Ts'ai Lun seorang pejabat CIna pada awal abad kedua Masehi merevolusi teknik pembuatan kertas menjadi lebih presisi. | DOK Wikipedia

Tema Utama

Sejarah Kertas Dalam Peradaban Islam

Peradaban Islam lantas mengadopsi teknologi kertas itu sehingga tersebar ke seluruh penjuru dunia.

OLEH HASANUL RIZQA

Adanya kertas merevolusi tradisi tulis-menulis dalam sejarah umat manusia. Pada mulanya, bangsa Cina berabad-abad silam telah merintis metode pembuatan kertas. Berkat kontak budaya, peradaban Islam lantas mengadopsi teknologi itu sehingga tersebar ke seluruh penjuru dunia.

Sejarah pembuatan kertas

Tradisi tulis menjadi tonggak pembeda antara masa prasejarah dan awal sejarah. Sejak 3000 tahun sebelum Masehi (SM), berbagai bangsa telah mengenal komunikasi melalui tulisan.

Sebut saja peradaban kuno yang tumbuh dan berkembang di Meso potamia (kini Irak), Mesir, atau Cina. Bermacam-macam alat mereka pakai untuk alas menulis, semisal batu, loh dari lempung yang dibakar, atau kulit hewan yang telah disamak.

Di antara perangkat itu, papirus menjadi medium yang cukup tersohor karena keandalannya. Peradaban Mesir Kuno menggunakan papirus sebagai media tulis-menulis.

Benda itu berasal dari olahan saripati tanaman Cyperus papyrus, yang banyak ditemui di sekitar Sungai Nil. Papirus cukup tebal sehingga tidak mudah koyak. Bobotnya pun ringan sehingga cukup ringkas untuk dibawa-bawa, tidak seperti prasasti batu atau kayu.

Pada masa sebelum Masehi, papirus banyak dipakai beragam bangsa di Asia, Afrika Utara, dan Eropa. Pengaruhnya terus bertahan hingga ratusan tahun, khususnya sebelum maraknya penggunaan kertas. Malahan, ia identik sebagai alas menulis. Kata kertas dalam bahasa Inggris, paper, berakar dari nama tumbuhan Cyperus papyrus.

Orang-orang Mesir Kuno disebut sebagai yang pertama menginisiasi pembuatan lembaran papirus. Caranya dengan pertama-tama menghilangkan lapisan yang berserat dari batang Cyperus papyrus. Selanjutnya, lembaran-lembaran batang tanaman yang telah dipipihkan itu diletakkan secara berdampingan.

Setelah dibasahi secukupnya, satu sama lain ditumpuk lalu ditekan hingga mampat. Begitu kering, getah tanaman itu akan berfungsi sebagai perekat alami. Papirus pun siap dipakai untuk menulis.

Banyak artefak peninggalan Mesir Kuno dan Yunani Kuno yang berupa lembaran-lembaran papirus. Berbeda dengan kertas, permukaan papirus cenderung kasar karena menyisakan serabut-serabut kecil batang tanaman pada permukaannya. Alhasil, tulisan yang terdapat pada benda itu tidak bisa benar-benar rata atau tampak seperti bergelombang.

Popularitas papirus lama kelamaan tergerus oleh kertas. Cina menjadi tempat lahirnya penemuan revolusioner itu. Michael H Hart dalam bukunya yang mengulas daftar 100 tokoh dunia paling berpengaruh di sepanjang sejarah, bahkan menempatkan sang penemu kertas, Ts'ai Lun, dalam urutan 10 besar. Tepatnya, peringkat ketujuh --setelah Santo Paulus dan sebelum Johann Gutenberg.

Ts'ai Lun (sering pula disebut Ts'ai Lung atau Cai Lun) hidup pada era Dinasti Han. Wangsa itu menguasai sebagian Cina antara abad pertama dan kedua Masehi. Ia diperkirakan lahir pada tahun 50 dan meninggal dunia 71 tahun kemudian.

Menurut Hart, banyak rumor yang mengeklaim sosok Ts'ai Lun hanyalah legenda. Beberapa orang menyebut, nama itu semata-mata julukan bagi umumnya pengrajin kertas pada zaman Cina klasik. Namun, lanjut Hart, berbagai penelitian sejarah era kontemporer berhasil memastikan, sosok itu nyata adanya. Lelaki kelahiran Kota Leiyang itu bahkan sempat menjadi pejabat di lingkungan istana.

photo
Kertas yang kita kenal sekarang merupakan hasil rintisan dari kebudayaan Cina, yang lantas diadopsi peradaban Islam. - (DOK Wikipedia)

Inovasi dari Cina

Bangsa Cina sudah memiliki perangkat untuk menulis, setidaknya dua abad sebelum lahirnya Ts'ai Lun. Namun, sang kasim yang mengabdi pada Kaisar He itu berhasil menghadirkan inovasi. Caranya memproduksi dan mengolah kertas dari bahan-bahan tenaman mengubah sama sekali teknologi menulis.

Pada tahun 105, Ts'ai Lun menghadap kaisar sembari membawa contoh kertas yang berhasil diciptakannya. Dikisahkan, sang raja begitu terkesima dengan kualitas naskah yang dibawa seorang rakyatnya itu.

Permukaan kertas buatan lelaki itu terasa lebih halus daripada lembaran-lembaran yang biasa dipakainya untuk menuliskan titah kerajaan. Sejak saat itu, Ts'ai Lun diterima sebagai pejabat resmi kekaisaran.

Sebelum adanya kertas hasil inovasi Ts'ai Lun, orang-orang Cina, layaknya bangsa-bangsa lain kala itu kerap menggunakan serat tanaman sebagai naskah. Biasanya, kulit kayu dipergunakan bila tulisan yang hendak diguratkan cukup pendek. Namun, bila teksnya lebih panjang, serat kulit bambulah yang dipakai.

Pihak istana kerap kewalahan bila menyimpan naskah-naskah resmi yang berupa gelondongan kulit kayu atau bambu. Sebab, benda-benda itu memakan cukup banyak tempat. Di samping itu, bahan-bahan tersebut mudah rapuh, rentan menjadi sasaran rayap, dan lapuk bila dibiarkan lembab. Para petugas istana pun terpaksa sering-sering menyalin isi dari masing-masing naskah sebagai cadangan.

Memang, ada beberapa alternatif di luar kulit kayu atau bambu sebagai medium menulis. Sebagai contoh, para bangsawan Cina kerap memanfaatkan kain atau sutra untuk alas tulisan. Namun, hal itu tentunya memiliki kekurangan.

Dari segi ekonomis, menulis dengan kain atau sutra cenderung boros. Apalagi, jika teks yang harus dituliskan atau disalin cukup panjang, tidak sekadar pesan singkat atau aforisme. Tekstil yang sedianya dipakai untuk bahan membuat pakaian justru akan terbuang sia-sia.

Oleh karena itu, inovasi yang dihadirkan Ts'ai Lun menjadi solusi praktis bagi kaisar. Menurut Hart, tokoh Tiongkok itu menjadikan bambu sebagai bahan dasar pembuatan kertas. Serat bambu itu lalu ditambahkan dengan sedikit kain perca, jejaring, dan--yang terpenting--serpihan kulit kayu murbai (mulberry) atau cendana (sandalwood).

Semua bahan itu dicampur, lalu direbus dalam tungku yang dipanaskan api. Dalam keadaan mendidih, seluruh komposisi itu pun berubah menjadi bubur kertas. Saat itulah, si pengrajin terus mengaduk adonan tersebut dengan tongkat batu atau kayu, sembari menambahkan air dalam takaran tertentu hingga alot.

Bahan perekat khusus lalu dituangkan ke dalamnya. Akhirnya, adonan itu diratakan pada cetakan dan diperas sampai air yang masih terkandung di dalamnya dapat keluar. Hasilnya, kertas yang benar-benar kering sehingga bisa dipakai untuk menulis.

Para sejarawan modern umumnya meyakini, penemuan Ts'ai Lun bukanlah sesuatu yang datang tiba-tiba, melainkan berasal dari pengamatan yang gradual terhadap kerajinan pembuatan kertas yang sudah ada pada masa itu. Ia hanya menyempurnakan proses pengolahan bubur serat bambu sebagai bahan utama kertas, sesuatu yang sudah dikenal peradaban Cina setidaknya sejak 200 SM.

Sinolog Joseph Needham dalam buku Science and Civilisation in China (1985) menerangkan, ada dugaan bahwa Ts'ai Lun terinspirasi kebiasaan penduduk kampung kelahirannya, Leiyang. Mereka diketahui kerap memanfaatkan kulit pohon murbai sebagai bahan pembuatan kain murahan.

Oleh karena kualitasnya kalah jauh dibandingkan sutra, orang-orang Leiyang tak jarang menjadikan kain itu sebagai alas menulis. Bagaimanapun, Needham menekankan, hal itu tidak lantas menjadi alasan untuk mengesampingkan ketokohan Ts'ai Lun. Sebab, hasil inovasinya terbukti monumental dalam sejarah tidak hanya bagi bangsa Cina, melainkan juga kemanusiaan umum. Pantaslah bila Michael H Hart memasukkannya ke dalam daftar figur-figur pengubah sejarah.

 
Pantaslah bila Michael H Hart memasukkannya ke dalam daftar figur-figur pengubah sejarah.
 
 

Sementara itu, Kiyofusa Narita dalam Life of Ts'ai Lung and Japanese Paper-Making (1966) menuturkan, cerita dari hikayat-hikayat Cina klasik. Suatu hari, Ts'ai Lun ditugaskan untuk menata buku-buku di perpustakaan pribadi kaisar.

Jangan bayangkan buku demikian seperti yang biasa kita jumpai hari ini. Sebab, bentuknya jauh lebih menyerupai gulungan atau tumpukan kulit-kulit kayu yang berukuran besar sehingga sukar dipindah-pindah.

Tugas itu lantas membuat Ts'ai Lun berpikir keras untuk menyederhanakan buku-buku itu. Dari sanalah idenya datang untuk terus bereksperimen menciptakan kertas dari bahan yang lebih padu.

Hasil rintisan Ts'ai Lun dengan cepat terkenal di seluruh Cina. Apalagi, bambu sebagai bahan utama pembuatan kertas amat mudah didapatkan. Memang, pada mulanya teknik penciptaan kertas ala Ts'ai Lun dirahasiakan. Hanya kalangan istana dan birokrasi kekaisaran yang mengetahuinya.

Namun, lama-kelamaan pengetahuan itu tersebar luas karena dorongan aspek ekonomi. Pabrik-pabrik kertas pun bermunculan di berbagai daerah. Dan, sejalan dengan geliat ekspansi Cina, teknologi ini lantas ikut menyebar. Korea dan Jepang menjadi kawasan pertama yang menikmati penemuan Ts'ai Lun itu. Sejak saat itu, berbagai naskah resmi dan keagamaan di Asia Timur marak menggunakan kertas yang lebih tahan lama dibandingkan sebelumnya.

Tersohor berkat kejayaan Islam

Perang Talas pada 751 di Asia Tengah memperhadapkan antara Kekhalifahan Abbasiyah dan Dinasti Tang. Waktu itu, balatentara Muslimin bersekutu dengan Kerajaan Tibet yang kian terjepit oleh ekspansi dari Cina. Kedua belah pihak pun saling unjuk kekuatan di tepian Sungai Talas, yang alirannya membelah negeri Kirgizstan dan Kazakhstan modern.

Pertempuran itu pada akhirnya dimenangkan Abbasiyah. Cukup banyak musuh yang berhasil ditangkap sebagai tawanan. Beberapa di antaranya belakangan diketahui sebagai pengrajin kertas.

Menurut sejarawan Muslim dari abad ke-11, Thaalibi, inilah awal mulanya peradaban Islam mengadopsi kertas. Tak membutuhkan waktu lama, pabrik kertas pertama dalam wilayah Islam pun berdiri di Samarkand.

Khalifah Abbasiyah menyadari betapa revolusionernya penemuan yang dirintis seorang Cina, Ts'ai Lun, berabad-abad silam itu. Sebab, kertas yang diproduksi orang-orang Cina memiliki kualitas yang lebih halus, dengan bobot yang lebih ringan pula. Alhasil, bahan itu jauh lebih praktis sebagai alas menulis bila dibandingkan gulungan papirus, kulit hewan atau batu.

Memang, masyarakat yang menghuni Asia Tengah sudah membuat dan memakai kertas sejak ratusan tahun sebelum perang itu terjadi. Bagaimanapun, kontak budaya dengan Islam membuat teknologi pembuatan kertas itu lebih dikenal secara mondial.

Sejak zaman Abbasiyah, makin banyak pabrik kertas didirikan di berbagai kawasan dunia Islam. Dan, ratusan tahun berikutnya, masyarakat Eropa pun mengetahui kertas melalui kontak budaya dengan peradaban Islam, terutama di Andalusia (Spanyol).

Menjelang abad kedelapan, toko-toko kertas menjamur di Baghdad, ibu kota Kekhilafahan Abbasiyah. Seturut dengan itu, gerakan literasi pun semakin berkembang pesat. Teks-teks yang sebelumnya tercatat dalam berbagai medium--seperti gulungan papirus, permukaan batu, atau kulit hewan--kini disalin ulang pada kertas.

Secara otomatis, makin banyak perpustakaan di kota berjulukan seribu satu malam itu. Akhirnya, Baghdad kian solid sebagai kota kosmopolitan, tempat kejayaan Islam berpadu dengan keunggulan sains dan teknologi.

Pada periode awal, sempat ada beberapa kendala dalam menyebarluaskan teknik pembuatan kertas ke seluruh dunia Islam. Misalnya, tidak semua daerah Muslimin banyak ditumbuhi pohon murbai (mulberry) atau cendana (sandalwood).

Para ilmuwan Muslim pun memutar otak. Sebuah terobosan lain akhirnya tercipta. Mereka mengganti kulit pohon murbai dengan pohon linen, kapas, dan serat kayu yang ketebalannya kira-kira sama.

Inovasi lainnya berkaitan dengan proses fermentasi untuk mempercepat pemotongan linen dan serat. Para teknisi Muslim masa itu menambahkan pemutih atau bahan kimiawi lainnya sehingga permukaan kertas yang diperoleh menjadi lebih bersih.

Awalnya, proses pembuatan kertas sangat mengandalkan tenaga manusia (tukang). Namun, sejak 1151 M kaum Muslimin di Spanyol telah memanfaatkan kincir air untuk menggerakkan godam penumbuk adonan atau bubur kertas. Penggilingan bahan-bahan kertas pun tak lagi semata-mata bertopang pada tukang dalam jumlah banyak.

Oleh karena adanya efisiensi tenaga, kertas yang dihasilkan pun dapat dijual dengan harga yang lebih murah. Sejak saat itu, industri kertas menyebar dengan cepat ke negeri-negeri Muslim.

Tak hanya kertas, peradaban Islam pun mengadopsi teknik pembuatan tinta dari Cina. Bangsa Tiongkok umumnya membuat tinta dari campuran jelaga hasil pembakaran kayu cemara, lampu minyak, dan jelatin dari kulit binatang. Produksi tinta berkembang di setiap kerajaan dari masa ke masa, seperti Abbasiyah (749-1258), Seljuk (1055- 1243), Safawiyah (1520-1736), dan Mughal (1526-1857).

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat