Terdakwa kasus suap pengurusan pengajuan fatwa MA untuk membebaskan Djoko Tjandra, Pinangki Sirna Malasari, mengikuti sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (23/9). | MUHAMMAD ADIMAJA/ANTARA FOTO

Kabar Utama

Ada Burhanuddin dan Hatta Ali di Dakwaan Pinangki

Dakwaan dalam sidang perdana secara terperinci menerangkan 10 rencana aksi Pinangki.

JAKARTA -- Terdakwa kasus dugaan suap dan gratifikasi jaksa Pinangki Sirna Malasari didakwa dengan tiga dakwaan berlapis. Pinangki didakwa menerima suap, melakukan tindakan pidana pencucian uang (TPPU), dan pemufakatan jahat. 

Dakwaan pertama, Pinangki didakwa telah menerima suap 500 ribu dolar AS dari 1 juta dolar AS yang dijanjikan Djoko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra selaku terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali. 

"Uang ini sebagai pemberian fee dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya," ujar jaksa penuntut umum Kemas Roni saat membacakan surat dakwaannya dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (23/9).

Dalam dakwaan, uang suap itu diterima Pinangki untuk mengurus fatwa Mahkamah Agung (MA) melalui Kejaksaan Agung (Kejakgung) agar pidana penjara yang dijatuhkan kepada Djoko Tjandra berdasarkan putusan PK (Peninjauan Kembali) Nomor 12 Tanggal 11 Juni 2009 tidak bisa dieksekusi, sehingga Djoko Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani hukuman pidana. 

photo
Pinangki Sirna Malasari (tengah) bersiap mengikuti sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (23/9). - (MUHAMMAD ADIMAJA/ANTARA FOTO)

Untuk mengurus itu semua, awalnya Pinangki diceritakan bertemu dengan seorang bernama Anita Kolopaking yang disebut dengan jelas sebagai advokat. Saat itu pun, Pinangki ingin diperkenalkan dengan Djoko Tjandra.  

Di sisi lain, jaksa mengatakan, Anita akan menanyakan ke temannya yang seorang hakim di MA mengenai kemungkinan terbitnya fatwa untuk Djoko Tjandra yang direncanakan Pinangki itu. Seluruh rencana Pinangki itu disebut jaksa tertuang dalam proposal dengan nama action plan.

"Untuk melancarkan rencana tersebut, Djoko Tjandra meminta kepada terdakwa mempersiapkan dan membuat action plan terlebih dahulu dan membuat surat ke Kejaksaan Agung menanyakan status hukum Joko Soegiarto Tjandra, lalu terdakwa menyampaikan akan menindaklanjuti surat tersebut," kata jaksa.

Pembahasan itu disebut terjadi di Kuala Lumpur, Malaysia, tepatnya di gedung The Exchange 106. Jaksa mengatakan, Pinangki awalnya menawarkan action plan senilai 100 juta dolar AS, tetapi Djoko hanya menjanjikan 10 juta dolar AS.

Sebagai tanda jadi, Djoko akhirnya memberikan 500 ribu dolar AS ke Pinangki melalui Herriyadi Angga Kusuma yang merupakan adik iparnya. Uang lantas diteruskan ke Andi Irfan Jaya yang disebut sebagai seorang swasta dari pihak Pinangki. Setelahnya, Pinangki memberikan 50 ribu dolar AS dari 500 ribu dolar AS yang diterimanya ke Anita.

"Atas kesepakatan sebagaimana dalam action plan tersebut, tidak ada satu pun yang terlaksana. Padahal, Djoko Soegiarto Tjandra sudah memberikan down payment kepada terdakwa melalui Andi Irfan Jaya sebesar 500 ribu dolar AS. Sehingga, Djoko Soegiarto Tjandra pada bulan Desember 2019 membatalkan action plan," kata jaksa.

Atas perbuatannya tersebut, Pinangki melanggar Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor) subsider Pasal 11 UU Tipikor. 

Dalam dakwaan kedua, Pinangki didakwa Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam dakwaan disebutkan uang suap yang masih dipegang Pinangki sebesar 450 ribu dolar AS juga dibelanjakan barang-barang mewah. 

photo
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menunjukan bukti baru sebelum diserahkan ke KPK terkait rangkaian perkara yang melibatkan Djoko Soegiarto Tjandra di Gedung KPK Merah Putih, Jakarta, Rabu (16/9). - (MUHAMMAD ADIMAJA/ANTARA FOTO)

Pinangki melakukan pembelian mobil BMW X-5, pembayaran dokter kecantikan di Amerika Serikat, pembayaran sewa apartemen maupun hotel di New York, Amerika Serikat, pembayaran dokter home care, pembayaran kartu kredit, dan transaksi lain untuk kepentingan pribadi. Uang tersebut juga digunakan untuk pembayaran sewa apartemen Essence Darmawangsa dan apartemen Pakubowono Signature secara tunai. 

Lalu, dakwaan ketiga yakni tentang pemufakatan jahat. Pinangki didakwa melanggar Pasal 15 juncto Pasal 5 ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 88 KUHP.

Dalam dakwaan dijelaskan, rangkaian perbuatan Pinangki yang bermufakat jahat dengan Andi Irfan Jaya dan Djoko Tjandra untuk memberi hadiah atau janji berupa uang sebesar 10 juta dolar AS kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung. Hadiah atau janji itu untuk kekuasaan dan wewenang pejabat di MA dalam memberikan fatwa MA melalui permohonan fatwa dari pejabat di Kejaksaan Agung agar pidana penjara yang dijatuhkan Djoko Tjandra berdasarkan putusan PK Nomor 12 tanggal 11 Juni 2019 tidak dapat dieksekusi, sehingga Djoko Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani pidana.

Dalam mengurus fatwa tersebut, Pinangki melakukannya bersama Andi Irfan Jaya dan Anita Kolopaking. Dalam dakwaan disebutkan, Pinangki menemui Djoko Tjandra sebanyak tiga kali di Kuala Lumpur, Malaysia, pada November 2019.

Disebutkan bahwa Pinangki, Anita, Djoko Tjandra, dan Andi Irfan bertemu di The Exchange 106, Kuala Lumpur, Malaysia, untuk mematangkan action plan Djoko Tjandra terkait mengurus kepulangan dengan menggunakan sarana fatwa MA melalui Kejakgung. Dalam action plan itu, muncul nama Burhanuddin dan Hatta Ali.

Namun, dalam dakwaan tidak disebutkan jabatan detail Burhanuddin dan Hatta Ali. Burhanudin hanya disebutkan sebagai pejabat di Kejaksaan Agung, sementara Hatta Ali disebutkan sebagai pejabat di Mahkamah Agung.

Dalam dakwaan diterangkan secara terperinci 10 action plan Pinangki. Action plan poin pertama adalah penandatangan akta kuasa jual sebagai jaminan bila security deposit yang dijanjikan Djoko Tjandra tidak terealisasi dan akan dilaksanakan pada 13-23 Febuari 2020. Penanggung jawab di poin pertama adalah Djoko Tjandra dan Andi Irfan Jaya.

Kemudian, poin kedua, pengiriman surat dari pengacara kepada pejabat Kejaksaan Agung, Burhanuddin (BR), yakni surat permohonan fatwa MA dari pengacara kepada Kejakgung untuk diteruskan kepada MA yang akan dilaksanakan pada 24-25 Februari 2020. 

Rencana aksi ketiga, pejabat Kejakgung Burhanuddin mengirimkan surat permohonan fatwa MA kepada pejabat MA Hatta Ali (HA). Pelaksanaan aksi itu dilakukan pada 26 Februari-1 Maret 2020 dengan penanggung jawab Andi Irfan Jaya dan Pinangki. Diketahui, pada Maret 2020, Hatta Ali masih menjabat sebagai ketua MA.

Kemudian, di poin aksi keempat disebutkan soal pembayaran 25 persen fee sebesar 250 ribu dolar AS dari total 1 juta dolar AS yang telah dibayar uang mukanya sebesar 500 ribu dolar AS  dengan penanggung jawab Djoko Tjandra yang akan dilaksanakan pada 1-5 Maret 2020. 

Poin aksi kelima yakni pembayaran fee konsultan media kepada Andi Irfan Jaya sebesar 500 ribu dolar AS untuk mengondisikan media. Adapun rencana aksi lainnya adalah pejabat MA Hatta Ali menjawab surat pejabat Kejakgung Burhanuddin. Penanggung jawabnya adalah Hatta Ali atau DK atau AK yang akan dilaksanakan pada 6-16 Maret 2020.

Pada poin ketujuh, Burhanuddin menerbitkan instruksi terkait surat Hatta Ali, yaitu menginstruksikan kepada bawahannya untuk melaksanaan fatwa MA. Penanggung jawab adalah IF (belum diketahui)/P (Pinangki) yang akan dilaksanakan pada 16-26 Maret 2020.

Selanjutnya, poin aksi kedelapan adalah security deposit cair sebesar 10 ribu dolar AS. Artinya, Djoko Tjandra bakal membayar uang tersebut apabila rencana aksi kedua, ketiga, keenam, dan ketujuh berhasil dilaksanakan.

Rencana kesembilan, Djoko Tjandra disebutkan kembali ke Indonesia tanpa menjalani eksekusi pidana penjara selama dua tahun. Adapun rencana aksi terakhir adalah pembayaran fee 25 persen, yaitu 250 ribu dolar AS. 

Namun, JPU menyebut kesepakatan action plan tersebut tidak terlaksana satu pun. Padahal, Djoko Tjandra telah memberikan uang muka sebesar 500 ribu dolar AS. Djoko Tjandra pun pada Desember 2019 membatalkan rencana aksi dengan cara memberikan catatan pada kolom notes dengan tulisan tangan “NO”, kecuali action plan poin ketujuh dengan tulisan tangan “bayar nomor 4,5” dan “action” ke-9 dengan tulisan “bayar 10 M”, yaitu bonus kepada terdakwa bila Djoko kembali ke Indonesia.

Dalam persidangan, Pinangki merasa keberatan atas dakwaan yang dijatuhkan. Perwakilan tim kuasa hukum Pinangki, Aldres Napitupulu, menyatakan, kliennya akan mengajukan eksepsi atau nota keberatan atas dakwaan JPU. Tim kuasa hukum meminta diberikan waktu satu pekan untuk menyusun nota eksepsi. "Mohon waktu satu pekan untuk mengajukan keberatan terdakwa," kata Aldres seusai mendengarkan dakwaan JPU. 

Aldres menyebutkan, dalam dakwaan kesatu, kliennya dituduh menerima janji sejumlah uang dari Djoko Tjandra. Namun, pada dakwaan ketiga, kliennya disebut bermufakat jahat untuk memberikan uang kepada pihak lain dengan jumlah yang sama.

"Ini menurut kami cukup aneh, ketika terdakwa dituduh sebagai penerima tapi dituduh juga sebagai pemberi. Itu yang akan menjadi salah satu poin keberatan kami," ujar Aldres.  

Jaksa agung dan ketua MA

Sebelumnya, Usai gelar perkara bersama dengan Komisi Pemberantaran Korupsi (KPK) di Gedung Bundar, (8/9), Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Ali Mukartono, pernah mengungkapkan, penyidikan skandal fatwa bebas Djoko Tjandra, tak bakal menutupi satupun nama-nama yang diduga terserempet. Bahkan kata Ali, jika nama-nama tersebut menyangkut para petinggi di Kejakgung.

Karena itu, dia menegaskan, bakal ada nama-nama yang kerap dituding duga terlibat, masuk ke dalam berkas perkara, dan lembar dakwaan terhadap tersangka jaksa Pinangki Sirna Malasari. Termasuk, Ali menyinggung soal nama Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin.

“Soal yang ditanyakan itu, ada dibahas (dalam gelar perkara bersama KPK). Itu (nama jaksa agung) ada keluar, entah BAP (berkas acara pemeriksaan), entah apa,” kata Ali, Selasa (8/9). Pernyataan Ali tersebut, sebetulnya menjawab pertanyaan terkait adanya koneksi peran Pinangki dengan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, dalam skandal pengurusan fatwa Mahkamah Agung untuk Djoko Tjandra. 

photo
Jaksa Agung ST Burhanuddin mengikuti rapat kerja bersama Komisi III DPR di kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (29/6). - (ADITYA PRADANA PUTRA/ANTARA)

Meski tak menyebutkan kata ‘jaksa agung Sanitiar Burhanuddin’. Namun saat itu, Ali mengakui pemimpin Korps Adhyaksa tersebut, "terseret" namanya dalam arus penyidikan. “Tetapi materinya, tidak perlu saya sampaikan di sini. Tapi dibahas, iya,” kata Ali tegas.

Ali pun memastikan, nama yang dimaksud tersebut bakal terkuak dalam persidangan. “Nanti di persidangan, akan muncul itu (nama Jaksa Agung),” terang Ali menambahkan.

Sedangkan mantan ketua Mahkamah Agung Hatta Ali menegaskan tak pernah kenal dengan Pinangki Sirna Malasari, pun Andi Irfan Jaya. Ketua kamar tertinggi yudikatif 2012-2020 itu pun membantah terlibat dalam upaya penerbitan fatwa bebas MA untuk terpidana korupsi Djoko Sugiarto Tjandra. 

Namun, Ali mengakui, dirinya punya kekerabatan dengan Anita Dewi Kolopaking, dan pernah bertemu dengan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin pada 2019.

“Saya tidak pernah kenal dengan yang namanya jaksa Pinangki maupun Andi Irfan Jaya yang dikatakan dari partai Nasdem itu,” kata Ali kepada Republika, Rabu (23/9).

Ia mengatakan, tak tahu-menahu soal pengurusan fatwa MA dan pembuatan Action Plan untuk kepentingan Djoko Tjandra. Kata Hatta Ali, perkenalannya dengan Anita Dewi Kolopaking pun dilakukan dengan cara profesional.

“Pengacara Anita Kolopaking adalah teman se-alumni,” ujar Hatta Ali. 

Pertemanan tersebut, kata Hatta Ali, sejak keduanya sama-sama sebagai akademisi Strata-3 di Universitas Padjajaran, Bandung. Menurutnya, Anita Kolopaking juga salah satu anggota ALA (ASEAN Law Association).

Hatta Ali mengakui, pernah bertemu dengan Anita Kolopaking saat konferensi ALA di Phuket, Thailand 2019. “Sehingga dengan sendirinya, pasti ketemu dengan Anita dalam kegiatan tersebut,” kata dia.

photo
Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali.- (Republika/Prayogi)

Terkait hubungannya dengan Jaksa Agung Burhanuddin, Hatta Ali menerangkan, pernah sekali bertemu di Kantor MA 2019. Namun, ia menjelaskan, pertemuan tersebut sebagai rapat bersama atau courtesy call sebagai perkenalan diri setelah Presiden Joko Widodo melantik Burhanuddin sebagai jaksa agung.

Hatta Ali menekankan, tidak ada pembicaraan yang spesifik terkait pertemuan dia, dengan Burhanuddin dalam forum tersebut. “Kunjungan tersebut sangat singkat. Dan sama sekali tidak pernah membicarakan perkara. Apalagi perkara Djoko Tjandra,” uja Hatta Ali. 

Mengenai namanya dalam dugaan pengurusan fatwa di MA untuk Djoko Tjandra, Hatta Ali menilai keterlibatan MA menjadi tak konsisten dalam tuduhan tersebut. Sebab ia menjelaskan, fatwa MA itu tak mungkin dilakukan.

“Itu adalah hal yang sangat mustahil. Karena MA tidak pernah sekalipun mengeluarkan fatwa yang bersifat teknis untuk membatalkan atau mengoreksi putusan Peninjauan Kembali,” ujar Hatta Ali. Ia juga mengatakan, sebelum dirinya lepas jabatan di MA pada April 2020, tak pernah sekalipun dilaporkan tentang adanya penerimaan permohonan fatwa yang dimaksud.

Ia menerangkan, ia adalah salah satu hakim anggota yang memutuskan untuk menolak pengajuan PK Djoko Tjandra pada 2009. Kata dia, menjadi tak konsisten bagi dirinya sebagai hakim yang dituding bakal mengurusi fatwa bebas MA untuk Djoko Tjandra, sementara pada PK 2009, Hatta Ali menolak upaya hukum luar biasa ajuan terpidana korupsi Bank Bali 1999 tersebut.

“Jadi adalah mustahil juga bahwa MA atau saya akan menerbitkan fatwa MA yang akan membebaskan Djoko Tjandra yang menguntungkan dia (Djoko Tjandra) sebagai terpidana,” katanya.

Terakhir, kata Hatta Ali, mencuatnya skandal Djoko Tjandra terjadi setelah dirinya pensiun. “Jika dalam perkara ini ada oknum yang menjual nama saya (sebagai mantan atau ketua MA), itu adalah menjadi tanggung jawab orang tersebut,” ujarnya.

Hatta Ali berharap, perkara skandal Djoko Tjandra yang sudah masuk ke persidangan dapat mengungkap kebenaran dan menghukum pihak-pihak yang dinyatakan terbukti bersalah. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat