Seorang siswa belajar secara daring dibantu orangtuanya menggunakan fasilitas WiFi gratis di Perumahan Depok Mulya 1, Depok, Jawa Barat, Kamis (30/7). | ANTARA FOTO/ASPRILLA DWI ADHA

Opini

Menemani Anak Belajar di Rumah

Orang tua kian menyadari, mendidik anak butuh ketangguhan, cinta, dan hati yang lapang.

ANGGI AFRIANSYAH, Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI

Beberapa pekan ini, isi whatsapp group (WAG) yang penulis ikuti berkisar tentang repotnya para orang tua menyesuaikan diri menghadapi pembelajaran pada tahun ajaran baru.

Situasi pandemi yang belum terkendali, menyebabkan sebagian besar anak harus tetap belajar di rumah. Sementara itu, para orang tua juga sudah mulai kembali bekerja, baik melalui berbagai komunikasi daring maupun bekerja di kantor.

Salah satu rekan yang saat ini sedang berjuang menyelesaikan kuliah di jenjang pascasarjana, harus mengatur waktu antara bekerja, kuliah, dan mengasuh anaknya yang masih balita.

Sambil menatap layar laptop, entah untuk zoom meeting atau mengerjakan tugas, ia mengasuh kedua anaknya. Sesekali, sambil zoom meeting, ia menggendong anaknya hingga terlelap.

Aktivitas mengasuh anak dilakukan bergantian dengan suaminya, yang juga harus mengajar dan mengisi seminar daring dari rumah. Pada masa pandemi, pengasuh kedua anaknya diistirahatkan sementara. Mereka harus berbagi tugas menemani anak belajar dan bermain.

 
Orang tua semakin menyadari, mendidik anak membutuhkan ketangguhan, cinta, dan hati yang lapang. Mendampingi anak adalah laku pendidikan menyeluruh.
 
 

Teman lain, berbagi peran dengan sang istri yang juga bekerja dari rumah. Anaknya yang masih berusia 16 bulan, memerlukan perhatian ekstra. Peran pengasuhan dijalani berdua karena di rumah tidak ada asisten rumah tangga yang membantu mereka.

Cerita lain, salah satu senior di kantor, meminta secara khusus agar rapat-rapat dilakukan setelah jam dua belas. Sebab, selain gawai yang dimilikinya harus dipakai oleh ketiga anaknya, ia juga harus menemani ketiganya belajar.

Kembali ke keluarga

Pendidikan di keluarga kembali mendapat porsi terbesar dan utama. Orang tua semakin menyadari, mendidik anak membutuhkan ketangguhan, cinta, dan hati yang lapang. Mendampingi anak adalah laku pendidikan menyeluruh.

Momen bekerja dari rumah dan mendampingi anak belajar di rumah adalah kemewahan yang tidak dialami oleh semua keluarga. Penulis mendapatkan kemewahan tersebut karena istri harus bekerja di luar rumah dan menemani anak kami yang berusia lima tahun.

Menemani anak usia lima tahun, bukanlah perkara mudah. Apalagi, jika ada jadwal rapat di kantor, tenggat pekerjaan, ataupun presentasi webinar. Anak kami sudah bersekolah di taman kanak-kanak.

 
Dari sinilah, penulis belajar banyak dari guru-gurunya yang andal dan sabar. Bayangkan saja, mereka harus mencari berbagai cara kreatif agar anak-anak tetap antusias belajar dan bermain.
 
 

Ia memiliki jadwal rutin belajar tatap muka melalui Google meet setiap hari. Sekolahnya menyebut progam belajar di rumah sebagai interactive distance learning. Sebab memang, beragam aktivitas meski terbatas, dilakukan via layar laptop ataupun gawai.

Dari sinilah, penulis belajar banyak dari guru-gurunya yang andal dan sabar. Bayangkan saja, mereka harus mencari berbagai cara kreatif agar anak-anak tetap antusias belajar dan bermain. Mereka bernyanyi, berolahraga, menari, melompat, dan melakukan beragam aktivitas yang membuat anak-anak bersemangat.

Salah satu yang menyenangkan dari menemani anak belajar adalah “tugas-tugas” yang diberikan oleh guru-guru dipenuhi dengan lagu-lagu, permainan, aktivitas membaca bersama, ataupun berbagai aktivitas fisik yang terkait dunia anak-anak.

Tujuannya agar pendidikan harus diinternalisasikan secara riang dan membawa kegembiraan. Dari berbagai aktivitas tersebut, kami belajar kembali mendampingi anak.

Keseimbangan

Stephan Gerhard Huber & Christoph Helm (2020) dalam Covid-19 and schooling: evaluation, assessment and accountability in times of crises—reacting quickly to explore key issues for policy, practice and research with the school barometer mengukur barometer sekolah pada masa pandemi, dengan mengumpulkan berbagai perspektif dari berbagai aktor, termasuk di antaranya orang tua atau keluarga.

Salah satu hasilnya menunjukkan, sumber daya rumah, seperti peralatan teknis dan dukungan orang tua memiliki peran dalam hasil belajar siswa, terutama dari segi emosi, upaya untuk belajar, dan keberhasilan belajar.

Dalam praktiknya, apa yang disebutkan Huber dan Helm (2020) memang tepat. Dukungan teknis dan emosional menjadi hal yang sangat mendasar. Dari segi teknis sangat terkait dengan kapasitas orang tua, baik secara materiel maupun kemampuan membantu anak belajar.

 
Bagi anak-anak usia dini, peran orang tua untuk menemani secara intensif menjadi sangat penting. Tingkat kemandirian anak-anak usia dini tentu berbeda dengan anak-anak yang lebih besar.
 
 

Hal teknis tersebut kemudian disokong oleh dukungan emosional yang menyeluruh. Dari segi emosional, tensi emosi yang meningkat pasti tidak bisa terhindarkan. Di sinilah kesabaran diuji. Apalagi, di tengah bekerja dari rumah intensitas pekerjaan justru lebih meningkat.

Sering kali karena harus menemani anak, banyak pekerjaan yang baru bisa dikerjakan pada waktu malam. Tentu saja membuat keseimbangan, antara menemani anak dan bekerja, menjadi perkara yang pada praktiknya tidak mudah untuk diimplementasikan.

Bagi anak-anak usia dini, peran orang tua untuk menemani secara intensif menjadi sangat penting. Tingkat kemandirian anak-anak usia dini tentu berbeda dengan anak-anak yang lebih besar.

Mereka masih memerlukan banyak bantuan orang dewasa di sekitarnya dalam menemani aktivitas keseharian. Pada momen ini, proses dialog dengan anak mesti diintensifkan. Dialog di sini dapat diartikan sebagai ngobrol santai dengan anak.

Tentu saja, cara berkomunikasinya mesti disesuaikan dengan usia anak. Sebab, sudah sangat jelas, anak-anak perlu didengar. Apa yang menjadi keinginan mereka, apakah belajar dari rumah membebani mereka, dan berbagai problem lainnya.

Dari obrolan-obrolan santai dari hati ke hati antara orang tua dan anak, berbagai keresahan yang dirasakan oleh anak ataupun orang tua akan lebih terurai. Apalagi, pada masa pandemi ini rumah menjadi lokus, yakni ruang privat dan publik saling bertautan.

Jika tidak ada rasa saling pengertian antara orang tua dan anak, situasi rumah akan penuh gejolak emosi. Apalagi, dalam praktiknya, sekolah-sekolah masih menuntut berbagai capaian akademik yang perlu dipenuhi oleh anak.

Tidak jarang, ditemui orang tua yang kemudian ikut sibuk mengerjakan berbagai tugas yang dibebankan kepada anak. Tagihan tugas kantor dan perlunya intensitas dalam mendampingi anak kemudian saling berkelindan dalam keseharian.

Jika tidak pandai mengatur emosi, rumah tak akan menjadi surga yang nyaman. Masa pandemi belum dapat diperkirakan kapan berakhir.

Sebab itu, semua pihak harus tetap bersabar dan terus berupaya mencari cara yang efektif agar belajar dari rumah tetap berjalan efektif, dan tidak menegasikan sisi psikologis anak, orang tua, ataupun para guru.

Bagi orang tua yang masih memiliki kemewahan bekerja dari rumah, optimalkanlah proses menemani anak karena mungkin inilah momen terbaik bersama anak-anak kita. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat