Pengrajin batik khas Blitar Yogi Rosdianta memotret istrinya Santika sambil memegang batik hasil produksinya untuk diunggah ke pasar digital di sentra kerajinan batik khas Blitar Mawar Putih, di Blitar, Jawa Timur, Rabu (5/8). | ANTARA FOTO/IRFAN ANSHORI

Opini

Menggugat Hegemoni Dunia Digital

Benarkah penggunaan teknologi digital memastikan kehidupan lebih baik?

SETYANAVIDITA LIVIKACANSERA, Wartawan Republika

Teknologi identik dengan bergulirnya kemajuan. Teknologi memungkinkan hal yang sebelumnya tak mungkin, menjadi mungkin atau bahkan terasa mudah. Salah satunya, seperti yang terjadi saat ini.

Teknologi digital memungkinkan bisnis tetap bergeliat meski pandemi membuat batasan di berbagai aspek kehidupan manusia.

Jauh sebelum pandemi atau sejak internet mulai hadir pada era 90-an, dunia seakan terpaku pada perkembangan dan kebaruan apa saja yang dihadirkan teknologi yang satu ini. Ketika broadband akhirnya lahir, revolusi bergulir kian cepat.

Digital menjadi acuan dalam berbagai kegiatan. Mulai dari bersosialisasi, berbelanja, berdagang, hingga menjalani bisnis. Pakem ‘Go Digital’ pun tercipta. Laman Get2Growth memperkirakan, saat ini terdapat 305 juta usaha rintisan di berbagai penjuru dunia.

 
Teknologi menjanjikan berbagai kemudahan. Namun, bukan berarti kehadirannya memastikan kemajuan atau menghadirkan dunia lebih baik.
 
 

Angka-angka yang fantastis pun tersaji dalam Global Digital Overview 2020, yang lahir dari penelitian bersama antara We are Social dan Hootsuite. Hingga Januari 2020, orang yang akrab dengan internet meningkat tujuh persen dari tahun sebelumnya.

Tepatnya 4,54 miliar orang, dengan 298 juta pengguna internet baru sepanjang 2019. Di seluruh dunia, saat ini ada 3,8 miliar orang terhubung dengan media sosial (medsos) dan 5,19 miliar orang aktif berinternet melalui perangkat mobile.

Istilah ‘Go Digital atau Mati’ sempat membuat orang makin terbirit-birit menguasai teknologi.

Teknologi menjanjikan berbagai kemudahan. Namun, bukan berarti kehadirannya memastikan kemajuan atau menghadirkan dunia lebih baik. Hidup di dunia teknologi seperti sekarang, berarti kita justru harus ekstra hati-hati dalam menerima dan menyaring informasi.

Ibarat toko, dunia digital, termasuk di dalamnya akun medsos, bisa tampak bagai etalase yang begitu memikat mata. Apalagi, kalau ditambah dengan pemilik medsos yang benar-benar jeli memilih audiens.

Segala pesan yang ingin disampaikan, mendapat pelantang yang dengan mudah tersampaikan ke banyak pihak. Akun yang terlihat cerdas, edukatif, dan mengangkat isu yang dekat dengan keseharian masyarakat, dengan mudahnya meraih traksi.

 
Meski memiliki kata berbagi, konsep ekonomi yang populer pada era digital ini rasanya perlu dievaluasi kembali. 
 
 

Namun, belum tentu dalam kenyataannya, semua seindah feed Instagram atau kutipan-kutipan yang mengena. Tanpa mawas diri tinggi, saat ini tak terhitung orang terbuai citra palsu di medsos. Begitu pula, dengan konsep sharing economy.

Meski memiliki kata berbagi, konsep ekonomi yang populer pada era digital ini rasanya perlu dievaluasi kembali. Saat ini, pemilik aset harus berjibaku di jalanan, belum lagi mereka masih dikejar berbagai target harian.

Ketika bicara bonus, hal tersebut tak lagi semudah dahulu didapatkan. Padahal, selama ini para usaha rintisan yang menjadi pemilik teknologi, kerap menggembar-gemborkan suntikan dana puluhan hingga ratusan juta dolar ke dalam bisnisnya.

Status unicorn, decacorn, hectocorn pun dilempar ke masyarakat. Istilah baru yang mewakili kemajuan, ditambah polesan angka fantastis, makin membuat dunia digital sebagai masa depan yang menjanjikan utopia.

Namun, saat pandemi melanda, dalam sekejap mata tak sedikit usaha rintisan tiarap. Meski masih ada yang kabarnya dapat  suntikan dana investor, justru ada yang mengharapkan masyarakat membantu mitranya dengan kampanye solidaritas kemanusiaan.

 
Ketika tatap muka semua harus dilakukan secara digital, kita jadi tersadar kembali betapa teknologi yang tertinggi hari ini, ternyata tak bisa menggantikan tatap muka.
 
 

Biaya layanan dinaikkan di tingkat konsumen akhir. Pengurangan pegawai dilakukan. Pandemi ini memang menghadirkan dinamika baru yang tak terbayangkan sebelumnya. Termasuk, kesempatan menguji kembali bergulirnya era digital yang tampak memesona.

Pada masa pandemi ini, tak sedikit orang akhirnya kembali mencari nilai dasar yang sempat terlupakan. Ketika tatap muka semua harus dilakukan secara digital, kita jadi tersadar kembali betapa teknologi yang tertinggi hari ini, ternyata tak bisa menggantikan tatap muka.

Di dunia bisnis, harus diakui bahwa berjualan secara daring telah membantu menyelamatkan banyak keluarga yang keuangannya oleng, tapi makna uang secara likuid kembali menemui makna.

Emas yang dikenal sebagai salah satu bentuk investasi paling konvensional, mengalami peningkatan harga tertinggi sepanjang masa. Sementara itu, valuasi yang selama ini menampilkan angka-angka cantik justru tak mampu berbuat banyak.

Benarkah penggunaan teknologi memastikan kehidupan lebih baik? Mungkin, sudah saatnya kita kembali ke nilai dasar rasionalitas tanpa terbuai pada diksi-diksi baru yang terkesan futuristik.

Karena belum tentu sesuatu yang mendapat sentuhan teknologi, secara mutlak akan menyulap kehidupan menjadi jauh lebih baik. Pada prinsipnya, kita semua tentu tak bisa lari dari berbagai perkembangan teknologi.

Namun, teknologi seharusnya hadir untuk memudahkan kehidupan manusia sebagai penggunanya. Ketika manusia kini menjadi budak algoritma atau harus lebih makin ekstra waspada saat di dunia maya, makna dari kemajuan rasanya sudah tak lagi jadi mimpi indah. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat