
Hikmah
Hijrah dan Kemerdekaan Menuju Perubahan
Kemerdekaan dan hijrah adalah jalan menuju perubahan.
Oleh SHABAHUSSURUR SYAMSI
KH DR SHABAHUSSURUR SYAMSI
Ketua Takmir Masjid Agung Al-Azhar Jakarta/Pegiat dakwah
Tahun baru Islam kerap dirayakan beramai-ramai. Anak-anak dan pemuda berbaris membawa obor pada malam hari. Mereka berjalan kaki mengelilingi kampung. Perjalanan itu mereka lakukan untuk menghayati perjuangan Rasulullah dan para sahabat dulu yang tergabung dalam Kaum Muhajirin berjalan kaki menuju Madinah. Di kota tersebut mereka disambut kaum Anshar yang merupakan umat Islam di kota tersebut.
Tak seperti tahun sebelumnya, perayaan tahun baru Islam kini tak lagi meriah. Tak ada orang membawa obor mengelilingi kampung. Tak ada yang meneriakkan zikir atau mendendangkan hymne keislaman penggugah semangat. Semuanya tetap berada di rumah, mengurangi aktivitas luar rumah.
Pandemi Covid-19 memaksa mereka untuk tetap di rumah. Per hari Rabu, 19 Agustus 2020, terkonfirmasi sebanyak 21.991.954 orang di dunia positif terserang virus Corona, dengan angka kematian terkonfirmasi sebanyak 777.018 orang. Indonesia berada di urutan ke 23 negara yang terjangkit pandemi, sebanyak 144.945 orang, dengan jumlah yang meninggal sebanyak 6.346 orang (Wikipedia).
Memasuki Era Adaptasi Kebiasaan Baru saat Pandemi Covid-19, protokol kesehatan tetap dijaga. Selalu memakai masker. Cuci tangan. Menjaga jarak. Mencegah kerumunan. Kurangi berjama’ah dalam beribadah. Lebih banyak di rumah. Aktifitas kerja berubah. Ekonomi lumpuh. Pengangguran bertambah. Kemiskinan membengkak. Kejahatan meningkat.
Peringatan Tahun Baru Hijriyah 1442 terjadi 3 hari setelah Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 75, 20 Agustus 2020. Di tengah mensyukuri kemerdekaan. Merayakan Kemerdekaan Republik Indonesia dengan segala keterbatasan. Memasuki Era Adaptasi Kebiasaan Baru Covid-19 dengan penuh kesadaran dan kesabaran. Menjaga kesehatan sebagai kebutuhan. Kebersihan fisik diperhatikan. Kesucian hati dan pikiran diutamakan. Ikhtiar dan kreatifitas digalakkan. Taqarrub dan Doa dipanjatkan. Tawakkal dan berserah diri menjadi kekuatan.
Kemerdekaan sejatinya adalah pintu gerbang hijrah. Dari era penjajahan menuju era kebebasan. Mengubah susah jadi senang. Kemerdekaan menjadikan yang sempit jadi lapang. Kemandirian memperkokoh potensi diri mengurangi ketergantungan. Membiarkan negeri terjajah membuat bangsa hilang kekuatan, hilang kekayaan, dan hilang peradaban. Menjadi bangsa kuli hanya bekerja sebagai budak bangsa lain. Kekayaan negeri dieksploitasi untuk kemakmuran bangsa lain. Bangsa sendiri dikorbankan. Pemiskinan terstruktur. Pembodohan massif. Penipuaan berlapis. Merdekakan hati dan pikiran agar Allah memerdekakan dari keterpurukan.
Kemerdekaan bukan saja karena bebas dari belenggu penjajahan, deraan kemiskinan, dan jeratan kebodohan. Kemerdekaan terjadi ketika Allah membuka keberkahan. Ketika hujan menyuburkan tanaman bukan merusaknya. Ketika angin menyegarkan jiwa bukan menyesakkan dada. Ketika panas membakar semangat bukan menghanguskan jihad. Ketika dingin menyejukkan hati bukan membekukan nurani. Ketika kesejahteraan dinikmati tidak hanya oleh segelintir penguasa. Ketika kemakmuran merata bukan hanya untuk orang kaya. Ketika peradaban dibangun dengan keimanan bukan dengan keserakahan. Ketika kekuasaan disebarkan dengan keadaban bukan kesewenang-wenangan.
Menuju kebangkitan

Peringatan tahun baru Islam adalah momentum untuk menggerakkan kembali semangat kebangkitan dan perubahan. Kebangkitan umat Islam abad 15 yang sudah ditancapkan tonggaknya sejak 42 tahun lalu, setidaknya telah membawa hasil positif meskipun di sana sini masih terjadi kekurangan dan anomali.
Betapa kita melihat terjadi kebangkitan umat pada aspek pendidikan, ekonomi, politik, dan budaya. Dapat disaksikan dalam kurun waktu 42 tahun itu maraknya sekolah-sekolah Islam unggulan, sekolah-sekolah Islam terpadu, bahkan sekolah-sekolah negeri, swasta yang tidak berlebelkan Islam pun tidak kalah Islaminya dalam mengatur dunia kependidikannya.
Dalam aspek ekonomi, kita dapat menyaksikan adanya kebangkitan itu. Maraknya model perekonomian syariah dan kajian-kajian tentang ekonomi Islam. Betapa dapat dilihat maraknya bank syariah tumbuh. Transaksi islami yang menjauhkan dari manipulasi dan ribawi semakin diminati.
Bank dan universitas menjadi tertinggal bila tidak membuka praktik atau kajian tentang ekonomi Islam. Bank-bank milik non-Islam pun merasa tertinggal bila tidak membuka divisi syariah. Universitas-universitas umum pun tidak mau ketinggalan membuka fakultas atau jurusan ekonomi Islam.
Pada aspek politik, kita dapat saksikan kebangkitan politik Islam. Etika politik semakin dipraktikan bahkan oleh kelompok atau partai yang tidak Islam sekalipun. Perilaku Islami semakin digemari. Islamfobia semakin berkurang. Ajaran Islam semakin digandrungi, diminati, dikaji bahkan akhirnya dijadikan keyakinan oleh sekian juta masyarakat Barat. Islam menjadi ikon kebangkitan agama abad ini. Semakin Islam dibenci, semakin banyak orang yang mencintai. Kebangkitan itu nyata adanya.
Kebangkitan Islam akan muncul dari kawasan Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Breunei Darussalam). Bila Kawasan Arab pernah memimpin umat Islam (Umaiyyah, Abasiyah: Damaskus dan Baghdad), Afrika (Fathimiyyah: Mesir), Andalusia (Umaiyah), Turki (Usmaniyah), Parsi (Buwaihiyyah), India (Kesultanan Mughal). Tinggal kawasan Asia Tenggara yang belum pernah memimpin umat Islam dalam sejarah Islam.
Kini tiba saatnya Islam bangkit dari Kawasan Asia Tenggara. Hal itu ditandai dengan adanya beberapa indikasi, seperti: 1. Kawasan Asia Tenggara merupakan kawasan yang relatif paling damai di dunia Islam. 2. Kawasan Asia Tenggara memiliki kekayaan alam yang melimpah. 3. Kebangkitan ilmu pengetahuan yang pesat.
Kader2 muda muslim menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi di berbagai lini. Bangkitnya perguruan tinggi Islam yang mumpuni. 4. Gerakan sosial banyak didominasi oleh pemuda muslim. 5. Merebaknya gerakan syariah di bidang ekonomi; halal (makanan, kecantikan, kesehatan, wisata). 6. Ramainya kegiatan keislaman dikalangan generasi milenial. 7. Ramainya halaqah dan pesantren menghafal Alquran.
Kebangkitan untuk perubahan

Kebangkitan itu terjadi karena ada upaya untuk berubah. Upaya untuk menjadi lebih baik. Tidak dapat dipungkiri bahwa Islam adalah agama perubahan. Islam menjadi agent of change (agen perubahan) bagi perilaku, cara pandang, dan cara hidup individu, masyarakat, dan bangsa. Islam datang untuk mengubah tradisi yang telah mendarah mendaging, pikiran yang telah membatu, sikap hidup statis dan jumud, tata nilai yang membelenggu, dan kebiasaan yang mengungkung. Islam datang untuk membebaskan diri, masyarakat, dan bangsa dari belenggu, ikatan, dan kungkungan menuju kepada kondisi dinamis, bergerak dan maju.
Secara keseluruhan, dalam pandangan Islam, perubahan itu terjadi minal kufr ilal iman (dari kekufuran berubah menjadi keimanan), minas syirk ila tauhid (dari kemusyrikan berubah menjadi Tauhid), minazulumati ilan nur (dari gelap menuju terang), dan perubahan minal jahiliyyah ilal ’alimiyyah (dari kebodohan berubah menjadi pengetahuan).
Islam datang untuk merubah kufur menjadi iman. Islam datang untuk menjelaskan hakekat Tuhan, menjelaskan inti makna la ilaha illallah (tiada tuhan selain Allah). Semua manusia diajak untuk meyakini adanya Sang Pencipta, Sang Pemelihara, mentaati apa yang diperintah dan menjauhi segala yang dilarang. Penolakan terhadap keberadaan-Nya berarti kufur, mengingkari, dan membangkang-Nya.
Allah berfirman: ”Dia-lah yang menciptakan kamu Maka di antara kamu ada yang kafir dan di antaramu ada yang mukmin. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. al-Taghâbun/64: 2). Firman yang lain: ”Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang kufur (ingkar) kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. (Q.S. al-Baqarah/2: 256).
Thaghut dimaksudkan sebagai segala bentuk sesembahan selain dari Allah SWT. Islam datang untuk merubah sikap manusia yang dahulu menolak, mengingkari, mengabaikan, bahkan menentang Tuhan, menjadi mengakui, berserah diri, setia, dan mematuhi-Nya. Banyak manusia yang tadinya kufur i'tiqadi (menolak keberadaan Allah), atau kufur ni’mah (mengingkari kenikmatan yang diberikan Allah), bertransformasi menjadi mukmin sejati, mengakui keberadaan-Nya dan mensyukuri nikmat yang diberikan kepadanya.
Islam datang untuk mengubah syirik menjadi tauhid.KH DR SHABAHUSSURUR SYAMSI
Islam datang untuk mengubah syirik menjadi tauhid. Kita paham kondisi masyarakat Quraisy sebelum Islam dengan tradisi kemusyrikannya (paganisme). Selain menyembah Allah, mereka mengakui keberadaan tuhan-tuhan lain yang diyakini dapat mempengaruhi pola hidupnya. Maka mereka membuat patung-patung untuk disembah selain Allah.
Di satu sisi menyembah Allah, tapi di sisi lain memohon kesejahteraan, rizki, dan kesehatan kepada selain Allah. Patung-patung yang disembah itu kemudian berkembang tidak saja berupa batu, tapi bisa juga dalam bentuk tumbuh-tumbuhan, binatang, makanan, kekayaan, dan harta benda. Islam datang untuk menghapuskan bentuk perselingkuhan terhadap Allah itu, dimana disatu sisi mengakui Allah, tapi secara diam-diam mengakui pula tuhan yang lain. Allah berfirman: ”... Apakah Sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping Allah?" Katakanlah: "Aku tidak mengakui." Katakanlah: "Sesungguhnya Dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah)". (Q.S. al-An’âm/6: 19).
Manusia hanya disuruh menyembah kepada Tuhan yang Esa, tidak untuk menyekutukan-Nya: ”... Katakanlah "Sesungguhnya aku hanya diperintah untuk menyembah Allah dan tidak mempersekutukan sesuatupun dengan Dia. Hanya kepada-Nya aku seru (manusia) dan hanya kepada-Nya aku kembali". (Q.S. al-Ra’d/13: 36).
Islam datang untuk merubah gelap menjadi terang. Menjadi obor yang menyinari hati, pikiran dan jiwa sehingga terang bercahaya. Islam adalah cahaya dan Tuhan itu sendiri adalah cahaya di atas segala cahaya (nûr ’alâ nûr). Cahaya Tuhan bersinar begitu terang menembus menyinari siapa saja yang dikehendaki-Nya.
”Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (Q.S. al-Nur/24: 35).
Untuk merubah gelap menjadi terang, Allah menurunkan Alquran sebagai pedoman hidup, siapa yang berpegang teguh kepadanya akan bersinar hidupnya, siapa yang mengabaikan al-Quran akan gelap gulita jiwa dan kehidupannya. ”Alif laam raa. (ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”. (Q.S. Ibrahim/14: 1). Kondisi gelap tentu berbeda dari kondisi terang. Gelap tidak dapat melihat apa-apa, sedangkan suasana terang akan menampakkan segala kebenaran. ”Dan tidak (pula) sama gelap gulita dengan cahaya, dan tidak (pula) sama yang teduh dengan yang panas” (Q.S. Fathir/35: 20-21).
Islam datang untuk mengubah al-jahiliyyah (kebodohan) menjadi al-’alimiyyah (pengetahuan). Masyarakat sebelum Islam disebut sebagai masyarakat jahiliyah, tidak saja dimaknai sebagai masyarakat yang tidak memiliki ilmu pengetahuan, tapi dimaksudkan sebagai masyarakat yang tidak dapat menerapkan ilmu pengetahuan untuk tujuan-tujuan membangun peradaban, membentuk perilaku, dan mempertinggi martabat. Abu Sofyan, pemimpin Quraisy, adalah pemimpin masyarakat jahiliyah itu. Bukanlah dimaksudkan Abu Sofyan tidak mempunyai ilmu dan keahlian. Dia adalah politisi hebat yang berhasil menaklukkan suku-suku Arab lainnya tunduk dalam kekuasaannya. Dia disebut pemimpin Jahiliyyah karena kekuasaan yang dimiliki tidak untuk kesejahteraan dan keadilan masyarakat, melainkan untuk menguasai, mendominasi dan menindas, untuk menginjak dan mengerdilkan mereka.
Maka al-Quran menyebutkan kategori jahiliyyah ke dalam empat aspek: 1). Zann al-Jâhiliyyah (prasangka Jahiliyyah), yaitu ketika seseorang memiliki prasangka buruk kepada Allah, maupun manusia (Q.S. Alî ’Imrân/3: 154). 2). Hukm al-Jâhiliyyah (hukum jahiliyyah), yaitu hukum, undang-undang, peraturan yang dibuat tidak berdasar keadilan dan kepentingan manusia secara umum, tapi untuk kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, atau golongannya (Q.S. al-Mâ’idah/5: 50). 3). Tabarruj al-Jâhiliyyah (busana jahilyah), yaitu ketika seseorang atau masyarakat mengikuti mode yang mengumbar aurat, menampakkan bagian-bagian sensual, untuk membangkitkan nafsu syahwat (Q.S. al-Ahzâb/33: 33). 4). Hamiyyah al-Jahiliyyah (kecongkakan jahiliyah), yaitu ketika seseorang sombong, congkah dan angkuh dengan harta yang dimiliki, ilmu yang diraih, atau kekuasaan yang dalam genggaman (Q.S. al-Fath/48: 26).
Spirit hijrah: kebangkitan dan perubahan

Di dalam Alquran, kata-kata hijrah dengan berbagai derifasinya disebutkan sebanyak 31 kali. Al-Quran terkadang menyebutkankannya untuk menunjuk pada perintah merubah perilaku (meninggalkan perbuatan keji menuju perbuatan baik), seperti yang terdapat dalam Q.S. al-Muddatsir/74: 5: “dan hijrahlah (tinggalkanlah) segala (perbuatan) yang keji”. Hijrah juga dimaknai sebagai pindah (menghindari) dari orang-orang jahat, seperti: “Dan bersabarlah (Muhammad) terhadap apa yang mereka katakan dan hijrahlah (tinggalkanlah) mereka dengan cara yang baik”. (Q.S. al-Muzammil/73: 10). Hijrah juga digunakan guna mendidik isteri ketika mulai tidak taat kepada suami: “Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, hijrahlah (tinggalkanlah) mereka dari tempat tidur”. (Q.S. al-Nisa’/4: 34).
Dalam sejarah Islam awal, hijrah dilakukan oleh Rasulullah Saw. dan para shahabatnya beberapa kali, puncaknya adalah hijrah ke Yatsrib (nama asli sebelum akhirnya diganti oleh Nabi dengan nama al-Madinah al-Munawwarah). Hijrah itu dilakukan tidak sekedar pindah tempat dari Makkah ke Madinah, bahkan tidak sekedar mendapatkan tujuan duniawi, tapi ada tujuan utama yaitu untuk mencari keridhaan Allah dan Rasul-Nya. Itulah maka ada hadits terkenal tentang pentingnya memasang niat pada setiap pekerjaan, termasuk niat dalam berhijrah. Bila hijrah yang dilakukan demi Allah dan dan Rasul-Nya, maka akan mendapatkan pahala kebaikan dari Allah dan Rasul-Nya. Tapi bila tujuannya hanya ingin mendapatkan kesenangan duniawi (dalam hadits itu disebutkan ingin mendapatkan seorang gadis yang hendak dinikahinya), maka dia hanya akan mendapatkan apa yang diinginkannya itu.
Tidak mudah seseorang untuk meninggalkan kampung halamannya menuju kepada suatu tempat yang asing baginya. Berbagai kendala dihadapi ketika sampai di tempat baru itu, keterasingan, serba kekurangan dan keterbatasan. Dia belum mengenal orang-orang disekitarnya, maka harus melakukan adaptasi. Dia tidak memiliki harta benda yang dijadikan tumpuhan hidupnya di tempat baru itu. Dia belum memiliki teman yang banyak sebanyak di tempat asalnya, maka gerakannya serba terbatas dan sempit. Namun sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Nisa’/4: 100 di atas, Allah memberikan jaminan-Nya yang tegas. Buya Hamka menjelaskan, bila saja ada rasa takut dalam perjalanan hijrah, misalnya dari Makkah ke Madinah, maka Allah telah memberikan hamparan bumi tempat berlindung. Sesampai di tempat yang baru itu, kesempitan dan kesusahan akan berubah menjadi kelapangan dan kemudahan. Kalau selama ini dada tertekan, dan siang malam selalu terancam, maka setelah hijrah, di tempat kediaman yang baru itu semuanya akan hilang. (Hamka, Tafsir Al-Azhar, 1984: 225).
Di balik kesusahan itu ada cita-cita tinggi yang hendak diperjuangkan. Maka seorang yang berhijrah berupaya keras untuk dapat bangkit di tengah suasana terasing itu. Dia bekerja keras untuk mendapatkan harta, berkenalaan dengan banyak orang untuk menunjang usahanya itu, belajar dari para ahli untuk mengenali lingkungannya. Nabi Muhammad Saw dan para shahabat pada hari-hari pertama di Madinah juga mengalami hal di atas. Mereka datang tanpa harta benda dan sanak famili. Mereka memulai babak kehidupan baru dalam rangka menyongsong kehidupan yang lebih cerah. Mereka meninggalkan kehidupan di Makkah yang terus menerus berada dalam rongrongan dan penindasan para penguasa Musyrikin Quraisy.
Shuhaib adalah salah seorang shahabat Rasulullah Saw yang terkemuka. Sejak sebelum hijrah, Shuhaib dikenal sebagai shahabat yang kaya raya. Ketika perintah hijrah ke Madinah, dia meninggalkan Makkah dengan seluruh hartanya. Di Madinah dia memulai kehidupan baru, berhasil, bahkan lebih kaya daripada ketika masih di Makkah. Demikian halnya shahabat Rasulullah lainnya, seperti Abdurrahman bin Auf. Seluruh kekayaannya ditinggalkan di Makkah demi mengikuti perintah Rasulullah Saw. Ketika ada kaum Anshar yang mencoba menyantuni, Abdurrahman bin Auf menolak dengan mengatakan: Terimakasih, tunjukkan saja kepadaku, di mana pasar. Aku tahu apa yang akan aku kerjakan”. Tidak beberapa lama, Abdurrahman bin ‘Auf dikenal sebagai pendatang terkaya di Madinah. Demikian halnya dengan para sahabat lain, seumpama Abu Bakar, Umar bin al-Khattab, Usman, Ali, Khalid bin al-Walid, Sa’ad bin Abi Waqqash, Amer bin al-Ash. Mereka dan ribuan sahabat lain menerima janji dan jaminan Allah itu, mendapat perlindungan di muka bumi, mendapatkan kehidupan yang lebih lapang. Dari tangan mereka umat Islam berkembang luas membangun peradaban yang tinggi. (Hamka, Tafsir Al-Azhar, 1984: 225-226).
Kerjasama dan saling tolong menolong

Ketulusan dalam berhijrah semata dalam rangka mencari keridhaan Allah membawa hasil yang nyata. Allah akan memberikan pahala bagi siapa yang sungguh-sungguh dalam menegakkan agama-Nya. Allah tidak akan menelantarkan hambanya yang setia, melakukan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh. Allah berfirman: "Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan".(Q.S. al-Nahl/16: 97). Dan disebutkan dalam ayat lain: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (Q. S. al-Baqarah/2: 218).
Apa yang dirasakan oleh Nabi dan para shahabat selesai melakukan hijrah adalah sebuah karunia dan rahmat Allah (Q.S. al-Baqarah/2: 218, al-Taubah/9: 20). Mereka di Madinah disambut dengan tangan terbuka penuh keceriaan oleh sebagian besar warga Madinah (kaum Anshar). Kaum Anshar membantu Nabi dan para shahabat yang berhijrah (kaum Muhajirin) ke Madinah, segala keperluan yang mereka butuhkan; makanan, minuman, tempat tinggal, bahkan pekerjaan dan usaha yang mereka inginkan untuk menopang hidupnya. Agar di kemudian hari mereka tidak terus menerus hidup dalam pemberian orang.
Kata-kata kaum Anshar kepada kaum Muhajirin: ”Diyruna diyarukum, wa amwaluna amwalukum, wa tijaratuna tijaratukum, wa nahnu jami’an ahlukum wa ashdiqaukum (rumah-rumah kami adalah rumah-rumah kalian, harta benda kami adalah harta benda kalian, perdagangan kami adalah kongsi antara kami dan kalian. Kami semua adalah keluarga dan teman-teman kalian)”.
Kaum Muhajirin dan kaum Anshar saling kasih mengasihi, cinta mencintai, tolong menolong menggalang ukhuwwah dan persatuan kokoh, hingga akhirnya Madinah menjadi negeri yang sejahtera, makmur, penuh keadilan di bawah kepemimpinan Rasulullah Saw. Dari peristiwa hijrah itu, Islam berkembang meluas ke segala penjuru dunia, menembus ras, bangsa, agama dan wilayah. Bahkan dengan semangat hijrah itu pula umat Islam pernah mengalami kejayaan hingga menjadi super power dunia. Dengan semangat hijrah, umat Islam membangun peradaban baru mengungguli peradaban yang ada pada waktu itu. Dengan semangat hijrah pula mereka bangkit melawan segala penindasan, kediktatoran, dan keserakahan.
Oleh karena itu, hijrah tidak saja dipahami sebagai perpindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain, tetapi lebih dari itu, mengandung makna perpindahan dari suatu kondisi kepada kondisi lain, satu situasi kepada situasi lain. Secara keseluruhan, hijrah dapat dilakukan dalam tiga bentuk, yaitu: hijrah jasadiyyah (perpindahan fisikal), hijrah qalbiyyah (perpindahan hati), dan hijrah aqliyyah (perpindahan intelektual).
Hijrah Jasadiyyah adalah perubahan fisikal dari satu tempat ke tempat lain untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, dan lebih diridhai Allah. Hijrah Qalbiyyah adalah upaya mengadakan perubahan sikap hati menuju yang lebih baik; merubah sifat hati yang suka membenci menjadi suka mencintai, mendengki menjadi mengasihi, kikir menjadi dermawan, sombong menjadi bersahaja, malas menjadi bersemangat, tinggi hati menjadi rendah hati, egoistis menjadi altruistis. Hijrah Aqliyyah adalah upaya mengadakan perubahan secara intelektual, dari kebodohan menuju kepandaian, selalu membaca, selalu ingin tahu yang sebelumnya masa bodoh, belajar dan terus belajar memperbaiki kualitas intelektual, berkarya dan terus produktif berkarya membangun peradaban mewujudkan kejayaan Islam.
Hijrah adalah konsep dinamisme dalam Islam, dimana Islam mengajarkan umatnya untuk terus menjadi, berubah, berkembang, dan maju, menjadi lebih baik dari sebelumnya. Islam membenci mereka yang menjadi jumud (statis), mundur, diam, pasif, tidak produktif. Umat Islam seharusnya menjadi umat yang maju, bukan umat yang mundur. Mereka adalah umat yang rajin dan gigih bukan umat yang malas, umat yang penuh pencerahan bukan umat yang berada dalam kegelapan. Semoga tahun baru hijriyah 1442 ini mengingatkan kita tentang pentingnya perubahan untuk kebangkitan dan perubahan menuju kejayaan Islam.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.