Perempuan dan Teknologi | Freepik

Inovasi

Wahai Perempuan, Mari Akrabi Teknologi

Pandemi memaksa perempuan menggunakan teknologi dengan baik.

Peran perempuan senantiasa krusial dalam berbagai bidang kehidupan. Namun, kiprah perempuan di industri digital saat ini, nampaknya masih terbatasi.

Teknologi yang sejatinya tak pandang gender, usia, ataupun status sosial, masih kerap lebih identik dengan laki-laki. Pendiri Akadei Berbagi, Ainun Chomsun mengungkapkan, aplikasi digital yang banyak di ponsel pintar masyarakat perempuan di daerah urban saat sebelum pandemi Covid-19 adalah aplikasi untuk menunjang kehidupan sehari-hari, seperti aplikasi transportasi daring, belanja dan chatting

Sementara, untuk perempuan di daerah, kata Ainun, aplikasi yang digunakan hampir sama. Media sosial juga menjadi aplikasi yang paling banyak digunakan. 

Hasil ini diperoleh dari melakukan riset kecil yang ia lakukan. “Rata-rata ibu-ibu di umur 25 ke atas. Pasti kalau lingkungan saya banyakan sih urban,” kata Ainun, saat dihubungi Republika, beberapa waktu lalu.

Di sisi lain, perempuan generasi milenial ke bawah justru agak lebih beragam dalam pemanfaatan gawainya. Mereka mulai menggunakan berbagai aplikasi, misalnya aplikasi untuk film, streaming musik, atau aplikasi untuk editing

Semakin muda, kata Ainun, perhatiannya sedikit berbeda. Menurutnya, saat ini perempuan memang belum mendapatkan kesetaraan dalam teknologi. 

Ini dikarenakan perempuan belum memiliki akses dan pemahaman yang setara dengan laki-laki. Ada bermacam-macam faktor yang menyebabkan kesenjangan ini terjadi. 

Salah satunya, adalah kontruksi sosial yang menganggap dunia teknologi adalah dunianya laki-laki. Perempuan dianggap tidak perlu dekat-dekat dengan gawai karena justru akan membuat pusing. Selain itu, ada pula anggapan bahwa perempuan merasa gagap teknologi (gaptek-Red), Kegagapan ini pun kemudian dianggap sebagai hal yang biasa saja, 

Kendala lainnya adalah memang perempuan dianggap tidak memiliki kemampuan untuk memahami teknologi dengan baik. “Kan sering kali, misalnya belajar tentang teknologi enggak deh, jangan sama ibu-ibu apa perempuan lah, ribet. Kayak orang tuh belum-belum sudah underestimate,” kata Ainun.

Ia melanjutkan, akses perempuan yang terbatas di dunia teknologi juga tak lepas anggapan di lanagan para perempuan sendiri, bahwa menguasai teknologi bukanlah hal yang penting. Padahal teknologi dapat membantu para penggunanya dalam berbagai bidang kehidupan, salah satunya pengembangan diri. 

Hikmah Pandemi

photo
Gawai dan Perempuan - (Pixabay)

Tetapi yang menarik, Ainun menyebutkan, pandemi Covid-19 ini akhirnya memaksa perempuan untuk mau tidak mau harus bisa memahami dan  menggunakan teknologi dengan baik. Ini didorong juga dengan daya adaptasi perempuan yang lebih tinggi daripada laki-laki dalam situasi serba terpaksa.

Saat ini, memang makin banyak perempuan yang menggunakan teknologi untuk berjualan. Kendati demikian, kalau berbicara tentang teknologi secara keseluruhan, tetap jumlahnya lebih banyak laki-laki. “Mereka (perempuan-Red) biasanya ya sudah sebatas jualan saja, tidak mengulik teknologi yang lainnya, misalnya bagaimana menjaga keamanan supaya WhatsAppnya tidak di-hack, segala macam,” kata Ainun menjelaskan.

Di masa pandemi ini, ia juga melihat banyak ibu pusing karena harus mengetahui macam-macam aplikasi konferensi video. Karena, mereka harus mendampingi anak-anaknya belajar di rumah.

Perempuan-perempuan yang belum berkeluarga dan kehilangan pekerjaan, Ainun menambahkan, kemudian mencari kesempatan usaha dan memanfaatkan teknologi. Misalnya, dengan bagaimana menjual jasa atau produknya, memasarkan, membangun komunikasi dengan pasarnya, mengembangkan diri untuk usaha atau meningkatkan kemampuannya dengan belajar daring.

Menurut Ainun, bukan tidak mungkin, pandemi ini membuat akan terjadi peningkatan sih perempuan-perempuan yang mengakses teknologi dengan baik.

Agen Penjernih Informasi

Ketua Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho mengungkapkan dalam konteks kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus, para perempuan Indonesia, kini juga bisa berjuang memerdekakan diri dan keluarganya dari berbagai informasi-informasi bohong. Mulai dari, yang terkait dengan media sosial, ataupenyebaran informasi-informasi digital lainnya. 

Perjuangan tersebut dampaknya akan dinikmati tidak hanya sekarang, namun juga sampai generasi-generasi selanjutnya. Jadi, kata Septiaji, Mafindo juga ingin mengajak para perempuan agar aktif menggunakan perangkat digital, tak hanya untuk hal-hal rekreatif, tetapi mereka juga ikut menjadi agen-agen penjernih informasi di lingkungannya masing-masing.

Contohnya, kalau ada informasi-informasi yang keliru, para perempuan ini belajar bagaimana cara verifikasi. Di Indonesia sudah cukup banyak sekali situs-situs periksa fakta, media daring pun kini sudah membuat kanal-kanal periksa fakta.

“Mereka butuh tahu itu sehingga ketika ada informasi yang keliru sehingga berpotensi menyesatkan atau bahkan mencelakakan di grup, mereka bisa melawannya. Nah, saya rasa itu adalah poin daripada perempuan di era digital ini,” ujar Septiaji.

Sisi lain,  lanjut dia, perempuan dan laki-laki memiliki peluang yang sama untuk terpapar hoaks. Dulu kalangan ibu-ibu terkesan paling suka bergosip. 

Sekarang, laki-laki juga suka melakukan hal serupa kalau mereka berkumpul di grup chat sendiri. “Cuma mereka mungkin gengsian aja kalau misalnya di grup campur gitu ya, tapi kalau kami lihat bapak-bapak juga ada,” katanya.

Hoaks yang dimaksud adalah yang sifatnya terkait dengan kesehatan, Covid-19, atau tentang obat. Sebabnya mungkin karena jiwa keibuan yang ingin melindungi. 

Niat yang sebenarnya peduli, berujung pada membagikan informasi ke seluruh keluarga dan temannya. Namun, itu semua tidak dibarengi dengan verifikasi atau memahami bagaimana mengambil dari sumber yang kuat. 

Dari sana terkadang mereka justru menyebarkan informasi yang salah. Dalam beberapa kasus, bahkan ampai membuat sang penyebar kabar harus berurusan dengan penegak hukum, karena dianggap dapat meresahkan publik.

 
Perempuan kini juga harus belajar bagaimana cara memverifikasi informasi.
 
 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat