|

Wawasan

Penjaga Wawasan Kebangsaan

Kita optimistis karena sebetulnya rasa kebangsaan dan moralitas itu untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Sejak didirikan pada 20 Mei 1965, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) yang dulu bernama Lembaga Pertahanan Nasional memiliki tanggung jawab besar. Menjadi pilar pendidikan kebangsaan bagi masyarakat. Bahkan, lembaga yang saat ini dipimpin Gubernur Lemhanas Letjen (purn) TNI Agus Widjojo ikut menyiapkan bagi pendidikan untuk sosok yang akan menjadi pemimpin nasional.

Beberapa waktu lalu, Lemhanas memberikan pembekalan kepada anggota legislatif terpilih pada Pemilu 2019. Ini bukan kali pertama pembekalan kebangsaan untuk wakil rakyat. Namun, seperti kata Agus Widjojo, pembekalan ini sangat penting agar menanamkan paradigma bahwa mereka adalah wakil rakyat, bukan lagi wakil partai masing-masing. Sebab, wawasan kebangsaan dan penjagaan konsensus kebangsaan menjadi penting untuk meminimalisasi disintegrasi bangsa.

Seperti yang kini terjadi di Papua, Lemhanas menyarankan agar semua pihak bisa lebih mendengar suara dan keluhan masyarakat Papua agar kita sesama bangsa Indonesia memiliki satu persepsi tentang NKRI. Wartawan //Republika// Fauziah Mursid dan Agus Widjojo juga sempat berbincang tentang pemindahan ibu kota pemerintahan. Bagaimana ulasan Gubernur Lemhanas? Berikut petikannya:

Apa latar belakang pembekalan anggota legislatif terpilih oleh Lemhanas?

Pembekalan itu sebetulnya kami tidak menangani masalah teknis kelegislatifan atau ke-DPR-an karena mereka anggota partai berbeda. Partai juga mempunyai pembekalan berbeda. Jadi, yang ditekankan oleh Lemhanas itu bukan teknis fungsi ke-DPR-an. Tetapi, lebih banyak apa yang menjadi peran konstitusional Lemhanas. Yaitu, membekali dengan konsensus dasar kebangsaan, paradigma nasional yang terdiri dari Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, ketahanan nasional, dan wawasan nusantara. Itu sebetulnya pada dasarnya.

Memberikan bekal kepada perseorangan anggota DPR, bagaimana supaya bisa efektif dan membangun pengembangan diri. Misalnya, dengan membuka pikiran, membuka hati, dan membuka kemauan. Intinya seperti yang ada di sekitar kita, tapi karena sudah disistemisasi dalam sebuah struktur, maka dia lebih disadarkan. Bagaimana seseorang itu bisa secara sadar mendengarkan pendapat dari rekan-rekan yang berbeda, membangun konsensus dan membangun pribadi yang lebih terbuka, itu intinya.

Apa tantangan Lemhanas untuk memantapkan nilai nilai kebangsaan?

Kita tahu bahwa Lemhanas ini merupakan warisan lembaga mutiara dari masa lalu. Untuk konteks dalam sistem politik dan kultur pemerintahan terpusat otoritarian, memang lebih mudah untuk dilaksanakan. Misalnya, semua yang akan menduduki eselon satu harus lewat Lemhanas itu lebih mudah, itu satu ya. Kedua, dulu ada satu pusat sumber kebenaran, yaitu otoritas pemerintah. Kalau sekarang ini //kan// ada kebebasan sehingga untuk meramunya menjadi sebuah paradigma nasional, itu juga membutuhkan pendekatan yang berbeda. Sekarang kita menghadapi tantangan di dalam era demokrasi ini, yaitu adalah bahwa kebebasan berpendapat, perbedaan pendapat, harus kita kelola. Bukan merupakan sebuah kesalahan atau dosa.

Kalau dulu perbedaan itu harus disatukan dalam sebuah kebenaran, berasal dari satu otoritas tunggal. Kalau sekarang perbedaan itu harus kita kelola untuk mendapatkan kesepakatan, jadi kebenaran tunggal dulu dan sekarang itu berbeda. Karena moto kita itu adalah tiada kebenaran yang mendua, tapi kebenaran dulu itu ditentukan oleh sebuah otoritas yang terstruktur hierarki terpusat dan sekarang kebenaran itu harus merupakan hasil deliberasi, untuk mencapai sebuah kesepakatan dan paling tidak adalah kesepakatan akademik. Kedua, kita mencoba mengubah karena dinamika yang begitu pesat dalam lingkungan strategis dan itu juga sangat berpengaruh pada masyarakat Indonesia. Maka, kita harus berpikir bagaimana untuk bisa menyiapkan para lulusan Lemhanas ini untuk menghadapi dinamika yang begitu tinggi.

Bagaimana strategi yang digunakan Lemhanas saat ini?

Kami mencoba sebuah pergeseran transformatif, paradigmatik dari yang dulu itu sifatnya adalah pembekalan yang sifatnya yang deskriptif. Deskripsi seperti resep dokter, yang obatnya antibiotik 3x1 dimakan setelah makan pada malam hari. Itu dulu seperti itu. Tapi, kalau sekarang kita harus menyiapkan modal manusia atau kata orang yang bersifat kualitatif. Hal itu menjadi siap untuk keadaan apa pun karena kita mencoba membekali peserta ini dengan cara berpikir. Bukan dengan deskripsi, tapi dengan cara bagaimana menemukan resep itu. Oleh karena itu kita coba untuk menanamkan cara berpikir melalui berpikir berdasarkan analisis kritis.

Beberapa waktu lalu, Lemhanas mengajak //influencer//, apakah itu juga terobosan Lemhanas saat ini?

Ya. Itu berdasarkan dari pendekatan taktis ataupun strategis, ya. Dalam militer itu ada yang kita katakan sebagai medan kritik, tempat-tempat yang dominan menguasai medan sekitarnya. Dan untuk berperang itu sangat diperebutkan. Misalnya, sebuah bukit dari sebuah bukit kita bisa melihat keliling kita, jadi kalau ada musuh datang, kita sudah bisa unggul di dalam informasi. Kalau kita lihat, semua sumber dari tantangan ini, tantangan ini bisa tantangan positif karena menyebabkan kemajuan, bisa juga tantangan ini bersifat negatif karena merupakan sumber itu keonaran.

Karena itu merupakan sumber dari fenomena yang ada sekarang, maka kita juga harus masuk ke dalam kepada medan kritik itu. Justru, medan kritik itu harus kita rebut untuk kita isi dengan konten-konten yang sifatnya positif, menetralisasi yang negatif, dan juga untuk menambah kekuatan yang menyuarakan arah positif. Bahwa sekarang itu pendapat dan gagasan seseorang itu tidak dinilai dari berbobot atau berkualitas atau tidaknya. Tetapi, semua orang itu akan mengklaim saya punya hak untuk berpendapat.

Jadi, //nggak// penting siapa yang lebih berpendidikan karena dia berpikir dia punya hak yang sama dengan yang lain meskipun dia profesor atau dokter. Jadi, demokrasi sudah masuk sampai situ. Dengan demikian, kita harus bisa merebut momentum informasi untuk disampaikan kepada publik. Kasihan kalau publik itu lebih banyak dicekoki oleh informasi yang mempunyai tujuan negatif. Bahkan, menyebabkan polarisasi dalam masyarakat.

Caranya dengan menggandeng //influencer//?

Karena bukan cuma sepihak dari kami untuk merebut //influencer//, tapi //influencer// juga memerlukan konten-konten untuk mereka jadikan sebagai amunisi yang disebarluaskan untuk didiseminasi. Jadi, kita bisa bekerja sama di situ. Kita baru mulai //sih//, tapi kita optimistis karena sebetulnya rasa kebangsaan dan moralitas itu untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Hal itu harus ada pada generasi milenial ini, pada pelaku-pelaku //influencer// ini.

Terkait Papua, bisa dijelaskan lagi maksud pernyataan Anda yang mengatakan kita harus mendengarkan keluhan masyarakat Papua?

Mungkin kita perlu untuk lebih memberikan bobot pertimbangan terhadap kultur dan sosio-antropologi masyarakat Papua. Karena, cara berpikir mereka itu berbeda dengan cara berpikir kita, karena perbedaan di tahapan pembangunan. Bagi mereka yang bertugas di Papua dan menghayati kehidupan masyarakat Papua, banyak sekali perbedaan yang pada akhirnya berujung pada sebuah kesenjangan yang menganga lebar. Maksud kita baik, tetapi juga dilihat dari persepsi masyarakat Papua yang tidak kita sangka itu mempunyai persepsi yang berbeda. Contoh yang sederhana saja, kalau ada pasar di Papua itu orang datang dari gunung untuk menjual barang dagangan hasil kebunnya, bagus-bagus buah-buahan sayur-sayuran itu, ada satu pasar untuk pertukaran komoditas. Di tengah jalan kita lihat, 'oh bagus ini sayurannya saya beli berapa itu?', 'oh itu 100, oh tidak boleh bapak'. Jadi, mereka tidak akan menjual komoditas hasil produksi mereka di tengah perjalanan, mereka hanya membawa sampai ke pasar.

Itu suatu hal yang sangat sederhana, tapi memperlihatkan ada cara berpikir yang sangat berbeda. Yang mungkin juga masih banyak lagi perbedaan-perbedaan itu yang bisa berakibat kesenjangan yang substantif dalam melaksanakan pembangunan di Papua. Atau merumuskan kebijakan-kebijakan yang sebetulnya didasarkan dengan niat baik kita untuk kepentingan masyarakat Papua, tapi belum tentu masyarakat Papua itu melihat dengan persepsi yang persis sama. Di samping juga bahwa kita tidak bisa menutup kemungkinan terbukanya terhadap pemanfaatan kelemahan-kelemahan di dalam komunikasi itu oleh pihak ketiga untuk kepentingan mereka

Pihak ketiga ini identik asing?

Bisa dari mana saja, bisa dari dalam, bisa dari luar. Jadi, memang harus betul-betul ditutup rapat antara komunikasi kita dan saudara-saudara kita di Papua. Sambil juga kita memberikan pencerahan tentang tingkat kesamaan dari manajemen program. Bahwa yang dilakukan terhadap pembangunan dan program-program yang ada di Papua itu tidak berbeda dari pengawasan pembinaan program-program yang ada di tempat lain. Jadi, kalau ada misalnya pemeriksaan, kalau ada misalnya kasus korupsi, itu tidaklah didasarkan kepada diskriminasi karena itu terjadi di Papua, di tempat lain itu terjadi. Kalau terjadi, hukum juga ditegakkan, jadi ini juga harus dikomunikasikan kepada saudara kita di Papua. Dan juga dicerahkan mereka agar mereka punya pemahaman bahwa ini standar nasional yang diperlakukan sama bagi provinsi manapun dan juga bukan didasarkan kepada diskriminasi

Munculnya persepsi itu hasil kajian Lemhanas?

Iya, kita dengar, kalau kajian itu //kan// kita ada tahapannya. Kita mendengarkan dari akademisi, kita mendengarkan dari yang memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan, kita mendengarkan juga dari pejabat-pejabat dari daerah itu sendiri. Jadi, semuanya itu kita satukan, lalu itu kita olah sehingga kita sampai kepada kesimpulan-kesimpulan. Dan itu bertahap, ada tiga tahapan yang juga melalui sebuah pengkajian dari multipersepsional dari segi kebijakan, dari segi persepsi lokal, dari segi praktisi, itu semua kita dengar.

Artinya, memang dari persepsi lokal sendiri menilai ada diskriminasi dari perlakuan hukum dan sebagainya?

Mungkin memang tidak secara eksplisit mereka mengatakan itu. Tapi, //kan// namanya analisis, dari perilaku kita menganalisis, mengapa mereka bereaksi seperti itu. Jadi, kita menganalisis. Tidak semua itu harus kita cari, kita terima di dalam bentuk yang sudah matang. Apakah kata mereka walaupun mereka tidak mengatakan, tetapi dari pola perilakunya, kita bisa menganalisis untuk sampai pada sebuah kesimpulan.

Soal pemindahan ibu kota yang sudah diputuskan Pak Presiden? Apakah sudah ada kajian dari Lemhanas?

Lemhanas memang tidak pernah diam atau tidak peduli dengan masalah-masalah strategis untuk kepentingan kepentingan bangsa. Paling tidak bahwa secara geopolitik dan strategis pemindahan ibu kota itu akan berpindah dari Jakarta. Yang bisa dikatakan bahwa itu adalah daerah belakang, karena depannya itu adalah tempat masuknya Laut Cina atau Selat Sulawesi musuh datang itu. Dengan berpindahnya ibu kota ke Kalimantan Timur, maka kita melihat jarak dengan perbatasan Indonesia-Malaysia itu juga tidak terlalu, jarak daratan ya, itu tidak terlalu jauh.

Kemudian kita juga melihat bahwa koridor-koridor, apakah koridor laut di Selat Sulawesi atau koridor udara yang langsung dari Kalimantan-Malaysia itu memberikan pengaruh yang berbeda dan lebih menuntut kesiapan kita untuk menghadapi ancaman yang bisa berakibat fatal. Artinya, waktu persiapan kita untuk bereaksi terhadap ancaman, lebih kecil, lebih sedikit daripada ketika kita ada di Jakarta. Walaupun mungkin itu diimbangi dengan pertimbangan pada aspek-aspek lainnya, tapi itu dari aspek geopolitik saja.

Kemudian nantinya perlu direncanakan dengan baik bagaimana akulturasi masyarakat di Kalimantan Timur yang selama ini masih kita anggap sebagai masyarakat yang bersifat lokal dan masih ada juga suku-suku yang belum terkena oleh pembangunan seutuhnya. Sebagai ibu kota, nanti akan menerima gelombang-gelombang kedatangan suku-suku, etnis yang berasal dari luar Kalimantan Timur. Mau tidak mau, senang tidak senang, diperlukan sebuah rencana menyiapkan akulturasi dari penduduk yang nantinya akan menjadi penduduk dari daerah khusus Ibu Kota Sukarnapura. Kalau saya dengar, namanya diusulkan Sukarnapura.

Ada rencana disampaikan ke Pak Presiden?

Ya, kita komunikasi rutin. Kita sampaikan dan kita selalu memberikan rekomendasi-rekomendasi. Tapi, tentunya pemerintah punya perangkat-perangkat yang lebih lengkap daripada Lemhanas. Lemhannas hanya merupakan salah satu yang memberikan rekomendasi kepada Bapak Presiden. Tapi, //kan// Bapak Presiden punya perangkat-perangkat lain yang lebih lengkap. Seperti intelijen, Bappenas, BPS, seperti kementerian. Itu akan lebih melengkapi tentang pengkajian yang dilakukan pemerintah. N ed: agus raharjo

Kita perlu lebih memberikan bobot pertimbangan terhadap kultur dan sosio-antropologi masyarakat Papua.

Tetap Bugar di Usia 72 Tahun

OLEH FAUZIAH MURSID

Agus Widjojo berjalan dengan langkah cepat saat mengantar tim //Republika// melihat situasi pembekalan anggota legislatif terpilih hasil Pemilu 2019 pekan lalu. Usia yang sudah menginjak 72 tahun tak terlihat saat Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) itu kembali melangkahkan kaki ke kantornya. Kami, tim //Republika//, justru tertinggal mengikuti derap langkah kaki sosok kelahiran Solo, Jawa Tengah, ini.

Lulusan Akabri 1970 ini juga terlihat lebih muda dari usianya. Ia tak sedikit pun terlihat kelelahan berjalan sekira 150 meter, dari ruangannya ke tempat pembekalan anggota legislatif terpilih, dan sebaliknya. Bahkan, setelah sampai di kantornya, Agus juga tak meminum minuman yang selalu tersedia di meja kerjanya. Kepada //Republika//, mantan kepala Staf Teritori TNI ini mengaku tidak memiliki kiat khusus menjaga badannya tetap bugar.

Agus yang dilantik menjadi gubernur Lemhanas sejak 16 April 2016 ini menjalankan aktivitasnya seperti pejabat negara lainnya. Sosok yang ramah ini mengatakan, salah satu resep agar badannya tetap bugar adalah tidak membiarkan pikirannya stres terhadap apa pun. Ia mengaku, stres menjadi salah satu penyebab munculnya berbagai penyakit di tubuh manusia. Jadi, kunci sebenarnya agar badan tetap sehat adalah tidak memberikan kesempatan agar pemicu penyakit itu terlalu lama menghinggapi pikiran kita.

"Jangan mau dibuat stres oleh entitas-entitas di luar kita, (dibuat) yang ringan-ringan saja," tuturnya kepada //Republika// di kantor Lemhanas, Jumat (6/9) lalu.

Selain menjaga pikiran terhindar dari stres, Agus juga tetap menjaga pola makan sehat dan mencukupkan waktu istirahat. Ia mengatakan, tak memiliki pantangan terhadap makanan apa pun. Hanya saja, dijaga pola makannya. Misalnya, mulai mengurangi karbohidrat dari nasi. Jadi, tidak ada resep khusus yang harus dilakoni agar badan tetap sehat dalam usia 72 tahun. "Saya tidak punya resep khusus, peliharalah kebugaran itu dalam setiap aspek kehidupan kita, mulai dari makanan, semuanya, karena yang paling kita bisa lakukan adalah menjaga pola makan dan istirahat," ujarnya.

Mantan wakil ketua MPR Fraksi TNI/Polri ini menuturkan, masih rutin menjaga gerak tubuh melalui olahraga. Meskipun, olahraga yang dilakukannya saat ini sudah berbeda dengan yang dilakoni saat masih muda dulu. Agus mengaku sudah tidak lagi bermain tenis lapangan atau sepak bola. Jenis olahraga yang kini dilakukan putra Pahlawan Revolusi Mayjen (anumerta) Sutoyo Siswomiharjo ini hanya menjaga rutinitasnya untuk tetap berenang. "Olahraga, tapi juga harus tunduk pada kemauan alam, misalkan saya suka tenis, atau futsal, ya kalau bisa? Itu paling aman, berenang," kata Agus.

Meski usia sudah tidak muda lagi, Agus ingin tetap memberi manfaat kepada masyarakat. Salah satunya dengan membagikan ilmu dengan menulis buku. Agus merupakan penulis buku //Transformasi TNI//. Dalam bukunya, ia menceritakan tantangan-tantangan yang harus dihadapi masyarakat dan TNI dalam era sekarang. N ed: agus raharjo

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat