Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar berpose saat wawancara khusus bersama Republika di ruangannya di Masjid Istiqlal, Jakarta, Selasa (28/7). | Republika/Thoudy Badai

Hiwar

Butuh Langkah-Langkah Keagamaan Tanggulangi Covid-19

Bagaimana langkah keagamaan mengatasi guncangan jiwa pasien Covid-19?

Banyak orang mengalami stres dan depresi akibat kian dahsyatnya pandemi Covid-19 yang menimpa Indonesia. Tak sedikit pasien yang dinyatakan positif Covid-19 mengalami guncangan kejiwaan yang hebat.

Mengapa ini terjadi dan bagaimana mengatasi semua situasi ini? Wartawan Republika Andrian Saputra mewawancarai ulama tasawuf yang juga Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Prof KH Nasaruddin Umar. Berikut petikannya.

Banyak masyarakat mengalami stres dan depresi, bahkan pasien divonis positif Covid-19. Mengapa ini bisa terjadi?

Pemberitaan kita tentang Covid-19 sejak awal itu memang didramatisasi sebagai sesuatu yang sangat mengerikan dan memang iya mengerikan. Apalagi, dengan misalnya kuburan berhektare-hektare sudah penuh, rumah sakit juga enggak muat, dokter dan para perawat juga sudah ratusan meninggal. Dan itu bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di seluruh dunia.

Jadi, medianya itu sangat seram. Orang itu secara psikologis tertekan. Akhirnya orang yang terinfeksi akan dijauhi oleh masyarakat, seperti menjadi sebuah aib. Orang menyembunyikan dirinya kalau terinfeksi Covid, terjauhi sendiri secara sosial.

Bukan saja physical distancing, melainkan psychology distancing juga terjadi. Begitu orang terinfeksi, otomatis orang itu akan dijauhi. Suami, istri, anak akhirnya diisolasi. Isolasi bagi masyarakat Indonesia itu suatu hal yang tidak positif, padahal dalam dunia Barat isolasi itu suatu yang biasa.

Bagaimana agar jiwa tidak teguncang dalam situasi sulit seperti saat ini?

Kita dalam Islam harus memperkenalkan konsep takdir. Bahwa takdir itu hanya Allah yang tahu, termasuk kematian itu hanya Allah yang tahu. Kematian itu pintu yang harus dilewati semua makhluk yang bernyawa. Jadi, mau di luar rumah, mau di dalam rumah itu pasti akan mati.

Namun, mati karena virus ini sepertinya (sering dianggap) mati dalam keadaan aib. Tak boleh diantar, tidak boleh dimandikan oleh keluarganya, dari rumah sakit langsung dengan menggunakan pakaian hazmat.

Jadi, seolah-olah image masyarakat tentang itu mengerikan. Akhirnya begitu orang terjangkit dengan virus stres, bukan hanya orang yang bersangkutan, melainkan juga keluarga, orang satu kantor. Jadi, sebetulnya itu didramatisasi sedemikian rupa.

Sengaja atau tidak sengaja itu akan menimbulkan kengerian di masyarakat kita. Jadi, masyarakat itu tercekam betul. Di satu sisi, tercekam dengan penyakit. Di sisi lain, dia mau makan, makanannya ada di luar. Keluar itu kan risikonya virus. Masyarakat stres banget kalau ada orang kena. Karena beranggapan pokoknya asal kena Covid itu dikuburkan di permakaman khusus, nggak boleh diantar, nggak boleh ditengok. Bukan main itu semua kan.

Langkah apa yang bisa kita lakukan dalam menghadapi pandemi Covid-19 yang kasusnya semakin meningkat?

Langkah-langkah keagamaan. Nabi mengatakan, manakala suatu penyakit mewabah, manakala pandemi terjadi di suatu tempat, jangan berkunjung ke tempat itu dan orang yang sudah telanjur di tempat itu jangan keluar. Itu kan protokolnya Nabi yang sekarang dipakai protokol kesehatan.

Nabi juga mengatakan larilah kalian kalau melihat orang yang berpenyakit judzam (kusta) yang menular pada masa Nabi. Jadi, larilah kalian kalau menjumpai orang yang seperti itu, seperti melihat singa. Artinya, jangan dekat-dekat harus lari.

Dalam hadis yang berbeda, Nabi diriwayatkan pernah makan satu baki yang sama dengan orang yang berpenyakit atau kusta pada waktu itu. Ada yang mengatakan bahwa ketika belum ditemukan penangkalnya berlaku hadis yang pertama. Namun, kalau penangkalnya, obatnya sudah ada, Nabi Muhammad justru mendemonstrasikan makan dengan orang yang berpenyakit kusta dalam satu baki yang sama. Itu karena sudah dilumpuhkan penyakitnya, sudah dijinakkan, sudah divaksin.

Jadi, sebelum penyakit menular itu ditemukan obatnya larilah, tapi setelah ditemukan pelumpuhnya, vaksin, obatnya, ya makan dalam satu baki, jangan dijauhi.

Resep lain ialah Nabi Muhammad menganjurkan kita untuk senantiasa memelihara kebersihan dan kesehatan. Itu juga penting. Tidak ada orang paling sehat sesehat Nabi Muhammad. Apa resep Nabi Muhammad, memelihara kesehatan, memelihara kebersihan, dan olahraga.

Apa yang perlu diperhatikan lagi agar masyarakat tidak stres dan depresi karena pandemi?

Daya tahan tubuh dan daya tahan iman. Ini juga yang pemerintah kurang. Jadi, daya tahan tubuh diperhatikan kemudian social distancing diperhatikan, tapi kekuatan batin ini yang enggak. Saya melihat ini yang kurang.

Saya minta pemerintah kalau bisa juga menekankan pentingnya bersabar, pentingnya mengembalikan tawakal kepada Allah setelah kita berusaha. Kalau kita kembalikan urusan ini kepada Allah, semua orang akan terima kan, jangan ditakut-takuti tanpa memperdengarkan bahasa agama yang baik.

Kalau kita sudah berusaha, tawakal, ya itu namanya takdir. Orang yang mati karena penyakit menular itu mati syahid. Namun, kita tidak boleh mengejar mati syahid dengan cara menjerumuskan diri ke Covid. Itu sama dengan menceburkan diri ke dalam kebinasaan. Itu juga tidak boleh dalam Alquran.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat