran HAM semestinya tidak diberikan posisi komando di militer maupun jabatan strategis di pemerintahan. Dengan menempatkan mereka di jabatan strategis, maka Presiden Jokowi dan DPR akan semakin dinilai melanggar janjinya untuk mengusut kasus penculikan aktivis, penghilangan paksa, serta pelanggaran HAM masa lalu. "Sekarang orang (presiden) tersebut melanjutkannya dengan mengangkat orang-orang yang terimplikasi hukum atas kasus penculikan yang pernah diadili di Mahkamah Militer," kata dia.

photo
Tentara berjaga-jaga menjelang aksi unjuk rasa mahasiswa di Jakarta pada 1998. - (DOKREP)

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai, pengangkatan itu merupakan langkah melenceng Jokowi dari agenda reformasi. Badan Pekerja KontraS Fatia Maulidiyanti dalam keterangan resminya kemarin menilai, kejadian ini menambah panjang daftar lembaga negara yang diisi orang-orang yang memiliki masalah HAM di masa lalu. "Sulit untuk membayangkan pelaksanaan aturan hukum yang sesuai standar dan termasuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat, sementara pejabat publik terus diisi oleh aktor yang bertanggung jawab atas kasus-kasus tersebut," kata Fatia. 

Tunggu Panglima

Kepala Biro Humas Setjen Kemenhan, Brigjen IE Djoko Purwanto, membenarkan salinan Kepres penggantian pejabat eselon I di lingkungan Kemenhan. Hanya saja, mutasi tersebut masih menunggu keputusan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto. "Masih menunggu proses selanjutnya, Skep (Surat Keputusan) Panglima TNI," kata Djoko, Jumat lalu.

Anggota Komisi I DPR Fraksi Partai Gerindra Yan Permenas Mandenas menilai pengangkatan tersebut merupakan hak Prabowo sebagai Menhan. Ketua Umum Gerindara itu, kata dia, berhak memilih orang-orang yang mampu dalam meningkatkan kinerja sesuai dengan target yang diberikan Presiden Jokowi, terutama dalam menangani beberapa isu terkait dengan pertahanan. 

"Dalam rangka peningkatan kinerja untuk mendukung pertahanan wilayah teritorial NKRI kita baik darat, laut, maupun udara, dukungan operasional di Kemenhan saya pikir sah dan wajar-wajar saja," ujar Yan, kemarin. 

Tim Mawar Kopassus yang didakwa terlibat kasus penculikan aktivis radikal, dijatuhi hukuman pada April 1999. Catatan Republika kala itu merekam Majelis Hakim Mahmilti II Jakarta yang dipimpin Kol CHK Susanto memutuskan hukuman bervariasi terhadap 11 terdakwa. 

Mayor Inf Bambang Kristiono, mantan Dan Yon IV-2 Grup IV/Sandhi Yudha Kopassus, diganjar satu tahun dan 10 bulan penjara dipotong masa tahanan, serta dipecat dari dinas ABRI. Bambang beserta terdakwa lainnya dinyatakan terbukti bersalah menghilangkan kemerdekaan orang lain dengan memenuhi unsur pidana seperti diatur Pasal 328 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 333 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Majelis hakim juga memutuskan hukuman satu tahun dan delapan bulan penjara dipotong masa tahanan serta dipecat dari ABRI bagi Kapten Inf FS Multhazar, Kapten Inf Nugroho Sulistyo Budi, Kapten Inf Yulius Silvanus, dan Kapten Inf Untung Budi Harto.

photo
Aksi Mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR di Jakarta (19/05/1998), untuk melengserkan Presiden Soeharto. Ini dilakukan setelah peristiwa penembakan terhadap Mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998 yang membuat seluruh masyarakat marah dan berduka. - (DOKREP)

Kemudian hukuman satu tahun dan empat bulan penjara dipotong masa tahanan diberikan kepada Kapten Ing Dadang Hendra Yudha, Kapten Inf Djaka Budi Utama, dan Kapten Inf Fauka Noor Farid. Sedang hukuman satu tahun penjara dipotong masa tahanan diberikan kepada Serka Sunaryo, Serka Sigit Sudianto, dan Sertu Sukadi.

Para terpidana itu tergabung dalam Tim Mawar yang dipimpin Bambang, dan menurut pengakuannya dalam sidang, dibentuk atas inisiatif sendiri untuk mengendalikan aktivis-aktivis radikal yang mengancam keselamatan nasional. Tim ini kemudian mengaku menculik sembilan aktivis radikal. Di antaranya Andi Arief, Desmond J Mahesa, Pius Lustrilanang, dan Nezar Patria.

Putusan majelis hakim tersebut sebetulnya lebih rendah daripada tuntutan Oditur Militer (Odmil) Kolonel CHK Harom Widjaja. Harom semula menuntut 26 bulan penjara dan pemecatan dari ABRI bagi Bambang, Multhazar, Nugroho, dan Yulius. Sedangkan Dadang, Djaka, dan Fauka semula dituntut 22 bulan dan pemecatan. Sementara Sunaryo, Sigit, dan Sukadi dituntut 15 bulan. 

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan hal yang meringankan adalah para terdakwa masih muda dan belum pernah dihukum, bersikap terus terang, menyatakan menyesal dalam persidangan, serta masih mempunyai kesempatan untuk kembali ke jalan yang benar. Sementara hal yang memberatkan adalah tindakan terdakwa dianggap mencemarkan nama lembaga ABRI, TNI AD, dan kesatuan Kopassus. "Tindakan mereka ini akan mengakibatkan terpisahnya ABRI dengan rakyat," kata Susanto.

Sejumlah prajurit yang dipecat kemudian mengajukan banding dan akhirnya sanksi pemecatan tak dikenakan atas mereka. Mereka terus meniti karier di TNI dan meduduki beberapa posisi penting. Dari para terdakwa, hanya Mayor Bambang Kristiono yang diberhentikan. Lima lainnya terbebas dari pemecatan dan dikurangi hukuman penjaranya.

Pada 2014 lalu, mantan komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Mayor Jenderal TNI (Purn) Syamsu Djalal sempat menyatakan bahwa Tim Mawar mengaku mendapatkan perintah dari komandan jenderal (danjen) Kopassus terkait pelaksanaan operasi penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998.

"Komandan Tim Mawar mengakui penculikan atas perintah komandannya (Danjen Kopassus)," kata Syamsu dalam Konsolidasi Nasional Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) saat itu. Syamsu menambahkan, Tim Mawar mendapatkan perintah dari danjen kopassus yang saat itu dijabat Prabowo Subianto.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat