Mudir Mahad Aly Hasyim Asyari Tebuireng KH Nur Hannan dalam sebuah acara beberapa waktu lalu. | DOK Darul Ihya

Hiwar

KH Nur Hannan: Meneruskan Tradisi Hadratussyekh

Sekolah tinggi ini berkomitmen mengembangkan legasi keilmuan dan amaliah Kiai Hasyim Asy’ari.

QUOTE: Tradisi di pesantren memang salah satunya adalah menjaga sanad keilmuan.

Ma’had aly merupakan sebutan bagi institusi pendidikan tinggi yang lahir dan berkembang di lingkungan pesantren. Pondok Pesantren Tebuireng di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, merupakan salah satu pesantren legendaris se-Indonesia. Lembaga yang didirikan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari itu kini telah memiliki ma’had aly.

Menurut Direktur (Mudir) Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng KH Nur Hannan, institusi ini sejak semula dimaksudkan sebagai penjaga tradisi keilmuan alim ulama Nusantara. Lebih khusus lagi, sekolah tinggi ini terus berkomitmen untuk mengembangkan legasi keilmuan dan amaliah Kiai Hasyim Asy’ari. Sosok pahlawan nasional itu juga masyhur sebagai pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU).

“Ma’had Aly ini memang didirikan dalam rangka untuk melanjutkan tradisi keilmuan yang diwariskan oleh Hadratussyekh KH Haysim Asy’ari,” ujar alumnus Universitas al-Azhar, Mesir, itu.

Hingga kini, Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng terus berkembang. Salah satu andalannya ialah kajian hadis. Sebab, kakek presiden keempat Republik Indonesia Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu juga dikenang sebagai pakar ilmu hadis kebanggaan Nusantara.

 
Ma'had Ali Tebuireng
(KH Nur Hannan)
 

Berikut petikan wawancara wartawan Republika, Muhyiddin, dengan Kiai Nur Hannan beberapa waktu lalu.

Bisa dijelaskan bagaimana latar pembentukan Ma’had Aly Tebuireng?

Ma’had Aly Tebuireng ini didirikan pada 2006. Itu (bertepatan) pada akhir kepengasuhan almaghfurlah KH Yusuf Hasyim dan awal periode kepengasuhan KH Salahuddin Wahid atau Gus Sholah. Sampai sekarang, berarti usianya sudah 14 tahun.

Jadi, Ma’had Aly ini memang didirikan dalam rangka untuk melanjutkan tradisi keilmuan yang diwariskan oleh Hadratussyekh KH Haysim Asy’ari. Sebab, sebelum mendirikan Ma’had Aly ini pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng merasakan adanya beberapa kemunduran. Untuk memperbaiki hal tersebut, maka idealnya adalah dengan mendirikan Ma’had Aly Hasyim Asy’ari.

Jadi, Ma’had Aly ini didirikan dalam rangka menyiapkan kader-kader mahasantri yang memiliki kualifikasi lulusan sebagai ulama yang tafaqquh fiddin. Mereka mendalami agama Islam dengan berbekal beberapa pilar. Di antaranya adalah memiliki kemantapan akidah, kedalaman spiritual, keluhuran akhlak, serta keluasan ilmu pengetahuan.

Apa visi dan misi lembaga ini?

Ma’had Aly Tebuireng ini memiliki visi, unggul dalam menguasai tradisi ulama shalafusshalihin, baik dalam bidang ilmiah maupun amaliah, serta melahirkan generasi penerus Islam yang khairu ummah dan kader-kader ulama yang tafaqquh fiddin.

Visi itu kemudian dijelaskan dalam misinya. Di antaranya adalah menyelenggarakan studi agama secara mendalam dan menyeluruh melalui sistem perpaduan pendidikan pondok pesantren dan perguruan tinggi. Yang kedua adalah mempersiapkan kaderisasi ahli hadis.

Awalnya, Ma’had Aly Tebuireng memang menyelenggarakan program studi (prodi) fikih dan ushul fikih. Kemudian, mulai tahun 2006, kami mendapat izin penyelenggaraan dari Kementerian Agama (Kemenag) khusus untuk prodi hadis dan ilmu hadis.

Dengan adanya perubahan prodi, yakni dari fikih ke hadis, maka satu misi yang ditetapkan oleh Ma’had Aly Tebuireng adalah menyiapkan kaderidasi ahli hadis. Lulusan mesti dapat mewarisi dan mengembangkan tradisi ilmiah dan amaliah yang sesuai dengan tuntutan zaman.

Peralihan dari fikih ke hadis itu juga dalam rangka lebih melanjutkan tradisi keilmuan dari sang pendiri Pesantren Tebuireng, Hadratussyekh KH Hasyim Asyari. Beliau memang lebih dikenal sebagai ulama hadis dan pakar ilmu hadis.

Apa yang membedakan Ma'had Aly Tebuireng dari yang lainnya?

Pertama, Ma’had Aly Tebuireng ini memang didirikan dalam rangka menyiapkan kader-kader Pondok Pesantren Tebuireng yang dapat melanjutkan perjuangan Kiai Hasyim Asyari. Itu baik dalam bidang keilmuannya maupun amaliahnya. Jadi, dalam visi dan misi tadi sudah tergambarkan mengenai hal itu.

Sementara, di ma’had aly (MA) lainnya, saya kira juga memiliki tujuan yang berbeda-beda. Mungkin setiap ma’had aly di Indonesia ingin melanjutkan cita-cita tokoh dari pendiri pesantrennya masing-masing.

Lulusan institusi ini hendak diarahkan ke mana?

Sejak awal, memang mahasantri MA ini disiapkan sebagai kader-kader pesantren Tebuireng. Seiring dengan itu, pengasuh Tebuireng juga mulai membuka cabang-cabang pesantren Tebuireng, baik yang di Jawa maupun luar Jawa.

Lulusan-lulusan dari Ma’had Aly Tebuireng ini sebagian kemudian ditugaskan sebagai pembina, pengurus, atau ustaz di Pesantren Tebuireng Pusat. Sebagian yang lain dikirim untuk pengembangkan pesantren-pesantren cabang Tebuireng tadi. Begitu pula dengan sebagian mahasantri.

Hampir semuanya juga aktif dalam kegiatan kemasyarakatan di sekitar pesantren. Bahkan, sebagian juga diminta untuk menjadi pengurus organisasi masyarakat (ormas) Islam, seperti Nahdlatul Ulama (NU).

Sebelum dikirim, mahasantri Ma’had Aly Tebuireng juga telah memiliki tradisi. Misalnya, ketika bulan Ramadhan mereka dikirim untuk pengajian-pengajian Ramadhan di beberapa masjid di sekitar pesantren Tebuireng. Jadi, langsung terjun berdakwah di tengah masyarakat. Sehingga setelah lulus, mereka sudah mempunyai pengalaman dan bekal untuk berdakwah.

Menurut Anda, apa saja syarat untuk menjadi seorang pendakwah?

Tentu syarat yang paling utama adalah keilmuan. Akan lebih baik jika keilmuan itu juga dalam arti seseorang memiliki sanad yang jelas. Artinya, ilmu agamanya diperoleh dari guru yang memiliki sanad dari guru-guru yang menyambung terus sampai kepada Rasulullah SAW.

Jadi, misalnya, bukan hanya sekadar keilmuan yang diperoleh dari hasil membaca sumber-sumber. Apalagi, ketika sumber-sumber itu tidak bisa dipertanggungjawabkan sanad keilmuannya.

Yang kedua, dari sisi amaliahnya. Di Ma’had Aly Tebuireng, kedua hal itu dikembangkan sebagai visi dan misi lembaga. Jadi, dari segi keilmuan (mahasantri) harus memiliki keilmuan yang matang dan sanad yang jelas. Kemudian dari sisi amaliah, mereka bisa menjadi teladan bagi masyarakat yang menerima dakwah mereka itu.

Kalau keduanya ini dimiliki, saya kira akan menjadi modal keberhasilan dakwah yang luar biasa. Jadi, tradisi di pesantren memang salah satunya adalah menjaga sanad keilmuan. Termasuk di Ma’had Aly Tebuireng. Dalam kajian-kajian keilmuan, kami tetap menjaga sanad keilmuan.

Bagaimana cara menjadikan mahasantri sebagai agen perubahan (agent of change)?

Di Tebuireng, sudah banyak terobosan. Satu yang digagas oleh almaghfurlah KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) adalah dengan mendirikan Balai Pendidikan dan Pelatihan (Badiklat) kader Pesantren Tebuireng. Secara struktur organisasi, Badiklat ini memang terpisah dari Ma’had Aly. Namun, peserta Badiklat tersebut seluruhnya adalah mahasantri Ma’had Aly Tebuireng.

Jadi, setelah mereka lulus kuliah dari Ma’had Aly, mereka wajib mengikuti Badiklat ini terlebih dahulu selama empat bulan. Hal itu dilakukan untuk membekali skill dakwah mereka. Selama empat bulan itu, mereka diberikan pendidikan dan pelatihan yang mungkin tidak diperoleh selama kuliah di Ma’had Aly. Ini dalam rangka menyiapkan mereka sebagai kader-kader yang agent of change.

Apa saja tantangan kader Ma'had Aly ke depannya, khususnya dalam berdakwah?

Saya kira, tantangan kader Ma’had Aly ini cukup beragam. Yang pertama adalah, bagaimana mereka juga dituntut untuk menguasai teknologi dan informasi. Jadi, mereka bisa memanfaatkan perkembangan teknologi informasi untuk dijadikan sebagai media dakwah.

Diharapkan pula, mereka tidak sekadar berdakwah secara langsung atau tatap muka. Mereka seyogianya mampu mengadakan dakwah secara virtual. Sebab, media sosial saat ini juga menjadi sesuatu yang sangat penting. Ini menjadi tantangan pula bagi kader-kader mahasantri Ma’had Aly Tebuireng.

Di samping dakwah secara virtual, tantangan yang juga tidak kalah besar adalah dakwah dengan datang secara langsung. Ini menjadi penting, khususnya di daerah-daerah yang masih tertinggal, termasuk kawasan pelosok di luar Jawa. Dalam hal ini, almarhum Gus Sholah telah memberikan contoh, umpamanya dengan mendirikan dan mendukung pembentukan cabang-cabang Pesantren Tebuireng di berbagai daerah.

Intinya, tantangan yang jelas adalah bagaimana lulusan-lulusan Ma’had Aly Tebuireng siap, baik untuk dikirim ke berbagai daerah yang memang cukup terbelakang atau lain-lain. Dan, ini tidak mudah. Untuk mencari kader-kader yang siap dikirim ke daerah-daerah tersebut perlu pelatihan dan pengarahan. Semua itu demi mengembangkan dakwah Islam.

Bagaimana cara menjadi mahasantri di Ma’had Aly Tebuireng?

Pertama, para calon peserta didik harus memiliki keilmuan dalam membaca kitab kuning standar. Kalau dahulu, yakni ketika Ma’had Aly Tebuireng masih berfokus dalam kajian fikih dan ushul fikih, maka mereka sekurang-kurangnya mesti menguasai kitab Fathul Qarib. Sekarang, setelah berubah fokusnya ke kajian hadis dan ilmu hadis, paling tidak para calon mahasantri harus menguasai Bulughul Maram.

Kedua, mereka juga memiliki kemampuan membaca Alquran dengan baik. Yang ketiga, mereka harus memiliki kemampuan dasar berbahasa Arab. Sebab, di Ma’had Aly Tebuireng ini sebagian besar mata kuliah yang disampaikan menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar.

Itulah syarat-syarat dari segi akademik. Ada pula pelbagai syarat nonakademik. Misalnya, seorang calon mahasantri wajib tidak merokok.

photo
Mahad Aly Hasyim Asyari Tebuireng di Jombang, Jawa Timur, masih berdekatan dengan kompleks pesantren tersebut. - (DOK ANTARA/Syaiful Arif)

Pentingnya Belajar dengan Sanad Keilmuan

Perkembangan teknologi informasi menghadirkan tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan Islam. Direktur (Mudir) Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng KH Nur Hannan mengatakan, disrupsi teknologi kadangkala membuat orang-orang cenderung menggampangkan belajar agama. Dalam arti, mereka sangat mengandalkan kajian melalui media-media sosial, tanpa merasa perlu untuk mengkaji secara langsung dari guru-guru yang bersanad jelas.

Oleh karena itu, Kiai Nur berpesan kepada generasi Muslimin agar tidak mengabaikan pengajaran tatap muka. Sebagai contoh, metode pembelajaran di pesantren-pesantren, yang tidak hanya berpusat pada kiai, melainkan juga kitab-kitab.

“Pesan yang paling utama adalah, belajar ilmu agama ini harus dari guru yang memilki sanad keilmuan yang jelas. Jelas artinya, ilmunya itu bersambung hingga ke Rasulullah SAW. Dan tradisi itu ada di pesantren,” ujar Kiai Nur Hannan kepada Republika, beberapa hari lalu.

Menurut dia, orang yang semata-mata belajar dari media sosial cenderung memahami materi berdasarkan logikanya sendiri. Ia tidak cukup memadai dalam mengambil pengertian dari guru-guru yang bisa dipertanggungjawabkan sanad keilmuannya.

“Sehingga, bisa jadi dia bukan memahami agama secara benar, tetapi justru akan menyimpang dari pemahaman agama Islam yang sebenarnya,” kata alumnus Universitas al-Azhar, Mesir, itu.

Kiai Nur Hannan menuturkan, dirinya sejak remaja sudah belajar ilmu-ilmu agama dari pesantren ke pesantren. Mulanya, ia menuntut ilmu di Pondok Pesantren Midanut Ta’lim, Mayangan, Jogorot, Jombang, Jawa Timur. Selanjutnya, ia hijrah ke Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras, Jombang. Tiga tahun kemudian, ia memperoleh kesempatan untuk meneruskan studi pendidikan tinggi ke Mesir.

Di Universitas al-Azhar, Kairo, jurusan hukum Islam atau fikih menjadi pilihannya. “Saya rasakan bahwa belajar di al-Azhar itu tidak bisa main-main,” katanya.

Sebagai contoh, jika seorang mahasiswa tidak mampu mengikuti perkuliahan, maka para dosen al-Azhar tidak akan memberikan nilai tambahan. Yang mendapatkan nilai rendah betul-betul akan gagal alias tidak diluluskan.

Setelah empat tahun belajar di Negeri Piramida, Kiai Nur Hannan kembali ke Indonesia. Mulanya, ia ditugaskan untuk ikut mengajar di Pondok Pesantren Tebuireng. Saat itu, lembaga tersebut dipimpin KH Yusuf Hasyim, yang belakangan menggagas pendirian mah’ad aly.

“Kalau saya di Ma’had Aly ini juga mengajar hadis, tetapi hadisnya yang berkaitan dengan fikih,” terang dia.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat