
Sastra
Epilog Senja
Cerpen Dody Widianto
Oleh DODY WIDIANTO
Disaksikan sinar senja yang berjatuhan di ujung dedaunan, pohon-pohon mulai tumbang. Ujung ranting-ranting mengenai pinggir pematang sawah menutupi jernihnya aliran air. Akar-akarnya terjungkat ke atas, seolah ingin berteriak dan melepaskan diri dari genggaman gumpalan tanah yang menggelayut di tubuhnya. Truk-truk besar menderu membawa tanah berbatu, menguruk sawah-sawah itu. Ada yang ingin Sibar teriakkan dari sorot mata yang pedih. Namun, ia tak mampu. Tubuhnya terlalu kecil dan akan dianggap sepele di mata mereka.
Ketika Sibar tahu bahwa pohon-pohon di sekitar tempatnya dicabut dengan eskavator, ia gegas menuju rumah temannya Kica di seberang atas, agak jauh dari aliran air sungai kecil. Apakah dia tidak tahu jika daerah tinggalnya akan dibangun perumahan elit bergaya Mediterania? Sebelah belakang akan dibangun vila dengan latar belakang pegunungan yang memanjakan mata. Begitu yang ia dengar ketika sengaja menguping percakapan bapak-bapak bertubuh gembul dan rambut klimis di teras rumahnya, samping sungai tempat yang akan digilas pembangunan itu.
Sibar gegas pergi. Langit di atas serupa lapis legit yang sayu dalam lipatan kuning, jingga, biru, dan ungu. Ia harus segera menyampaikan kabar ini. Dengung gergaji mesin super besar yang memotong tubuh pohon-pohon, masih terdengar bahkan saat ia sudah berlalu dalam jarak hampir 100 meter lebih. Suaranya tidak hanya memekakkan telinga Sibar. Di dalam hatinya ada yang berdenyut-denyut dan merontokkan segala kenangan indah bersama Kica. Seolah bayangan bahwa mereka akan selalu bermain bersama di pinggiran pematang sawah, dalam beningnya air sungai kecil yang mengalir dari sumber pegunungan, sirna sudah.
“Jadi kau belum tahu kabar ini?”
Sibar menemukan Kica sedang mengumpulkan jerami. Sibar melihat banyak tumpukan jerami basah. Aroma vanili kering tiba-tiba mengambang di udara. Ah tidak, ini lain. Sibar menggeleng. Ini serupa nasi ketan yang harum, tetapi gosong karena terlalu lama digoreng di wajan. Ah, tidak-tidak. Sibar menggeleng lagi. Ia benar-benar tak bisa menggambarkan aroma jerami basah yang sedap dan khas itu. Kica hanya mendengar cerita Sibar sambil menguap. Sibar tahu jika Kica selalu dibawa ayahnya mencari serangga untuk makanan jika malam hari tiba. Dari mata yang sayu, Sibar tentu tahu, Kica baru saja begadang.
“Apa yang akan kita lakukan? Kita masih terlalu ingusan untuk mencampuri urusan orang dewasa. Biarpun kita bisa meminta bantuan teman-teman yang lain, bagaimana kalau pembangunan itu memang sudah berizin. Ayahku sering cerita begitu. Tidak semua pembangunan di tepi aliran sungai itu ilegal. Beberapa bahkan telah mengantongi izin dari pemerintah daerah atau pusat. Ke depan, memang kita akan kehilangan tempat bermain. Tak ada gemericik air jernih yang mengalir langsung dari sumber pegunungan. Tak ada desau angin yang mengelus dedaunan. Tak ada cericit burung yang hinggap di pohon-pohon dan mengabarkan bahwa alam masih berjalan sebagaimana mestinya. Namun, mereka kadang berdalih untuk peningkatan ekonomi warga sekitar. Ini pe-er yang sangat rumit untuk kita. Hal yang bisa kita lakukan hanya menguping mereka, apakah benar mereka sudah mengantongi izin? Kudengar lahan pertanian sudah dilarang untuk digilas jadi hunian?”
“Aku pernah menguping percakapan salah satu dari mereka yang perutnya paling gembul, seolah ia menyembunyikan bola tendang di perutnya. Sebuah bisik-bisik bahwa pria gembul itu akan mengirimkan segera mobil Mercy S-class keluaran terbaru untuk pria berseragam pemerintahan itu. Kudengar pria gembul itu juga menanyakan nomor rekeningnya. Namun, pria berseragam di depannya kulihat memberikan nomor rekening perusahaan miliknya melalui ponsel. Bukan rekening pribadi.”
“Aku pernah dengar cerita dari ayahku jika kadang untuk menutupi jejak, mereka itu mengirimkan ke rekening perusahaan atau rekening pembantunya. Namun, ayahku sering berkata jika tak ada kejahatan yang sempurna di dunia ini. Yang ada, jika kejahatan itu belum terungkap, waktu yang akan membuka tabirnya suatu hari nanti.”
“Apakah itu termasuk melanggar?”
“Tentu saja. Apalagi jika benar wilayah di kampung ini adalah bagian dari daerah yang dijadikan lahan hijau dari pemerintah.”
“Apakah ini bagian dari mereka untuk mengakali peraturan dan menyuap seseorang agar semuanya lancar?”
“Nah, itu Sibar. Kita harus cari tahu.”
“Aku tak tahu jalan pikiran mereka hingga melakukan ini. Dengan ganas akan menggusur tempat ini dan mengusir kita secara halus.”
“Bukankah uang selalu bisa membutakan manusia?”
“Apa yang akan kita lakukan? Rumah kita akan tergusur. Pohon-pohon asli berganti pohon buatan. Aku pastikan jika mereka tidak merawat lahan baru ini, sungai kecil dan got-got akan berganti sampah popok bayi dan sampah plastik bungkus makanan.”
“Apa kau punya ide? Bahkan tubuh kita pun terlalu kecil di hadapan mereka. Sekali tampar kita akan bergelimpangan.”
“Bagaimana kalau kita bersama-sama dengan warga melakukan demo. Kau pernah bilang jika lidi yang bersatu akan lebih kuat dan berguna, ketimbang lidi yang hanya sebiji dan tak bisa jadi sapu.”
“Sibar, perlu aku jelaskan jika warga negara ini terlanjur memahami korupsi hanya diartikan mengambil uang yang bukan haknya. Padahal tidak hanya itu. Ayahku sering bercerita bagaimana korupsi telah mendarah daging di tubuh dan darah kita. Mereka ada yang menjual sawah demi anaknya bisa jadi pegawai berseragam. Seorang titipan dari bos perusahaan meminta HRD memuluskan agar keponakannya masuk kerja tanpa tes dari jalur titipan tadi. Yang lucu adalah, ketika mereka semua teriak-teriak hukum mati para koruptor untuk kalangan pejabat atas, tetapi ketika pemilihan umum, banyak terjadi mereka mau saja dan sadar menerima amplop setipis tisu hanya untuk mencoblos pasangan calon kepala daerah atau mungkin presiden pilihan mereka. Bukankah itu juga bentuk suap? Rasanya butuh ratusan tahun negara ini bebas dari yang namanya korupsi. Semut di lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak. Mereka pikir rakyat kecil tidak bisa melakukan korupsi? Bukankah semua yang kuceritakan tadi juga bagian dari korupsi, miris bukan?”
“Lalu apa yang akan kita lakukan Kica?”
“Kita hanya bisa pergi sesuai jalan takdir usai tempat kita dibangun. Untuk melawan tak mesti jadi pemenang. Ada saatnya Sibar segala kebusukan mereka terungkap. Aku akan segera berkemas.”
Usai Kica mengucapkan itu, dari pagi hingga senja berkemas, ketika Sibar datang lagi di tepian pematang sawah. Tak ada lagi ia dan keluarganya. Ia terus mencari Kica. Dalam rasa pasrah, Sibar memandang remang dan hampa ke depan menuju entah.
*Kica-kica (kunang-kunang) dan sibar-sibar (capung), adalah dua hewan bioindikator lingkungan, keberadaannya terancam punah sejalan dengan kerusakan lingkungan dan habitatnya.
***
Dody Widianto lahir di Surabaya. Ratusan karyanya tersiar di berbagai media massa nasional seperti Koran Tempo, Republika, Media Indonesia, Kompas.id, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Radar Bromo, Radar Madiun, Radar Kediri, Radar Mojokerto, Radar Banyuwangi, Singgalang, Haluan, Rakyat Sumbar, Waspada, Sinar Indonesia Baru, Bangka Pos, Tanjungpinang Pos, Pontianak Post, Gorontalo Post, Fajar Makassar, Suara NTB, Rakyat Sultra, dll. Silakan kunjungi akun IG: @pa_lurah untuk kenal lebih dekat.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.