Karyawan memotret layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (5/8). | Republika/Putra M Akbar

Opini

Memacu Investasi Pascapandemi

Selama ini, kualitas investasi masih relatif rendah karena belum berorientasi ekspor.

TASMILAH, Statistisi pada BPS Kota Malang

Uji coba vaksin Covid-19 yang sudah memasuki tahap III memberikan angin segar bahwa pandemi ini akan segera berakhir setelah ditemukannya vaksin. Itu artinya, kita harus mulai merancang bagaimana perekonomian pascapandemi.

Ketika segala sumber daya saat ini dikerahkan untuk mengendalikan virus dan meningkatkan daya beli penduduk, pascapandemi nanti yang harus dipikirkan bagaimana memacu investasi untuk mempercepat pemulihan perekonomian Indonesia.

Pandemi Covid-19 mengakibatkan jumlah pengangguran meningkat. Padahal, sebelumnya jumlah penganggur di Indonesia sudah mencapai 6,88 juta orang. Belum lagi ditambah angkatan kerja yang terus meningkat setiap tahun sekitar 1,73 juta orang.

Seluruh angkatan kerja ini, membutuhkan pekerjaan segera setelah pandemi berakhir. Karena itu, memacu investasi pascapandemi sangat diperlukan untuk menyediakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk.

 
Dalam tataran global, pandemi Covid-19 juga menyadarkan atas bahaya ketergantungan pasokan manufaktur hanya dari satu negara.
 
 

Terlebih, Indonesia tengah menuju puncak bonus demografi, di mana angka ketergantungan mencapai titik terendah. Ini ditandai jumlah penduduk usia produktif lebih banyak dibandingkan penduduk usia nonproduktif.

Dalam tataran global, pandemi Covid-19 juga menyadarkan atas bahaya ketergantungan pasokan manufaktur hanya dari satu negara. Ketika awal pandemi merebak di Cina, mengakibatkan terganggunya pasokan bahan baku dan produk manufaktur dari Cina.

Ini menyebabkan produksi dan perdagangan komoditas di dunia mengalami kendala dan penurunan. Dengan adanya pandemi ini, pelaku industri dunia akan berpikir untuk membangun industri manufakturnya tidak hanya di Cina untuk menghindari ketergantungan terhadap satu negara tersebut.

Dalam situasi ini, Indonesia dengan lahan yang masih luas, posisi geografis yang strategis, dan tenaga kerja yang melimpah, harus bisa mengambil peluang. Indonesia harus bisa menarik industri besar dunia untuk menanamkan investasinya.

Terlebih, bagi negara maju dengan fenomena penuaan penduduk (aging), tentu akan kekurangan tenaga kerja untuk menjalankan industri manufakturnya.

Pada proses pemulihan ekonomi, setelah perekonomian turun drastis akan  diikuti bounce back (peningkatan) yang tinggi sebagaimana digambarkan oleh kurva V-shaped recovery.

 
Bagi Indonesia yang perekonomiannya ditopang konsumsi dalam negeri, tentu tidak bisa pulih dengan cepat.
 
 

Namun, untuk pandemi Covid-19 ini, diperkirakan pemulihannya akan mengikuti kurva swoosh shaped recovery, di mana perekonomian turun drastis dan akan meningkat secara perlahan-lahan.

Bagi Indonesia yang perekonomiannya ditopang konsumsi dalam negeri, tentu tidak bisa pulih dengan cepat. Ini karena pandemi Covid-19 berpengaruh besar dalam menurunkan pendapatan penduduk Indonesia.

Tidak mengherankan jika pemerintah saat ini mengerahkan seluruh sumber daya untuk mendorong permintaan dalam negeri melalui percepatan realisasi belanja pemerintah, memperluas bantuan sosial, hingga memberikan modal bagi pelaku UMKM.

Dengan permintaan yang meningkat, akan mendorong produksi barang dan jasa pada kuartal III sehingga diharapkan Indonesia bisa terhindar dari jurang resesi. Pulihnya permintaan/konsumsi inilah yang akan memicu lahirnya investasi.

Laporan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) menyebutkan, permintaan pasar global belum akan pulih dalam dua tahun ke depan.

Karena itu, dalam dua tahun nanti, Indonesia bisa mempersiapkan diri ketika permintaan pasar global sudah pulih. Sehingga, Indonesia sudah bisa berperan serta sebagai salah satu pemasok di dunia.

Selama ini, kualitas investasi masih relatif rendah karena belum berorientasi ekspor, masih menyasar pasar dalam negeri. Jumlah penduduk Indonesia yang besar masih menjadi sasaran pemasaran utama.

Ekspor Indonesia juga masih didominasi komoditas CPO (kelapa sawit) dan batu bara. Padahal, perdagangan produk manufaktur lebih cepat pemulihannya pascapandemi nanti.

Selain investasi berorientasi ekspor, investasi yang masuk ke Indonesia diharapkan diiringi transfer teknologi dan pengetahuan sehingga kualitas tenaga kerja di Indonesia meningkat.

 
Selama ini, kualitas investasi masih relatif rendah karena belum berorientasi ekspor, masih menyasar pasar dalam negeri. 
 
 

Berdasarkan strukturnya, investasi telah bergeser dari sektor sekunder ke tersier. Pada 2018, investasi tersier kontribusinya melonjak dari 39,6 persen menjadi 50,9 persen, sedangkan investasi sektor sekunder menurun dari 39,6 persen menjadi 30,8 persen.

Ini berarti, investasi pada industri manufaktur peranannya semakin kecil dibandingkan investasi di sektor perdagangan dan jasa.

Berdasarkan kajian potential growth Bappenas, untuk mencapai target pertumbuhan 5,4-6 persen, diperlukan peningkatan TPAK 68-70 persen dan pertumbuhan investasi 6,9-8,1 persen. Dalam RPJMN, target investasi tumbuh 7,3-8 persen per tahun.

Dengan adanya pandemi seperti saat ini, tentu dibutuhkan upaya keras untuk mencapai target tersebut.

Upaya yang dilakukan pemerintah untuk memacu investasi adalah dengan deregulasi prosedur investasi, sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perizinan, dan meningkatkan peringkat indeks kemudahan bisnis (EoDB) Indonesia dari peringkat 73 menjadi 40 pada 2024.

Peningkatan investasi ditujukan untuk peningkatan produktivitas, yang akan mendorong peningkatan efisiensi investasi. Efisiensi ini menjadi penting mengingat Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia sebesar 6,3 atau lebih tinggi dibandingkan negara lain, seperti Vietnam yang hanya 4,31.

 
Catatan yang lain, sebaran investasi perlu diperbaiki karena proporsinya masih didominasi di Pulau Jawa yang mencapai 56,2 persen.
 
 

Tingginya nilai ICOR ini menunjukkan, untuk meningkatkan output 1 unit, diperlukan investasi yang lebih besar di Indonesia. Akibatnya investor akan memilih negara lain demi menghasilkan penambahan output yang lebih besar.

Inefisiensi ini terjadi karena tingginya biaya pendukung di luar biaya substansi. Dengan upaya deregulasi investasi dan reformasi birokrasi, pemerintah berharap nilai ICOR Indonesia turun menjadi 6,0 pada 2024 (RPJMN).

Catatan yang lain, sebaran investasi perlu diperbaiki karena proporsinya masih didominasi di Pulau Jawa yang mencapai 56,2 persen.

Karena itu diperlukan percepatan infrastruktur, kepastian lahan, penyiapan tenaga kerja terampil untuk penyebaran investasi ke luar pulau Jawa.

Ini berguna untuk mengurangi dominasi Pulau Jawa dalam perekonomian Indonesia yang menopang 58,55 persen PDB Indonesia. Perekonomian Indonesia mengikuti fenomena firm follow people, aktivitas ekonomi mengikuti di mana penduduk terkonsentrasi.

Jika mekanisme pasar dibiarkan bekerja sendiri,  kesenjangan perekonomian Indonesia akan semakin lebar. Diperlukan peran serta pemerintah untuk menyiapkan perangkat dan fasilitas kemudahan investasi di luar Jawa sehingga perekonomian akan semakin pulih dan merata pascapandemi nanti. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat