Sunarsip | Daan Yahya | Republika

Analisis

Defisit APBN, Pembiayaan Anggaran, dan Investasi Pemerintah

Salah satu penyebab rendahnya hasil monetisasi investasi pemerintah melalui perpajakan adalah banyak aktivitas underground economy.

OLEH SUNARSIP

Pemerintah telah mengajukan nota keuangan dan RAPBN 2021 kepada DPR pada 14 Agustus lalu. Berdasarkan dokumen nota keuangan, pemerintah mengajukan volume (belanja negara) RAPBN 2021 sebesar Rp 2.747,5 triliun atau naik 0,3 persen dibanding APBN 2020 (versi Perpres 72/2020) yang mencapai Rp 2.739,2 triliun.

Sementara, besarnya penerimaan negara yang akan digunakan untuk mendanai APBN 2021 mencapai Rp 1.776,4 triliun atau naik 4,5 persen dibanding penerimaan negara pada APBN 2020 yang mencapai Rp 1.699,9 triliun. Kenaikan penerimaan negara ini terutama berasal dari penerimaan perpajakan yang meningkat 5,5 persen, dari Rp 1.404,5 triliun menjadi Rp 1.481,9 triliun pada RAPBN 2021.

Saya melihat, meskipun nuansa krisis pandemi Covid-19 masih mewarnai postur RAPBN 2021, terdapat optimisme pemerintah bahwa ekonomi pada 2021 akan pulih. Optimisme ini antara lain tecermin dari kenaikan penerimaan perpajakan yang tumbuh lebih besar dibanding kenaikan volume APBN.

Kenaikan penerimaan perpajakan pada 2021 menandakan bahwa pendapatan dari wajib pajak (perseorangan dan dunia usaha) mulai pulih, yang berarti aktivitas ekonomi telah tumbuh kembali. Hanya, target penerimaan perpajakan pada 2021 masih lebih rendah dibanding realisasi pada 2019 yang menandakan kondisi ekonomi belum pulih seperti sebelum Covid-19.

Nuansa optimisme juga terlihat dari besarnya defisit fiskal di RAPBN 2021 yang lebih rendah dibanding pada APBN 2020. Pada RAPBN 2021, defisit APBN yang ditargetkan mencapai Rp 971,2 triliun lebih rendah dibanding APBN 2020 sebesar Rp 1.039,2 triliun. Rendahnya defisit APBN memperlihatkan kebutuhan stimulus fiskal juga lebih rendah sekaligus memperlihatkan pelaku ekonomi (rumah tangga maupun dunia usaha) diperkirakan mulai mampu menjalankan aktivitasnya tanpa terlalu bergantung pada subsidi dan dukungan pemerintah lainnya dalam jumlah besar.

 
Dalam kondisi krisis, melalui kebijakan fiskal, pemerintah melonggarkan fiskal melalui pengurangan perpajakan dan peningkatan belanja subsidi.
 
 

 

Saya akan mengulas lebih fokus pada defisit APBN (fiskal) 2021 yang mencapai Rp 971,2 triliun tersebut untuk menjawab apakah defisit fiskal ini masih memperlihatkan kemampuan kita dalam menjaga kesinambungan fiskal (fiscal sustainability).

Perlu diketahui, selama ini kebijakan fiskal sering kali masih diartikan (terbatas) pada langkah-langkah pemerintah mengarahkan perekonomian melalui APBN, khususnya melalui pos penerimaan dan belanja negara. Dalam kondisi krisis, melalui kebijakan fiskal, pemerintah melonggarkan fiskal melalui pengurangan perpajakan dan peningkatan belanja subsidi. 

Konsekuensinya, defisit APBN meningkat sehingga perlu “dibiayai” melalui apa yang disebut pos “pembiayaan anggaran” yang terletak di bagian paling bawah dalam postur APBN kita.

Ternyata belakangan ini peranan pos pembiayaan anggaran memegang peran penting dalam APBN. Pembiayaan anggaran kini tidak sekadar untuk “membiayai” defisit APBN, tetapi sudah menjadi instrumen dan memainkan peran sendiri, tidak sekadar menjadi pelengkap APBN. Pembahasan terkait dengan pos pembiayaan anggaran ini penting, mengingat sebagian besar dana yang digunakan berasal dari utang.

 
Karena dana investasi pemerintah hampir seluruhnya berasal dari utang, tentu menjadi penting agar investasi yang dilakukan pemerintah harus tepat sasaran.
 
 

Sebagai contoh, pada APBN 2020, defisit APBN mencapai Rp 1.039,2 triliun. Namun, utang (netto) baru yang dianggarkan pemerintah mencapai Rp 1.220,5 triliun atau terdapat kelebihan utang (netto) baru Rp 181,3 triliun. Hal yang sama terjadi pada RAPBN 2021. Defisit APBN-nya mencapai Rp 971,2 triliun, tapi tambahan utang barunya (netto) mencapai Rp 1.142,5 triliun atau terdapat selisih kelebihan utang Rp 171,3 triliun. Pertanyaan: ke mana atau digunakan untuk apa selisih kelebihan pembiayaan anggaran yang berasal dari utang tersebut?

Belum banyak pihak yang memiliki pemahaman terkait penggunaan kelebihan pembiayaan anggaran tersebut. Akibatnya banyak pihak yang hanya perhatian pada besarnya utang tanpa memiliki konteks yang lengkap terkait penggunaan utang.

Perlu diketahui, kelebihan pembiayaan anggaran salah satunya digunakan sebagai investasi pemerintah. Investasi pemerintah tersebut, antara lain, ditempatkan sebagai penyertaan modal negara (PMN) pada BUMN, pinjaman kepada korporasi, investasi pada badan layanan usaha (BLU), dan lain-lain.

Nah, karena dana investasi pemerintah hampir seluruhnya berasal dari utang, tentu menjadi penting agar investasi yang dilakukan pemerintah harus tepat sasaran. Tujuannya agar investasi tersebut menghasilkan return yang memadai untuk dipakai membayar utang. Return investasi yang dimaksud tentunya berbeda dengan konteks investasi di dunia korporasi. Investasi pemerintah tidak bertujuan mencari keuntungan, tapi lebih diarahkan untuk menggerakkan perekonomian.

Bila ekonomi tumbuh tinggi, diharapkan penerimaan negara (terutama perpajakan) juga tinggi. Bila penerimaan perpajakan tinggi, kita bisa mengurangi ketergantungan pada utang, bahkan mengurangi pokok utang.

Dalam sejarahnya, praktis APBN kita belum banyak memiliki pengalaman telah mengurangi pokok utang. Jangankan pokok utangnya, untuk membayar bunga utang saja kita masih mengandalkan utang baru. Kondisi inilah yang memunculkan pertanyaan terkait kesinambungan fiskal kita.

Salah satu alat untuk melihat kesinambungan fiskal adalah keseimbangan primer (primary balance) yang merupakan total penerimaan dikurangi belanja di luar pembayaran bunga utang. Agar posisi utang terjaga dalam keseimbangan jangka panjang, nilai keseimbangan primer perlu dijaga setidaknya mendekati nol.

Jika nilai keseimbangan primer positif, posisi utang akan berkurang seiring waktu. Sebaliknya, jika nilainya negatif, dalam jangka panjang dapat menyebabkan peningkatan utang secara signifikan sehingga dapat membahayakan perekonomian.

 
Salah satu penyebab rendahnya hasil monetisasi investasi pemerintah melalui perpajakan adalah banyak aktivitas underground economy.
 
 

Sayangnya, nilai keseimbangan primer kita sering kali negatif. Sejak 2012, nilai keseimbangan primer belum pernah surplus. Pada 2018, kita sempat muncul optimisme nilai keseimbangan primer akan positif. Sayangnya, realisasinya kembali negatif. Di tengah krisis saat ini, peluang untuk meraih angka keseimbangan primer positif seperti yang pernah terjadi pada 2008–2011 tampaknya berat, setidaknya dalam tiga tahun ke depan.

Salah satu kunci yang perlu diperbaiki untuk meningkatkan kesinambungan fiskal adalah melalui peningkatan upaya monetisasi investasi pemerintah. Pemerintah, misalnya, telah banyak melakukan investasi untuk menopang UMKM. Namun, monetisasinya melalui penerimaan pajak masih minim.

Hal ini tecermin dari rendahnya rasio perpajakan seperti tax coverage ratio maupun tax buoyancy-nya. Rendahnya tax coverage ratio mencerminkan rendahnya jumlah pelaku usaha yang telah dikenakan pajak. Sementara, rendahnya tax buoyancy mencerminkan laju pertumbuhan ekonomi belum diikuti dengan pertumbuhan penerimaan pajak yang sepadan. Kondisi ini pada akhirnya menurunkan rasio penerimaan perpajakan kita terhadap PDB (tax ratio to GDP).

Salah satu penyebab rendahnya hasil monetisasi investasi pemerintah melalui perpajakan adalah banyak aktivitas underground economy, yaitu pelaku usaha yang tidak terdaftar dalam statistik perpajakan. Kini, di tengah perkembangan ekonomi digital, muncul fenomena shadow economy yang berasal dari perdagangan secara elektronik (e-commerce) yang juga sulit dipajaki (hard-to-tax sectors).

Kita berharap bahwa seiring berjalannya waktu dan perbaikan sistem perpajakan, praktik underground economy, dan shadow economy dapat dikurangi agar basis penerimaan perpajakan dapat ditingkatkan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat