Warga melewati mural bertema Tolak Politik Uang di Kampung Sondakan, Solo, Jawa Tengah, Rabu (22/7). | Maulana Surya/ANTARA FOTO

Opini

Meminggirkan Hak Pilih

Hak pilih rakyat di Pilkada Desember 2020 bakal dikebiri fenomena kotak kosong.

UMBU TW PARIANGU, Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang

Hak pilih rakyat untuk menentukan pemimpinnya di Pilkada Desember 2020 bakal dikebiri fenomena kotak kosong.

Setelah heboh kotak kosong mengalahkan pasangan Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi di Pilkada Kota Makasar pertengahan Desember 2018, potensi munculnya calon tunggal bukannya berkurang. Justru sebaliknya, meningkat.

Pada Pilkada 2015, sejak calon tunggal diizinkan, jumlah calon tunggal hanya ada di tiga daerah dari 269 daerah yang melakukan pilkada. Namun pada 2017, meningkat tiga kali lipat menjadi sembilan daerah, dan pada 2018 meningkat lagi menjadi 16 daerah.

Pada tahun ini, menurut Lembaga Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Insiatif, jumlah calon tunggal bisa meningkat dua kali lipat atau sekitar 30-an.

Daerah yang berpotensi menghadirkan calon tunggal, misalnya, Kota Solo, Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Serang, Kediri, dan daerah lainnya. Artinya, pilkada yang banyak memakan uang rakyat, hanya mampu “mendaulatkan” kotak kosong untuk melawan calon tunggal.

 

 
Pada tahun ini, menurut Lembaga Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Insiatif, jumlah calon tunggal bisa meningkat dua kali lipat atau sekitar 30-an.
 
 

 

Fenomena ini menjadi preseden buruk dalam mewujudkan demokrasi lokal berkualitas, karena rakyat tidak disajikan menu kontestasi politik yang mewakili visi beragam dari calon-calon kepala daerahnya.

Menurut Huntington (1993), demokrasi hanya terwujud jika ada kompetisi gagasan, ada persebaran kesempatan berkuasa, dan ada kebebasan rakyat dalam berpartisipasi menyampaikan aspirasi.

Calon tunggal mendistorsi makna demokrasi karena struktur kesempatan politik didominasi calon tunggal. Sehingga tidak berlebihan jika fenomena calon tunggal versus kotak kosong dinilai, berpotensi meminggirkan hak-hak rakyat dari arena politik.

Oportunisme

Fenomena calon tunggal disebabkan oportunisme partai politik, yang tidak ingin kehilangan insentif politik sehingga memilih mendukung kandidat kepala daerah, yang berpotensi menang besar.

Hampir semua pilkada dari 2015, dimenangkan calon tunggal yang sebagian besar merupakan pejawat, yang memang sudah banyak mengecap modal politik (finansial, popularitas, dan jaringan sosial) untuk berkontestasi di pilkada.

Padahal, oportunisme partai politik mendukung calon tunggal sangat riskan. Potensi transaksional lewat mahar di panggung belakang di antara parpol pendukung sulit untuk dicegah, apalagi dalam politik, tak ada makan siang gratis.

 

 
Calon tunggal versus kotak kosong, menghilangkan aura kontestasi sekaligus preferensi politik rakyat.
 
 

 

Ini mirip yang digambarkan Steven Lukes (dalam Dimension of Elite Power, 2016), ada dua dimensi teori kekuasaan di tataran elite. Pertama, kekuasaan terlihat (visible power), yakni proses pengambilan keputusan politik dilakukan secara formal dan terbuka.

Kedua, kekuasaan tersembunyi (hidden power), suatu cara mempertahankan kekuasaan dan hak istimewa dengan mendesain hambatan bagi individu/kelompok lain, untuk berpartisipasi dengan mengendalikan politik di belakang panggung.

Yang dilihat publik dalam pilkada selama ini adalah mekanisme formal dan visible, berupa kesepakatan koalisi mengusung calon tunggal karena aspirasi rakyat dan kesamaan visi menyejahterakan rakyat.

Padahal, kerap kesepakatan itu cenderung transaksional, yang hanya bisa dilihat di panggung belakang. Ini menunjukkan partai politik, kandidat, dan rakyat belum menjadi aktor yang setara atau simetris dalam pengambilan keputusan di arena politik (Pamungkas 2010).

Merebut kekuasaan

Pilkada bagi partai, akhirnya tak lebih kesempatan merebut kekuasaan. Partai lupa, demokrasi dalam kontestasi tak sekadar proforma. Ia saluran esensial warga mengekspresikan preferensi mereka lewat kompetisi kekuasaan yang setara (Schumpeter, 1950).

Calon tunggal versus kotak kosong, menghilangkan aura kontestasi sekaligus preferensi politik rakyat.

Sebab, partai politik yang memproduksi calon pemimpin lebih sebagai organisasi yang struktur pengambilan keputusannya hierarkis, bukan berbasis horizontal yang menghasilkan keputusan politik berdasarkan kepentingan rakyat.

Ironisnya, calon perseorangan, yang diharapkan bisa mengimbangi dominasi pencalonan dari partai dan memberikan alternatif pilihan bagi rakyat, cenderung tak berkutik di setiap pilkada.

Berdasarkan data sebelumnya, dari 150 bapaslon perseorangan yang diverifikasi secara administratif, hanya 23 bapaslon yang sudah memenuhi syarat untuk mendaftar sebagai calon kepala daerah di Pilkada 2020.

Itu berarti, peluang kepesertaan dan kemenangan calon perseorangan di pilkada kian minim. Rezim regulasi pilkada ikut bertanggung jawab atas kemelut ini karena mensyaratkan jumlah dukungan terhadap calon perseorangan cukup berat (6,5-10 persen).

Ini ironis, meski sudah 15 tahun menjalankan pilkada langsung, kita masih diadang problem defisit kontestan politik. Tampaknya sulit berekspektasi, pilkada akan menyajikan arena politik deliberasi yang setara bagi partai politik, kandidat, dan rakyat.

Karena kenyataannya, khususnya untuk fenomena calon tunggal, sering kali hanya dua aktor berkepentingan terhadap pilkada, yakni partai politik dan kandidat yang berkontestasi. Kepentingan dua aktor itu selalu berpeluang mereduksi hak politik rakyat dan demokrasi. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat