Seorang guru memberikan pelajaran jarak jauh kepada siswa menggunakan radio handy talky (HT) di SD Negeri Mojo, Pasar Kliwon, Solo, Jawa Tengah, Senin (24/8). | MOHAMMAD AYUDHA/ANTARA FOTO

Opini

Semangat Guru Mendidik

Krisis ini membutuhkan guru dengan kepedulian dan kasih yang lekat pada anak-anak.

ANGGI AFRIANSYAH, Peneliti Sosiologi Pendidikan LIPI

Para guru dihadapkan pada tantangan luar biasa saat pandemi. Lapis tantangannya, bergantung pada kapital yang mereka miliki.

Kapital ini dimaknai sebagai sumber daya yang mereka miliki, baik dari segi teknikal, seperti gawai, akses internet, dan kuota yang cukup, maupun yang bersifat substansial, seperti kepedulian dan tanggung jawab terhadap pendidikan anak-anak.

Policy Brief Education During Covid-19 and Beyond yang dirilis PBB (2020) menyebutkan, sebagian besar guru di seluruh dunia tidak dipersiapkan untuk beradaptasi dengan situasi pandemi, yang menuntut berbagai metode pembelajaran baru.

 
Guru memang dengan mudah dijadikan sasaran tembak kegagalan pendidikan, baik sebelum maupun saat pandemi. 
 
 

Pembelajaran jarak jauh yang mengandalkan internet, selain membutuhkan internet juga keterampilan pengoperasian TIK. Laporan ini pun menunjukkan, posisi rentan bagi para guru kontrak. Mereka rentan kehilangan gaji dan pekerjaan.

Guru memang dengan mudah dijadikan sasaran tembak kegagalan pendidikan, baik sebelum maupun saat pandemi. Saat ini, keluhan terhadap kinerja guru begitu banyak diungkapkan. Bahkan, ada yang menuduh guru lebih mudah bekerja saat pandemi.

Sebab, mereka hanya memberi tugas bagi anak lalu bebannya berpindah ke orang tua. Padahal, yang terjadi tak sesederhana itu. Sebab, guru justru memiliki beban berlipat. Mereka mencari strategi agar anak-anak bisa menerima pelajaran dengan lebih sederhana.

Bahkan, di berbagai pemberitaan, guru-guru di berbagai daerah yang memiliki keterbatasan akses, harus mendatangi anak-anak ke rumah. Tentu berisiko, tetapi mereka tetap melakukannya demi pemenuhan hak anak.

Sebagai contoh guru honorer, dengan keterbatasannya, mereka mencari nafkah tambahan agar tetap bisa mengajar anak-anak.

Meski aturan pemerintah tentang penggunaan Dana BOS memungkinkan bagi penyediaan kuota bagi guru dan siswa, pada faktanya tidak semua guru honorer otomatis menerima anggaran untuk kuota itu.  

 
Tantangan terbesar pembelajaran daring adalah membangun interaksi sosial dan karakter anak. 
 
 

Agar mendapatkan uang untuk mencukupi kehidupan dan bisa mengajar anak-anak, beragam cara dilakukan. Seorang teman guru bercerita, ia harus berjualan via daring untuk mencukupi kehidupannya.

Guru-guru yang memiliki akses memadai, dukungan sekolah, dan orang tua pun memiliki persoalan. Sebab, mereka dituntut menghadirkan metode pembelajaran interaktif, kreatif, menyenangkan, dan menjadikan anak-anak aktif.

Ini jelas bukan perkara mudah. Mengajak anak-anak aktif, sementara mereka terbatasi oleh layar. Semenarik apa pun guru mengajar melalui layar, jelas tidak tergantikan oleh interaksi tatap muka langsung di ruang kelas.

Tantangan terbesar pembelajaran daring adalah membangun interaksi sosial dan karakter anak. Membangun minat anak belajar dan menyimak guru tidaklah mudah. Mengajar anak usia dini membutuhkan keterampilan khusus.

Jika orang dewasa saja mudah teralihkan saat melakukan pertemuan daring, anak-anak kecil yang secara natur memang lebih aktif dan memerlukan ruang untuk bergerak, sangat gamblang sulit untuk duduk tenang selama proses belajar. 

Saling belajar

Kami belajar banyak dari dua guru yang mengajar anak kami. Sistem pembelajaran interaktif jarak jauh yang dilaksanakan di sekolah, membuat setiap hari anak kami menatap layar selama satu jam setengah.

Dalam lima hari, aktivitasnya beragam mulai dari mengenali emosi, mengenal huruf dan angka, membacakan cerita, aktivitas fisik, menggambar, dan lainnya. Seperti halnya pertemuan tatap muka, anak-anak dibuat bergantian menjadi pemimpin ketika berdoa.

 
Situasi krisis ini membutuhkan guru-guru dengan kepedulian dan kasih yang lekat pada anak-anak. 
 
 

Anak-anak tetap diajak berani memimpin dan bicara di depan teman-temannya. Mengajak anak-anak tetap bersemangat dengan pola pembelajaran dan materi yang beragam, bukan hal mudah. Anak-anak usia lima tahun memiliki mood yang mudah berubah.

Mereka pun memerlukan asistensi memadai dari orang dewasa di rumah. Orang dewasa pun harus aktif menemani anak-anak usia dini belajar. Problem aktual ketika orang tua harus bekerja sehingga pendampingan tidak optimal.

Adaptif

Situasi kini, membutuhkan adaptasi cepat dari berbagai pihak. Bagi guru, harus cepat membaca arah perubahan. Hal mendasar yang patut menjadi perhatian guru adalah bagaimana secara cermat mendiagnosis kondisi siswa.  

Siapa mereka, asal keluarga, bagaimana kondisi mereka di rumah. Diagnosis ini menjadi penting agar guru tidak gebyah uyah dalam menerapkan kegiatan pembelajaran. Diagnosis ini perlu dilakukan sekolah kemudian ditindaklanjuti guru.

Tanpa diagnosis awal, akan banyak siswa berguguran dan tidak dapat melaksanakan pembelajaran efektif. Kecermatan guru dalam memetakan kondisi siswa begitu urgen agar pembelajaran lebih optimal.

Situasi krisis ini membutuhkan guru-guru dengan kepedulian dan kasih yang lekat pada anak-anak. Ruang komunikasi dengan orang tua harus dibuka lebih intensif. Jadi, problem yang dihadapi dapat diurai bersama.

Kolaborasi berbagai pihak penting agar pendidikan tetap berjalan. Tanpa perhatian ekstra pemerintah, pendidikan pada masa pandemi akan semakin meminggirkan guru honorer, juga siswa yang marginal secara ekonomi.

Stamina guru dalam menjaga api semangatnya untuk mengajar anak-anak tentu sangat diharapkan. Ketangguhan para guru meskipun di tengah keterbatasan, adalah obor penerang bagi pendidikan di negeri ini. 

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat