Penampakan kapal perang USS Barry yang belakangan kerap berpatroli di Laut Cina Selatan belakangan. | US Navy

Opini

Perang Dingin Baru

Cina sudah diprediksi menjadi rival utama AS pascaruntuhnya Uni Soviet.

LAKSAMANA TNI (PURN) MARSETIO, Guru Besar Universitas Pertahanan dan Kepala Staf TNI AL 2012-2015

Unjuk kekuatan militer AS dan Cina di Laut Cina Selatan (LCS) dan Laut Cina Timur (LCT) dalam beberapa bulan belakangan ini sudah pada tingkat kian mengkhawatirkan.  

Ini tak bisa dilepaskan dari keadaan dalam negeri AS yang dalam waktu dekat menggelar pilpres. Presiden Donald Trump yang berupaya melanggengkan kepresidenannya untuk periode kedua, bisa jadi memainkan isu Cina untuk meraih simpati di dalam negeri.

Mandala operasi yang dipilih adalah LCS yang memendam konflik laten antara Cina dengan Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Taiwan. Mandala lainnya, Selat Taiwan di LCT yang tidak kalah panasnya dengan LCS.

Trump berusaha menekan Cina dengan berbagai cara, dari perang dagang hingga mengirim armada tempur ke LCS, menantang superioritas Cina di sana yang secara sepihak mengeklaim, hampir 90 persen perairan kaya sumber daya mineral itu sebagai miliknya.

Menlu AS Mike Pompeo menolak klaim Cina atas LCS. Di sisi lain, AS mencabut hak istimewa Hong Kong dalam perdagangan bilateral, merespons langkah Cina memberlakukan undang-undang keamanan nasional di sana.

 
Cina sudah diprediksi menjadi rival utama AS pascaruntuhnya Uni Soviet.
 
 

Lebih seru lagi, AS mengirim menteri kesehatannya ke Taiwan yang memicu kemarahan Cina. Banyak peristiwa mengindikasikan ketegangan AS dan Cina, termasuk penutupan Konsulat Jenderal AS di Chengdu dan Konsulat Jenderal Cina di Houston.

Perang dingin AS dan Cina diperlihatkan pada tampilan kekuatan militer di LCS dan Selat Taiwan, mandala paling panas saat ini yang bisa jadi pemantik Perang Dunia III. Bila terjadi, malapetaka besar melanda dunia karena keduanya memiliki senjata nuklir.

Di LCS, AS melaksanakan freedom of navigation and operation, menantang klaim Cina atas LCS. Kapal perang AS berlayar hingga 12 mil dari pulau-pulau yang diduduki Cina.

AS mengerahkan kapal induk USS Ronald Reagan dan USS Nimitz, berlatih hingga dekat daratan Cina, serta mengirim pesawat intai sampai Provinsi Guangdong dan Fujian. Cina tidak diam, lalu berlatih perang di LCS dan Selat Taiwan.

Jet-jet tempur Cina bahkan menerobos wilayah udara Taiwan, entitas negara yang dianggap Cina sebagai provinsinya.

Panggung sandiwara?

Meskipun kondisi di LCS dan LCT menegangkan, AS dan Cina diperkirakan tak gegabah menarik pelatuk senjata.  

Ketegangan di sana, tak lebih sekadar kisah panggung sandiwara politik dalam menunjukkan eksistensi dua negara super power: menggertak sambil menunjuk dada. Sebab, perang sesungguhnya akan meluluhlantakkan kedua negara secara fisik ataupun ekonomi.

Cina sudah diprediksi menjadi rival utama AS pascaruntuhnya Uni Soviet. Semula, AS memperkirakan negara di Timur Tengah musuh berikutnya. Nyatanya, ancaman yang dihadapi hanya bahaya terorisme internasional, bukan kekuatan superioritas sebuah negara.

AS memang mempunyai musuh bebuyutan Iran yang memiliki persenjataan nuklir, tetapi superioritasnya tak menggentarkan AS. Paman Sam lebih memusatkan perhatian pada Cina yang secara ajaib tumbuh pesat di bidang ekonomi.

Pelan tetapi pasti, Cina menjadi negara digdaya, lalu dengan smart power membiayai proyek infrastruktur dalam skema belt on road initiative: menabur uang dan mencari pasar baru di 152 negara Asia, Eropa, Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Latin.

Di sisi lain, Cina membangun militernya. Angkatan Laut Cina, kini menjadi blue water navy dengan kapal induk, fregat, destroyer, dan kapal selam bertenaga nuklir.

Secara perlahan, Cina menggerogoti kekuatan mitra strategis AS, seperti Jepang, Korea Selatan, Australia, dan India sambil terus mendukung Korea Utara “si anak nakal”, yang memiliki rudal tidak presisi, tapi bisa menjangkau Jepang, bahkan Guam.

 
Indonesia kini menjadi mitra dagang terbesar Cina di kawasan Asia Tenggara, tetapi juga mitra dagang AS, harus bisa “menari di atas angin”.
 
 

Cina pun berusaha memecah organisasi negara-negara Asia Tenggara. Menghadapi Rusia, Cina berupaya mendapat keuntungan politis dengan membeli alutsista Rusia, untuk  “membantu” Rusia yang dihukum AS karena campur tangan dalam Pilpres AS pada 2016.

Cina punya pangkalan militer di Djibouti di Afrika, Gwadar di Pakistan, dan Colombo di Sri Lanka, buah belt on road initiative akibat mereka mengalami gagal pembangunannya. Pangkalan untuk pengendalian Samudra Hindia seraya “mengepung” India.

AS berupaya mempertahankan pengaruhnya di Pasifik, dengan mengubah komando tempur US Pacific Command menjadi US Indo-Pacific Command dan merangkul India yang selama ini terabaikan. India memiliki persoalan dengan Cina terkait perbatasan di Himalaya.

Tampaknya, Cina dengan sabar merongrong kedigdayaan AS. Setelah sukses di Hong Kong, berikutnya Taiwan yang menolak “satu negara dua sistem”. Terhadap Australia, sekutu AS, Cina menetapkan tarif tinggi bagi berbagai produk ekspor Australia ke Cina.

Harapannya, Australia terpukul secara ekonomi sebab Cina merupakan mitra dagang terbesar Australia. Tindakan serupa diberikan kepada mitra AS lainnya, Kanada, yang memenjarakan petinggi Huawei atas permintaan AS.

Lalu bagaimana Indonesia? Indonesia kini menjadi mitra dagang terbesar Cina di kawasan Asia Tenggara, tetapi juga mitra dagang AS, harus bisa “menari di atas angin”, berselancar di antara dua arus deras untuk berdiplomasi agar AS dan Cina tak terjebak perang.

Sebab, bila terjadi perang di LCS, sudah pasti Indonesia terdampak: ekonominya semakin sulit dan sama sulitnya untuk mengendalikan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Laut Natuna Utara. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat