Pekerja menyelesaikan pembuatan kue kacang di industri rumahan di Rogojampi, Banyuwangi, Jawa Timur, Rabu (26/8). | ANTARA FOTO/Budi Candra Setya

Opini

Keberlanjutan Bisnis

Bisnis perlu mengintegrasikan kinerja ekonomi, berempati sosial, dan berwawasan lingkungan.

M LUTHFI HAMIDI, Mahasiswa PhD Griffith University, Dosen STEI SEBI

Pada 2011, Harvard Business Review (HBR), salah satu jurnal bidang bisnis terkeren besutan Universitas Harvard, memublikasikan The Sustainable Economy. Di dalamnya, dikupas evolusi kesinambungan bisnis dari seri 1.0 sampai 3.0.

Mereka merujuk era sustainability 1.0 ketika bisnis mulai mengurangi dampak lingkungan. Lalu bergeser ke 2.0, fokusnya bukan lagi penghematan, tapi inovasi dan mulai mempertimbangkan analisis rantai nilai.

Dari sini, bisnisi ke arah lebih tinggi 3.0, yang menghitung dan menjadikan ekosistem sebagai penyumbang kesinambungan bisnis. Saingan HBR, Standford Social Innovation Review, pada 2018, memublikasikan The Next Phase of Business Sustainability.

Tulisan ini mengurai riset, 88 persen mahasiswa bisnis berpendapat mempelajari segmen sosial dan lingkungan adalah prioritas, 67 persen bertekad menjadikan aspek lingkungan sebagai bagian integral dari pekerjaan mereka mendatang.

 
Bisnis tidak akan sustainable kecuali mengintegrasikan kinerja ekonomi atau finansial (profit), berempati sosial kepada masyarakat (people), dan berwawasan lingkungan (planet).
 
 

Tulisan ini membagi dua tahap sustainability. Pertama, Sustainable Business 1.0 di mana bisnis mencoba mengintegrasikan tuntutan sustainability dan strategi korporat, untuk meningkatkan positioning di hadapan kompetitornya.

Tahap selanjutnya, Sustainability Business 2.0 adalah transformasi pasar. Bila tahap pertama berpusat pada strategi mengurangi dampak ketidakberkelanjutan, yang kedua bertumpu pada penciptaan kesinambungan itu sendiri.

Pada dasarnya, bahasan Harvard dan Standford itu sama. Yang sering dirujuk untuk menilai apakah bisnis itu sustainable adalah teori John Elkington (1997).

Bisnis tidak akan sustainable kecuali mengintegrasikan kinerja ekonomi atau finansial (profit), berempati sosial kepada masyarakat (people), dan berwawasan lingkungan (planet) atau dikenal dengan triple bottom line (TBL).

Teori ini dari kacamata Alquran bukan barang baru. Isu keberlanjutan, disajikan Alquran terkait kisah Qarun. Qarun bukan sekadar pelaku bisnis biasa, ia konglomerat. Namun, bisnisnya tidak berkelanjutan.

Bahkan, bukan saja hartanya raib, dia turut musnah ditelan bumi. Namun, jarang atau mungkin belum ada yang mengaitkan kisah ini dengan konteks bisnis modern. Kalau diperhatikan, teori Elkington dirangkum cukup dalam satu ayat.

 
Belum disebut beriman dan percaya hari akhir kalau kita kenyang, tetangga kelaparan.
 
 

Surat al-Qashas (28) ayat 77 terjemahan Kemenag sebagai berikut: “Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.”

Kalimat “janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia” adalah frasa yang identik dengan perintah bagi manusia untuk menopang hidupnya dengan bisnis menguntungkan (profit). Kenapa demikian?

Sebab, kalau bisnis itu rugi, frasa berikutnya “berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu” agak sulit ditunaikan. Memang, dengan senyum dan tak cemberut, kata Nabi Muhammad SAW, sudah kategori berbuat baik.

Namun, subtansi berbuat baik yang diinginkan Nabi lebih dari itu. Belum disebut beriman dan percaya hari akhir kalau kita kenyang, tetangga kelaparan. Kita tak bisa membantu sesama, berinfak, sedekah, dan zakat kalau kita sendiri tidak mandiri secara ekonomi.

Frasa “berbuat baik” ini dalam bahasa TBL adalah elemen kedua: people, bahwa bisnis harus memiliki kepedulian sosial. Terakhir, frasa “janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi” adalah cerminan teori TBL ketiga, planet.

Hal menarik dari ayat Alquran di atas, ada bagian yang belum “dijamah” Elkington.

 
Bisnis belum lengkap kalau belum memasukkan unsur prophet, semua nilai yang diajarkan Nabi Muhammad SAW sebagai sandaran etis dalam bisnis. 
 
 

Penjelasan TBL mengabaikan frasa ayat yang mengawali 3P (profit, people, planet). Perhatikan sekali lagi surat 28: 77 diawali dengan kalimat, “Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu.”

Bagaimana mencari dan mendapatkan kebahagian akhirat? Tidak ada jalan lain selain mengikuti contoh Nabi (prophet). Dalam konteks kekinian, hemat penulis, Alquran mengajarkan seri keberlanjutan lebih maju, yang boleh disebut Sustainability 4.0.

Bisnis belum lengkap kalau belum memasukkan unsur prophet, semua nilai yang diajarkan Nabi Muhammad SAW sebagai sandaran etis dalam bisnis. Nilai ini mestinya menjadi payung bagi aplikasi 3P lainnya.

Bila ini dikaitkan dengan bisnis bank syariah yang sedari awalnya memang bertekad menjalankan bisnis berdasarkan prinsip yang menjadi tujuan dasar hukum Islam, apakah berarti jaminan mereka sudah sustainable?

Sayangnya, alih-alih sudah memenuhi prinsip keberlanjutan, bank syariah dipandang masih belum maksimal mengemban amanah ini. Prof Mehmet Asutay (2007) dari Durham University, UK, malah menyebut bank syariah mengalami kegagalan sosial.

Dalam presentasi di 32nd SASE Annual Conference, University of Amsterdam, 18-21 Juli 2020, Hamidi dan Worthington, menyampaikan konsep quadruple bottom line, perpanjangan TBL dengan memasukkan prophet sebagai dimensi baru.

Riset mereka menunjukkan hasil yang senada Asutay, kinerja 10 bank syariah global, capaiannya untuk dimensi planet dan people baru 38 persen dan 41 persen. Dengan kata lain, belum sustainable.

Ini sepertinya menjadi tantangan pegiat ekonomi syariah agar bisnis bank syariah ke depan lebih sustainable

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat