Juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah. | ANTARA

Internasional

Posisi Indonesia Soal Palestina tak Berubah

Kesepakatan normalisasi menuai kecaman luas dari warga Palestina.

JAKARTA -- Indonesia menegaskan, tidak akan mengubah posisinya tentang Palestina. Sikap ini diungkap setelah Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain telah menandatangani perjanjian normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel yang ditengahi Amerika Serikat, Selasa (15/9).  

"Sekali lagi ditegaskan bahwa normalisasi hubungan Israel dengan UEA dan Bahrain tidak mengubah posisi Indonesia soal Palestina," ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah dalam pengarahan media secara virtual, Kamis (17/9).

Faizasyah menegaskan, bagi Indonesia, untuk menyelesaikan isu Palestina, pihak-pihak terkait juga harus melihat parameter yang disepakati secara internasional. "Harus melihat parameter yang disepakati secara internasional, termasuk two state solution (solusi dua negara)," ujar Faizasyah.

Dalam hal ini, Indonesia juga harus memastikan bahwa seluruh inisiatif lain untuk perdamaian tidak menggagalkan keputusan yang telah dibuat oleh Arab Peace Inisiatif dan beberapa resolusi Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang terkait. Indonesia menilai, sudah waktunya untuk mempertimbangkan agar inisiatif dan kesepakatan itu diarahkan kepada upaya untuk memulai kembali proses multilateral yang kredibel.  

 
photo
Penandatangan Perjanjian Ibrahim di Gedung Putih, Washington, AS, Selasa (15/9). - (EPA-EFE/JIM LO SCALZO)

"Hal ini akan memungkinkan equal footing bagi seluruh pihak didasarkan pada parameter internasional yang disepakati," ujar Faizasyah. 

Indonesia juga pasti memahami niat UEA dan Bahrain untuk menyediakan ruang bagi pihak terkait untuk bernegosiasi dan mengubah pendekatan untuk penyelesaian isu Palestina bagi kesepakatan ini. "Namun juga, efektivitas kesepakatan tersebut sangat bergantung pada komitmen Israel untuk menghormatinya," tukas Faizasyah. 

UEA dan Israel menyepakati normalisasi hubungan pada 13 Agustus 2020. Berikutnya, Bahrain dan Israel melakukan normalisasi pada 11 September. Keduanya dimediasi AS dan penandatanganan dilakukan di Gedung Putih, AS, Selasa (15/9). 

Itu merupakan kesepakatan perdamaian pertama yang dicapai Israel dengan negara Arab dalam 26 tahun. Tel Aviv terakhir kali meneken perjanjian semacam itu pada 1994 dengan Yordania. Perjanjian bilateral tersebut kemudian diikuti penandatanganan pakta bersama yang disebut "Abraham Accords" oleh Israel, UEA, Bahrain, dan AS.

Laman Anadolu Agency pada Selasa menuliskan, Presiden AS Donald Trump mengaku cukup yakin bahwa Arab Saudi akan mengikuti jejak Bahrain dan UEA dalam melakukan normalisasi diplomatik dengan Israel. Dia mengeklaim, telah melakukan pembicaraan dengan Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud.

Trump berpendapat, Saudi akan melakukan normalisasi dengan Israel pada waktu yang tepat. "Kami memiliki banyak negara lain yang akan bergabung dengan kami dan mereka akan segera bergabung dengan kami," kata Trump.

Kesepakatan normalisasi tersebut menuai kecaman luas dari warga Palestina. Mereka mengatakan, kesepakatan tersebut tidak melayani kepentingan Palestina dan mengabaikan hak-hak mereka. Pemerintah Palestina mengatakan, setiap kesepakatan dengan Israel harus didasarkan pada Prakarsa Perdamaian Arab 2002 dengan prinsip tanah untuk perdamaian. Bukan "perdamaian untuk perdamaian" seperti yang dipertahankan Israel.

Ratusan warga Palestina turun ke jalan pada Selasa (15/9) malam waktu setempat di Kota Ramallah, Tepi Barat. Dilansir di kantor berita WAVA, Rabu (16/9), warga Palestina berdemonstrasi sembari  meneriakkan slogan-slogan yang mengecam penandatanganan perjanjian normalisasi dengan Israel. 

Mereka juga menegaskan dukungan untuk kepemimpinan Palestina yang dipimpin Presiden Mahmoud Abbas dalam kepatuhannya terhadap hak-hak Palestina. Para peserta menekankan penolakan mereka atas perjanjian yang memalukan dan mengandung penolakan terhadap hak-hak rakyat Palestina. 

Tak hanya di Ramallah, aksi unjuk rasa juga pecah di Kota Nablus, Jenin, Tulkarm, dan Hebron di Tepi Barat. Ratusan warga Palestina berdemonstrasi mengibarkan bendera Palestina dan memegang tanda-tanda yang mengecam perjanjian dan normalisasi hubungan Arab dengan Israel. Sejumlah kegiatan protes juga diadakan di beberapa kota di seluruh dunia, tetapi terutama di luar Gedung Putih di Washington oleh penentang perjanjian.

Faksi-faksi di Palestina, terutama Fatah, Hamas, dan Jihad Islam, telah bertekad untuk bersatu demi menghadapi normalisasi tersebut. Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh juga telah mengajukan proposal kepada Presiden Mahmoud Abbas untuk merevisi hubungan dengan Liga Arab.

Bantuan cekak

Sementara, Organisasi PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA) mengkhawatirkan krisis keuangan yang bisa terjadi dalam waktu dekat akibat pandemi Covid-19. Jika bantuan tak lagi diterima UNRWA, maka layanan bagi jutaan pengungsi Palestina akan berhenti.

Kepala UNRWA Philippe Lazzarini mengungkapkan defisit keuangan yang dialami organisasinya. Hal ini diperburuk keruntuhan ekonomi Lebanon yang jadi tempat UNRWA bernaung. Kondisi ini memaksa sebagian pengungsi berlayar seadanya dengan harapan kehidupan baru di Eropa.

UNRWA diketahui didirikan untuk membantu 700 ribu warga Palestina yang terusir dari tanah kelahirannya sejak pendudukan Israel pada 1948. UNRWA saat ini memberi layanan pendidikan, kesehatan dan makanan bagi 5,8 juta pengungsi Palestina di wilayah Tepi Barat, Gaza, Yordania, Suriah dan Lebanon.

Krisis keuangan UNRWA terjadi usai kehilangan dana dari pendonor utamanya Amerika Serikat sejak 2018. Amerika menyumbang $360 juta pada 2017. Lalu pada 2018, sumbangan Amerika turun tinggal $60 juta. Pada tahun 2019 sampai sekarang, Amerika tak lagi mendonorkan dana.

"Saya percaya menghentikan aktivitas kami di level seperti ini hanya menambah perasaan pengungsi Palestina merasa ditinggalkan komunitas internasional," ujar Lazzarini dilansir dari Arab News pada Kamis (17/9).

Lazzarini menekankan dukungan terhadap UNRWA adalah cara terbaik menjaga kedamaian di kawasan konflik Palestina-Israel. Lazzarini mengajak dunia internasional memberi sumbangsih pada UNRWA. "Kami tak bisa membiarkan situasi ini bertambah buruk di wilayah yang rentan kekerasan," ujar Lazzarini. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat