Komunitas Muslim di Bali terus mendukung kehidupan yang toleran dan rukun dengan berbagai elemen masyarakat setempat bahkan sejak zaman kerajaan-kerajaan | DOK REP FITRIA ANDAYANI

Tema Utama

Budaya Islam di Pulau Dewata

Kerukunan antara umat Hindu dan Islam di Bali sudah terbentuk sejak berabad silam.

OLEH MUHYIDDIN

Data Kementerian Agama (Kemenag) tahun 2018 menunjukkan, Bali merupakan provinsi dengan populasi umat Hindu terbesar di Indonesia. Dari total 4.236.983 orang penduduk Bali, sebanyak 3.682.484 orang di antaranya memeluk Hindu. Sementara itu, Islam menjadi agama kedua yang dipeluk sebagian besar warga setempat, yakni sebanyak 425.981 orang.

Akademisi Universitas Udayana Rochtri Agung Bawono mengatakan, interaksi sosial-budaya antara masyarakat Hindu dan Islam di Bali sudah terjalin sejak zaman kerajaan-kerajaan. Masing-masing komunitas umumnya dapat saling menghargai perbedaan. Bahkan, pada masa kolonial mereka menyatukan kekuatan untuk berjuang mengusir penjajah.

Dahulu, lanjut Rochtri, masyarakat Hindu di Pulau Dewata menyebut komunitas Muslim sebagai nyama selam. Artinya, 'saudara Islam'. Panggilan itu menyiratkan rasa kekeluargaan di antara dua umat yang berbeda keyakinan.

Bahkan, menurut Indriana Kartini dalam artikelnya, Dinamika Kehidupan Minoritas Muslim di Bali (2011), komunitas Islam di Gelgel yang hidup di tengah masyarakat Hindu kadang kala menyebut hari raya Islam sesuai dengan nama hari raya Hindu. Beberapa tradisi keagamaan Islam juga dipengaruhi unsur- unsur Hindu.

Sebagai contoh, lanjut Kartini, perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW yang dilakukan komunitas Muslim di Desa Pegayaman, Kabupaten Buleleng. Sejak 12 Rabiul Awal, acara selametan itu dimulai dengan pembuatan sokok base rangkaian daun sirih, kembang, dan buah-buahan.

 
Masyarakat Hindu di Pulau Dewata menyebut komunitas Muslim sebagai nyama selam. Artinya, 'saudara Islam'.
 
 

 

Kartini menjelaskan, sokok base itu menyerupai pajegan yang dibuat masyarakat Hindu Bali saat upacara hari-hari tertentu. Puluhan sokok base lantas dibawa ke masjid dan dideretkan di tengah-tengah lingkaran orang yang membacakan barzanji, yakni karya sastra Arab klasik tentang riwayat kehidupan dan puji-pujian kepada Rasulullah SAW.

Pada 13 Rabiul Awal, warga Muslim setempat membuat sokok taluh untuk merayakan muludan taluh (maulid telur). Selain itu, grodok maulud yang berisi rangkaian serupa sokok base juga dibuat. Perbedaannya, grodok itu dilengkapi telur dan buah-buahan yang disusun pada batang pohon pisang.

Sebelum dibawa ke masjid, seluruh ornamen itu diarak keliling desa. Arak-arakan disertai iringan musik rebana dan atraksi pencak silat. Sesampainya di masjid, doa dan zikir bersama dipanjatkan.

Selanjutnya, seorang imam membawakan ceramah keagamaan. Pada akhir prosesi, sokok base dan sokok taluh dibongkar. Orang-orang memperebutkan isinya karena dipercaya mengandung berkah doa sekaligus penolak bala.

Rochtri mengatakan, bentuk-bentuk perjumpaan itu menandakan harmoni antara dua umat beragama. Ia pun menyayangkan bila saat ini ada tendensi yang menganggap kaum Muslimin sebagai pendatang di Bali yang enggan melebur. Kecenderungan demikian tampak dari tersisihnya panggilan 'nyama selam' menjadi sekadar nak Jawa, yakni 'pendatang dari Jawa'. Antropolog itu menduga, hal itu terjadi sebagai imbas dari konflik politik, alih-alih sosial, apalagi agama.

"Sekarang beberapa tokoh politik gencar menyebut (komunitas Muslim di Bali) sebagai 'nak Jawa'. Indikasinya lebih mengarah kepada orang luar. Padahal, pada masa lalu mereka menggunakan istilah 'nyama selam'," kata Rochtri dalam diskusi virtual bertema Sejarah Islam dan Hubungannya dengan Masyarakat Hindu Bali yang diadakan baru-baru ini.

Penyebutan orang-orang Islam di Bali sebagai 'nak Jawa' secara definisi juga kurang tepat. Sebab, komunitas Muslim di sana bukan hanya berasal dari Jawa, melainkan juga Bugis (Sulawesi Selatan), Sasak (Nusa Tenggara Barat), ataupun Melayu. Mereka merantau dari daerah masing-masing ke Pulau Dewata dengan berbagai tujuan, tetapi utamanya dagang.

Begitu menetap di sana, kaum Muslimin kemudian berbaur dengan masyarakat lokal untuk terus menjaga harmoni, kerukunan, dan toleransi. Pada zaman kerajaan, sebagian mereka juga dekat dengan lingkungan istana atau puri sehingga dianggap sebagai bagian dari kalangan bangsawan. Hingga kini, keberadaan komunitas Islam atau 'nyama selam' dapat ditemukan di beberapa lokasi, seperti Kampung Loloan (Jembrana), Desa Pegayaman (Buleleng), Kecicang (Karangasem), Yeh Sumbul, Kampung Nyuling, Kepaon (Den pasar), dan Kampung Jawa (Denpasar).

photo
Makam Gusti Ayu Made Rai atau Raden Ayu Siti Khotijah terletak di Desa Pemecutan, Denpasar Barat, Bali. Uniknya, makam tersebut menjadi satu-satunya yang bercorak Islam di tengah kompleks kuburan Hindu. - (DOK Pemerintah Denpasar Kota)

Akulturasi

Jejak akulturasi budaya antara Islam dan Hindu juga tampak dari khazanah kuliner setempat. Rochtri mengatakan, lawar merupakan salah satu jenis makanan tradisional yang sangat populer di tengah masyarakat Bali. Sajian ini terbuat dari daging babi yang biasanya dihidangkan dalam acara pesta atau upacara keagamaan Hindu.

Bagaimanapun, ada variasi turunan dari masakan itu, yakni lawar selam. Berbeda dengan racikan biasa, daging babi digantikan oleh daging ayam atau bebek yang disembelih secara halal. Sebab, sajian tersebut disediakan khusus untuk orang-orang Islam (selam) yang menghadiri acara setempat. Hal itu menandakan kuatnya semangat untuk menghargai perbedaan yang ditunjukkan penduduk lokal.

"Jadi, lawar selam ini memang boleh dimakan komunitas Muslim karena tidak menggunakan olahan daging babi," ujar Rohctri.

Selain lawar selam, ada pula lawar penyu. Masakan itu mulanya dibawa komunitas pelaut Muslim Bugis yang dekat dengan raja Badung. Kalangan istana Badung memuji sajian itu karena lezat. Lama-kelamaan, masyarakat setempat mengenal dan dapat meracik sendiri makanan tersebut.

Rochtri mengatakan, lawar penyu sempat sangat populer di Bali selatan pada era 1980-an atau 1990-an. Bagaimanapun, kini negara telah melindungi keberadaan penyu sebagai salah satu binatang langka. Maka dari itu, masakan lawar penyu pun jarang beredar lagi.

Jejak perjumpaan antara unsur-unsur Islam dan Hindu di Bali juga terdapat pada bidang arsitektur. Kartini mengatakan, Masjid Jami Singaraja menampilkan pola ornamen Bali dan simbol swastika pada pintu serta mihrabnya yang berpola seperti pelinggih Bathara. Di Desa Gelgel, hingga kini masjid setempat tidak beratapkan kubah, melainkan bentuk tumpang, seperti bangunan-bangunan suci umat Hindu.

Akulturasi tak hanya terjadi pada situs kaum Muslimin, melainkan juga para pemeluk Hindu. Sebuah komplek pura di Desa Bunutin, Kabupaten Bangli, memiliki tempat berbentuk mushala yang disebut sebagai pura langgar.

 
Sebuah komplek pura di Desa Bunutin, Kabupaten Bangli, memiliki tempat berbentuk mushala yang disebut sebagai pura langgar.
 
 

 

Lokasi tersebut dipercaya keluarga Hindu sebagai tempat pemujaan roh leluhur nenek moyang yang dianggap beragama Islam. Maka dari itu, upacara-upacara keagamaan di sana juga memperhatikan etika toleransi terhadap ajaran Islam, semisal larangan untuk menyuguhkan daging babi.

Pura langgar dibangun untuk menghormati bekas raja Blambangan yang menetap di Bunutin dan menikah dengan keluarga raja Gelgel. Masyarakat Bali pada zaman runtuhnya Majapahit beranggapan, setiap pendatang asal Jawa pasti telah memeluk Islam. Alhasil, keturunan para bangsawan dari Blambangan dipercaya beragama Islam. Roh mereka dipuja dengan cara-cara Hindu, tetapi juga menunjukkan toleransi terhadap unsur-unsur ajaran Islam.

Rohctri menambahkan contoh lainnya, yakni Sanggah Makkah atau Pura Makkah di Banjar Binoh, Denpasar Utara. Orang-orang Hindu diharuskan untuk menghadap ke arah barat pada sesi akhir sembahyangnya di sana. Arah itu menyimbolkan kiblat umat Islam, yakni Ka'bah di Makkah. Hal itu dilakukan sebagai bentuk terima kasih mereka kepada para pendahulu yang diyakini beragama Islam dan telah ikut membela kerajaan-kerajaan Hindu di Pulau Dewata.

"Jadi, arah mereka (bersembahyang) mengikuti ke barat juga. Padahal, biasanya sanggah itu mengarah ke gunung," ujar Rochtri.

 
Arah mereka (bersembahyang) mengikuti ke barat juga. Padahal, biasanya sanggah itu mengarah ke gunung.
 
 

 

Selain Sanggah Makkah, ada juga tempat-tempat pemujaan umat Hindu lainnya yang mendapatkan sentuhan Islam. Misalnya, Sanggah Umar dan Sanggah Melayu. Nama keduanya erat berkaitan dengan unsur-unsur budaya dan sejarah Islam.

Beberapa manuskrip kuno mengabadikan persentuhan antara elemen-elemen Islam dan Hindu di Bali. Lontar Siti Badriyah yang terdapat di Jembrana mengungkapkan, para pendatang asal Bugis terkenal pandai mengobati berbagai macam penyakit.

Kaum Muslimin itu tidak hanya menyembuhkan sesamanya, tetapi juga masyarakat Bali yang berlainan agama dengan mereka. Penduduk Hindu pada masa itu sangat mempercayai keampuhan para tabib Muslim dari Sulawesi Selatan tersebut. Tempat permukiman komunitas Muslim Bugis di daerah sekitar Sungai Jogading kerap disebut loloan. Panggilan itu berasal dari istilah lolo, yang berarti 'jamu' atau 'obat' dalam bahasa Bali.

Dosen Universitas Udayana itu mengatakan, Lontar Usada yang merupakan rujukan metode pengobatan ala Hindu juga menyerap kebudayaan Islam. Di dalamnya, terdapat istilah-istilah yang diserap dari bahasa Arab yang digunakan sebagai mantra atau--dalam istilah Islam--doa. Bahkan, sambung dia, ada bacaan basmalah pada bagian pembukaannya yang ditulis dengan aksara Bali.

"Kemudian, ada juga istilah-istilah penyebutan Allah dan Nabi Muhammad SAW. Itu sangat menarik untuk dikaji," ujar Rochtri.

 
Begitu menetap di sana, kaum Muslimin kemudian berbaur dengan masyarakat lokal untuk terus menjaga harmoni.
 
 

 

Nyama Selam dan Hidupnya Toleransi

Sejak abad ke-17, komunitas Muslimin di Bali cenderung berkiprah di sektor perdagangan. Indriana Kartini (2011) menuturkan, mereka umumnya adalah para pelaut Bugis yang disebut penduduk lokal sebagai wong sunantara atau wong nusantara. Demi menghindari kejaran kompeni, sejumlah bangsawan Muslim meninggalkan Sulawesi dan akhirnya sampai di Badung, Buleleng, dan Jembrana. Ketiga daerah itu hingga kini memiliki komunitas pemeluk Islam terbanyak di Pulau Dewata.

Raja-raja di Bali memberikan kebebasan bagi umat Islam untuk menjalankan ibadah. Salah satu dukungan kaum puri ialah memberikan tanah kepada komunitas Muslimin. Alhasil, semua kampung yang kini dihuni umat Islam di Bali awalnya berasal dari tanah puri yang diberikan cuma-cuma.

"Diberikan tanah karena mereka dianggap sebagai nyama selam atau saudara Islam itu tadi yang perdagangannya turut memajukan perekonomian Bali," ujar akademisi tersebut kepada Republika, beberapa waktu lalu.

Raja-raja Hindu di Pulau Dewata kala itu menghormati keberadaan komunitas Muslimin. Di Denpasar, salah satu permukiman yang dihuni umat Islam ialah Kampung Kepaon. Nama desa itu berasal dari paon, yang berarti 'dapur'. Rochtri menjelaskan, pada zaman dahulu masyarakat setempat ikut berkontribusi dalam upacara besar yang menghadirkan kalangan elite puri Bali. Warga lokal diberi tugas khusus, yakni membuat masakan bagi hadirin, termasuk yang beragama Islam.

"Raja ini sangat menghormati komunitas Muslim yang datang sebagai tamu mereka. Sehingga ketika tamu itu adalah dari umat Islam, akan dihidangkan makanan-makanan halal," ujarnya.

 
Raja ini sangat menghormati komunitas Muslim yang datang sebagai tamu mereka.
 
 

 

Ada pula kisah Gusti Ayu Made Rai atau juga disebut Raden Ayu Siti Khotijah. Makamnya yang terletak di Desa Pemecutan, Denpasar Barat, cukup unik karena menjadi satu-satunya yang bercorak Islam di tengah kompleks kuburan Hindu.

Rochtri mengatakan, Gusti Ayu Made Rai merupakan seorang ningrat Bali yang saat masih gadis pernah mengidap sakit. Ayahnya, raja Pamecutan, berjanji akan menikahkan putrinya dengan siapa pun pemuda yang dapat menyembuhkannya. Seorang pemuda ningrat asal Madura kemudian berhasil memulihkan keadaan sang putri.

Raja tetap memenuhi janjinya meskipun dirinya tahu lelaki muda itu beragama Islam. Seusai menikah, Gusti Ayu berganti nama jadi Raden Ayu Siti Khotijah. Ia sempat diboyong ke istana di Madura. Seusai menikah, Gusti Ayu berganti nama jadi Raden Ayu Siti Khotijah. Ia sempat diboyong ke istana di Madura.

 
Seusai menikah, Gusti Ayu berganti nama jadi Raden Ayu Siti Khotijah. Ia sempat diboyong ke istana di Madura.
 
 

Suatu ketika, ia kembali ke puri di Pamecutan. Orang-orang tidak tahu bahwa perempuan itu kini telah memeluk Islam. Saat sedang shalat, dirinya dianggap mengamalkan ilmu hitam. Seorang pengawal atas perintah raja menusuk Siti Khotijah hingga meninggal.

"Hingga kini, pengelola makam Siti Khotijah berasal dari keluarga Hindu. Sehingga ketika kita (Muslim) berkunjung ke sana, nanti kita akan dilihat sebagai saudara, nyama selam. Ini menarik sekali," kata dia.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat