
Nasional
Tunjangan DPR Dipangkas, Masalah Selesai?
Ada persoalan mendasar yang belum diselesaikan dengan pemangkasan tunjangan.
JAKARTA – Setelah dihujani kecaman dan aksi unjuk rasa, pimpinan DPR RI, pada Jumat (5/9/2025) mengumumkan pencabutan tunjangan perumahan bagi anggota dewan dan akan melakukan moratorium kunjungan luar negeri. Kini, pendapatan anggota dewan turun dari sebelumnya di atas Rp 100 juta per bulan menjadi sekira Rp 65 juta per bulan.
Namun, pendapatan tersebut terbilang masih cukup besar. Gaji DPR sebesar Rp 65 juta per bulan adalah 12 kali lipat dari upah minimum regional (UMR) tertinggi di Indonesia, yakni di Jakarta yang sebesar Rp 5,39 juta per bulan.
“Total take home pay mereka menjadi Rp 65,5 juta, apakah ini sudah menjawab kesenjangan yang dikeluhkan masyarakat?” kata ekonom dan pakar kebijakan publik, UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat dalam keterangannya, dikutip Ahad (7/9/2025).
Menurut Achmad, publik yang selama ini menyandingkan pendapatan wakil rakyat dengan daya beli masyarakat, masih tetap bertanya-tanya mengenai keadilan di balik angka-angka tersebut. “Inti masalahnya bukan hanya angka, melainkan rasa keadilan dan relevansi kinerja,” ujarnya.
Ruang Pemangkasan dan Implementasi di Daerah
Achmad menilai masih ada ruang pemangkasan anggaran untuk anggota dewan. Menurutnya, perlu ditilik lebih lanjut mengenai faktor kebutuhan yang menunjang fungsi representasi dan pengawasan, bukan pada faktor keinginan yang bersifat simbolis atau formalitas belaka.
Lihat postingan ini di Instagram
“Tunjangan beras dan beberapa fasilitas natura serupa sudah waktunya ditinjau ulang karena tak lagi sesuai konteks pejabat publik abad ke-21 yang penghasilannya cukup membeli kebutuhan dasar tanpa subsidi khusus,” tuturnya.
Kemudian, uang sidang harus dikaitkan ketat pada kinerja, misalnya berbasis output rapat, kualitas rekomendasi, serta tindak lanjutnya. Sehingga bukan sekadar kehadiran formal.
“Rasionalisasi juga mesti menyentuh DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Di banyak daerah, pola tunjangan meniru pusat, sementara kapasitas fiskalnya sempit. Akibatnya, ruang pembangunan publik tergerus belanja aparatur,” lanjutnya.
Achmad mengatakan, Pemerintah Pusat dapat mendorongnya lewat pedoman nasional tunjangan berbasis kinerja, seraya memberikan insentif fiskal bagi daerah yang berhasil menekan proporsi belanja pegawai dan menaikkan porsi belanja layanan publik.
“Intinya, masih ada ruang pemangkasan dan penataan ulang, namun harus cerdas: pangkas yang simbolik, pertahankan yang menunjang fungsi, dan tautkan seluruh fasilitas pada hasil kerja terukur,” tegasnya.

Lebih lanjut, Achmad menekankan kepada Pemerintah untuk benar-benar melakukan efisiensi yang tepat sasaran. Menurutnya, pemangkasan tunjangan DPR hanyalah satu keping mozaik. Keping terbesar ada di hulu, yakni bagaimana pemerintah merancang dan mengeksekusi program publik bernilai tambah tinggi.
“Di sinilah disiplin value for money dan spending review tahunan menjadi kunci,” kata dia.
Achmad mencatat ada lima hal yang perlu Pemerintah perhatikan dalam konteks tersebut. Pertama, peta tumpang tindih. Banyak program sosial bergandengan, namun menyasar kelompok yang sama. Integrasi data penerima manfaat harus menjadi ‘rel kereta semua program, mulai dari bantuan pendidikan, pengentasan kemiskinan, sampai pangan bergizi, agar kebijakan tepat sasaran dan kebocoran berkurang. Sebab, tanpa rel data, keretanya saling serempet.
Kedua, evaluasi berbasis hasil, bukan penyerapan. Setiap rupiah harus berujung output, misal: jumlah anak terlayani gizi layak, dan outcome: penurunan stunting, kenaikan literasi, peningkatan kompetensi digital.
“Kementerian/lembaga yang melaporkan serapan 98 persen, tapi dampak tak terukur, mesti direstruktur. Kontrak kinerja pimpinan instansi perlu mengunci indikator hasil, dengan bonus-malus yang nyata,” tuturnya.
Ketiga, sunset clause untuk program baru. Setiap program jumbo wajib disertai klausul berakhir otomatis dalam 2—3 tahun, kecuali dievaluasi ulang dan terbukti efektif. Hal itu untuk mencegah ‘program abadi’ yang menyita ruang fiskal.

Keempat, desain ulang subsidi agar tidak regresif. Achmad menyebut, subsidi energi yang dinikmati kelompok mampu adalah paradoks kebijakan. Reformulasi dengan skema terarah —menggunakan kuota/volume, geofencing, atau means-testing—membuat anggaran yang sama memberi manfaat lebih besar bagi rumah tangga rentan, sambil menjaga kredibilitas fiskal.
“Kelima, prioritas infrastruktur berbasis kebutuhan dan manfaat ekonomi-lingkungan jangka panjang,” lanjutnya.
Proyek harus lolos uji manfaat bersih (biaya—manfaat—risiko) dan kesiapan operasi. Program makan bergizi gratis (MBG) dinilai harus mengikuti pola tersebut, evaluasi skala kecil tahun 2025 apabila hasilnya positif, baru diperbesar. Lebih baik sedikit proyek, tetapi selesai, terawat, dan produktif, ketimbang banyak proyek yang menjadi monumen biaya.
“Pada akhirnya, publik akan menilai bukan pada seberapa banyak pos yang dipangkas, tetapi seberapa bermakna perubahan yang dirasakan. Ketika harga pangan lebih stabil, layanan kesehatan dan pendidikan membaik, serta kesempatan kerja bertambah, kepercayaan akan pulih dengan sendirinya,” terangnya.
Achmad menyampaikan, langkah DPR memangkas tunjangan sebenarnya adalah sinyal awal yang baik. Namun kesetaraan dan keadilan anggaran hanya lahir dari disiplin kinerja menyeluruh: tunjangan yang rasional, belanja publik yang berpihak pada hasil, dan tata kelola yang transparan.

“Analogi sederhananya: kita bukan sekadar merapikan ruang tamu (tunjangan), melainkan menata ulang pondasi rumah (desain kebijakan dan eksekusi anggaran). Jika pondasi kokoh, rumah fiskal Indonesia akan tahan terhadap badai tekanan ekonomi, dan terutama lebih nyaman dihuni oleh seluruh rakyat,” tutupnya.
Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mengendus kecurigaan di balik pemangkasan gaji dan tunjangan anggota DPR. Peneliti Formappi, Lucius Karus mengapresiasi kesediaan DPR mendengarkan tuntutan masyarakat untuk menghapus tunjangan perumahan yang memang menjadi sumber kemarahan publik.
"Akan tetapi jika melihat total take home pay bulanan anggota yang masih di level 65 juta per bulan, tampaknya tak penyesuaian signifikan pada tunjangan-tunjangan lain DPR. Jadi hanya tunjangan perumahan saja yang benar-benar dengan berani dihapus oleh DPR," kata Lucius saat dikonfirmasi Republika pada Ahad (7/9/2025).
Lucius mempertanyakan DPR bisa berani menghapus tunjangan perumahan tetapi tak berani menghapus beberapa tunjangan lain yang juga nampak berlebihan. Misalnya tunjangan komunikasi intensif senilai Rp 20.033.000 per bulan.
"Kan banyak tuh yang nanya, eksekusi tunjangan komunikasi intensif dengan masyarakat itu apa? Beli pulsa, beli paket, atau apa? Seintensif apa komunikasi anggota DPR dengan dukungan tunjungan sebesar itu?" ujar Lucius.

Lalu ada tunjangan jabatan dan tunjangan kehormatan anggota DPR RI. Menurut Lucius, dua tunjangan itu maknanya sama. "Dua-duanya mau menghormati jabatan anggota DPR? Kenapa mesti dibikin menjadi dua jenis tunjangan? Apalagi nominal untuk masing-masingnya cukup besar," ujar Lucius.
Lucius juga mengamati tunjangan terkait peningkatan fungsi dan honorarium kegiatan pengikatan fungsi dewan nampak sama tujuannya, tetapi dibikin seolah-olah menjadi hal berbeda. Lucius menduga item tunjangan ini menjadi semacam strategi untuk bisa menambah pundi anggota Dewan.
"Jenis tunjangan harus benar-benar dievaluasi manfaatnya. Kalau DPR dibilang tak cukup aspiratif, kan mestinya tunjangan komunikasi intensif itu jadi ngga bermakna. Begitu juga tunjangan kehormatan dan tunjangan untuk anggota DPR RI, ini kan dua jenis tunjangan yang sama-sama mau mengapresiasi jabatan atau fungsi seorang wakil rakyat?" sindir Lucius.
Pimpinan DPR RI mengesahkan pemangkasan gaji anggota DPR dan tunjangan fasilitasnya. Keputusan ini diketok melalui rapat pimpinan DPR dengan pimpinan fraksi-fraksi pada Kamis (4/9/2025). Pemangkasan ini menyasar biaya langganan listrik, jasa telepon, komunikasi intensif, dan tunjangan transportasi.
"DPR akan memangkas tunjangan dan fasilitas anggota DPR setelah evaluasi meliputi biaya langganan biaya listrik dan jasa telepon, kemudian biaya komunikasi intensif, dan biaya tunjangan transportasi," kata Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad pada Jumat (5/9/2025).
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.