Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Sedikit Berpesta, Banyak Berprestasi

Jangan sampai pintu yang seharusnya ditutup, dibuka hanya karena ingin berpesta terlalu cepat

Oleh ASMA NADIA

OLEH ASMA NADIA

Ada banyak hal menarik dari perhelatan Liga Champions musim ini. Di laga final, dua pelatih asal Jerman bertemu. Thomas Tuchel pelatih PSG dan Hansi Flick pelatih Bayern Muenchen.

Namun, ini bukan pertama kalinya. Derbi pelatih Jerman di laga final Liga Champions pernah terjadi pada 2013 ketika sesama tim Bundesliga, Bayern versus Borussia Dortmund berhadapan.

Namun, musim ini lebih istimewa buat Jerman karena satu lagi pelatih Jerman, Juergen Klopp, berhasil membawa Liverpool menjadi juara Liga Inggris setelah penantian panjang selama 30 tahun.

Dengan keberhasilan ini, tidak berlebihan jika dikatakan, tahun ini eranya supremasi Jerman di liga paling bergengsi Eropa. Satu lagi yang istimewa dari liga musim ini adalah penyelenggaraan kompetisi yang berlangsung pada era pandemi.

Tidak ada penonton dan ketatnya protokol kesehatan diberlakukan. Dengan kesunyian stadion sekalipun, setiap tim berjuang keras melalui pertandingan demi pertandingan tanpa hilang semangat.

Jika mau ditambah catatan istimewa lainnya, perlu diingat, Bayern menjadi satu-satunya tim dalam sejarah Liga Champions yang berhasil keluar sebagai juara dengan rasio kemenangan 100 persen. Klub asal Jerman tersebut berhasil memetik setiap kemenangan pada 11 pertandingan mereka di Liga Champions musim ini.

Tidak sekadar menang, jumlah gol yang diciptakan selama laga juga spektakuler, terutama saat melumat Barcelona dengan kemenangan telak 8-2 di perempat final. Bayern akhirnya menutup musim ini dengan treble winner, setelah menjadi juara Bundesliga dan DFB-Pokal.

 
Jangan sampai terjadi pintu-pintu yang seharusnya masih ditutup, kemudian dibuka hanya semata karena kita ingin berpesta terlalu cepat.
 
 

Walaupun demikian, di antara semua catatan di atas, yang paling menarik adalah bagaimana Bayern sama sekali tidak merayakan apa pun sebelum benar-benar mencapai kemenangan. Saat tim lain berpesta begitu berhasil masuk babak penyisihan, Bayern fokus berlatih.

Saat tim lain bergembira mencapai perempat final atau final, Bayern tetap low profile. Mereka sadar, sehebat apa pun rekor menang 10 kali berturut-turut pun tidak menjamin mereka menjadi juara. Selama gelar belum dikantongi maka tak ada pesta yang diperlukan.

Jerih payah kini terbayarkan. Usaha memang tak pernah mengkhianati hasil. Bayern bukan hanya menobatkan diri sebagai juara, melainkan sekaligus menorehkan catatan menakjubkan. Hal serupa juga dilakukan Liverpool.

Sekalipun sudah digadang akan menang karena memiliki poin di atas tim-tim lain, mereka tetap fokus penuh tanpa merasa sudah boleh membusungkan dada. Terlebih, tahun lalu mereka juga mengalami prestasi gemilang, tapi terjungkal pada pekan terakhir.

Tahun ini, Liverpool benar-benar memasang sikap rendah hati, sekalipun dipuji dan digadang juara. Mereka memutuskan tidak mengadakan perayaan apa pun sebelum benar-benar menuntaskan pertandingan dan keluar sebagai pemenang.

Mental juara seperti ini yang sejatinya, kita butuhkan dari para pemimpin dan tokoh dalam menghadapi pandemi. Jangan bersorak, jangan membusungkan dada, jangan ‘berpesta’ dulu sebelum situasi  benar-benar terkendali.

Kasus terus meroket. Korban terus berjatuhan. Vaksin yang mumpuni belum dalam genggaman. Benar ada hal-hal yang terpaksa kita longgarkan karena pertimbangan tuntutan ekonomi. Namun, ini bentuk keterpaksaan, untuk kemaslahatan.

 
Pendeknya, jangan musuhi cemas dan bergantung cuma pada rasa senang.
 
 

Jangan sampai terjadi pintu-pintu yang seharusnya masih ditutup, kemudian dibuka hanya semata karena kita ingin berpesta terlalu cepat.

Membuka car free day yang sekadar untuk hiburan dan menghilangkan penat, membuka sekolah padahal situasi masih riskan, membuka fasilitas umum dan hiburan yang sebenarnya belum mendesak adalah kelonggaran yang sebaiknya tak dilakukan dulu.

Apalagi, jika di atas kertas saja sudah terbayang kemudharatannya lebih besar dari kemanfaatannya. Namun, hiburan penting, perasaan bahagia mendatangkan imunitas. Kilah sebagian orang. Terkait ini perkenankan saya mengutip respons dari psikiatrik yang sempat saya baca.

Menurut dia, senang tidak berarti imunitas naik dan cemas tidak lantas membuat imunitas buruk. Sebab kenyataannya, tidak sesederhana itu. Cemas pun punya fungsi baik jika pada porsinya, seperti juga perasaan senang.

Pendeknya, jangan musuhi cemas dan bergantung cuma pada rasa senang. Kebijakan dan langkah saat ini, baik dari elemen terkecil masyarakat hingga pucuk pimpinan, harus mengacu pada penegakan berdasarkan yang dibutuhkan walau tak menyenangkan semua.

Sebab berbagai pihak, termasuk segenap rakyat Indonesia, tidak boleh kehilangan fokus dan ikhtiar terbaik untuk menjadi negeri juara. Negeri yang sanggup melewati masa pandemi dengan kepala tegak karena telah melakukan segalanya seterbaik yang kita bisa, termasuk menunda perayaan apa pun, sebelum situasi benar-benar pulih.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat