Sejumlah warga bergotong royong menaikan lambang negara Garuda Pancasila di Urutsewu, Ampel, Boyolali, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. | ANTARA FOTO

Opini

Pancasilanomics dan Ekonomi Islam

Pancasilanomics dan ekonomi Islam harus saling bersinergi dalam menegakkan kemakmuran dan keadilan sosial

 

DIDIN S DAMANHURI, Guru Besar Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB

Pancasila merupakan Darul Ahdi Wa Syahadah, konsep yang dipakai Muhammadiyah untuk menjelaskan adanya konsensus nasional, yaitu Pancasila sebagai dasar negara yang sudah sesuai dengan Islam. Demikian menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof KH Haedar Nasir (Berita Muhammadiyah).

Namun, dengan kontroversi adanya RUU HIP, yang mau digiring kepada Ekasila: Gotong Royong, ormas Islam dan keagamaan lainnya menolak RUU tersebut.

Hal ini juga karena tak dicantumkannya Tap MPRS No XXV/1966 tentang larangan PKI dan pengembangan ajaran Marxisme dan/atau Leninisme dalam RUU tersebut.

Argumennya lebih dikunci lagi, Pancasila sudah final sebagaimana sudah menjadi bagian dalam pembukaan UUD 1945 di alinea terakhir yang juga telah menjadi konsensus nasional sejak 18 Agustus 1945.

 
Hikmah adanya perdebatan nasional ini adalah makin memperkuat komitmen seluruh elite khususnya dan bangsa Indonesia umumnya terhadap Pancasila.
 
 

Namun, hikmah adanya perdebatan nasional ini adalah makin memperkuat komitmen seluruh elite khususnya dan bangsa Indonesia umumnya terhadap Pancasila.

Alih-alih membuat kontroversi kontraproduktif, penulis pada 20 Juni meluncurkan dua buku sekaligus webinar tentang Ekonomi Pancasila dalam Pusaran Globalisasi.

Dalam pengembangan keilmuan dengan konteks Pancasila dan ekonomi Pancasila, adakah Pancasila dan ekonomi Pancasila secara empiris? Bagaimanakah hubungan ekonomi Pancasila dengan pengembangan ekonomi Islam?

Pertama, kita harus tempatkan secara keilmuan, Pancasila itu bukan kata benda, melainkan "kata kerja’’. Artinya, nilai-nilai Pancasila sudah ada kontribusinya dari pemerintahan tahun 50-an, 60-an, masa Pak Harto, dan era Reformasi.

Misal pada 50-an, mengatasi separatisme dan membangun lapisan ekonomi Bumiputera lewat Politik Benteng. Masa Bung Karno, mengembangkan etos nasionalisme dan Trisakti, yakni kemandirian ekonomi, kedaulatan politik, dan kepribadian dalam budaya.

Masa Pak Harto, berhasil berswasembada dan keterjangkauan rakyat terhadap kebutuhan pokok, konten teknologi positif dalam pertumbuhan ekonomi, serta stabilitas politik dengan pertumbuhan ekonomi jangka panjang sekitar tujuh hingga delapan persen.

 
Dalam ajaran Islam, keseluruhan upaya dan hasilnya itu merupakan perwujudan surah al-Ma'un.
 
 

Lebih spektakuler lagi, kemiskinan dari 56 persen (1970) menjadi 13 persen (1999), Rasio Gini sekitar 0,3 (merata), serta melek huruf dari sekitar 45 persen (1970) menjadi 97 persen (1999), berkat SD Inpres kaum miskin memiliki akses ke berbagai aspek kemajuan bangsa.

Dalam ajaran Islam, keseluruhan upaya dan hasilnya itu merupakan perwujudan surah al-Ma'un.

Sementara itu, pada masa Reformasi, terdapat SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) dan UU BPJS Kesehatan dan UU Jamsostek sebagai pelaksanaan Pasal 34 UUD 1945 bahwa fakir, miskin, dan anak telantar dipelihara negara.

Ratusan triliunan rupiah digelontorkan, dengan segala kritiknya, sekitar 98 juta penduduk miskin bebas premi dan 82 juta penduduk bayar premi untuk kesehatan dijamin BPJS Kesehatan.

Sementara itu, sekitar 20 juta buruh swasta dengan empat skema (kecelakaan kerja, hari tua, kematian, dan kesehatan) dijamin BP Jamsostek. Kedua jaminan sosial tersebut berkontribusi terhadap turunnya Rasio Gini dari 0,41 (2014) menjadi 0,38 (2019).

Tentu berbagai perubahan sejak Reformasi, dengan format demokrasi politik, kebebasan pers, otonomi daerah, dan seterusnya, sementara ini belum terlihat outcome-nya secara signifikan terhadap kasejahteraan dan keadilan sosial.

 
Sebaliknya, agama tanpa Pancasila di negara yang sangat heterogen plus perbedaan etnis, suku bangsa, bahasa lokal, maka akan mustahil menjadi Indonesia.
 
 

Dari kalangan masyarakat sipil, seperti Muhammadiyah, NU, dan organisasi keagamaan lainnya telah lama berhasil membangun pendidikan dan kesehatan masyarakat. Ini juga manifestasi mencerdaskan rakyat dan memajukan kesejahteraan umum.

Lebih jauh, masyarakat, baik pada "masa susah" (1950- 1970) maupun "masa lebih berkemudahan’’ (1970 - sekarang), menjaga akhlak dan martabatnya dari invasi budaya luar. Ini menjadi pertahanan minimal untuk tetap setia dengan nilai Pancasila dan agamanya.

Dengan demikian, sebenarnya Pancasila itu hidup karena dukungan agama dan keyakinan kepada Tuhan YME. Jadi, antara Pancasila dan agama sudah saling menghidupi. Pancasila tanpa agama hanya akan menjadi slogan.

Sebaliknya, agama tanpa Pancasila di negara yang sangat heterogen plus perbedaan etnis, suku bangsa, bahasa lokal, maka akan mustahil menjadi Indonesia. Pancasila yang termaktub di Pembukaan UUD 45 menjadi raison d'etre, alasan keberadaan NKRI.

Mengubahnya berarti membubarkan negara. Sedangkan dalam Ekonomi Pancasila, dalam uraian di atas menggambarkan bagaimana dari waktu ke waktu setiap pemerintahan ada hasil yang telah dicapai terhadap upaya mewujudkan EP tersebut.

Pancasilanomics dan ekonomi Islam

Pancasilanomics mencakup bukan hanya dalam pengertian filosofis ekonomi yang berbasis nilai-nilai Pancasila, melainkan juga pedoman operasional yang termaktub dalam sila-sila ekonomi. Yakni, Pasal 23, hasil amendemen, yang dalam ayat 2 menyebutkan bahwa anggaran (APBN/APBD) harus sebesar-besarnya memakmurkan rakyat. Lalu, Pasal 27 yang menyatakan, setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Pasal 33 yang sangat fundamental tentang pentingnya perencanaan jangka panjang, sifat active and affirmative state serta sumber daya alam dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (ayat 1,2, dan 3). 

 
Pancasilanomics dan ekonomi Islam harus saling bersinergi dalam menegakkan kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
 
 

Dalam upaya mem-Pancasila-kan Indonesia, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, dalam arti lebih memakmurkan rakyat, mengurangi kemiskinan dan ketimpangan, dan mewujudkan keadilan sosial, juga merupakan maqosyid syariah. Yakni, sejalan dengan tujuan ekonomi Islam, sekarang sering dipopulerkan dengan ekonomi syariah, yakni menegakkan keadilan.

Jadi, di samping pengembangan perbankan dan keuangan syariah yang dimulai sejak 1990 hingga sekarang, yang kira-kira omzetnya sekitar Rp 500 triliun (dengan pertumbuhan 60 persen per tahun), adalah hanya salah satu aspek dari ekonomi Islam yang lebih luas.

Dan itu telah dan terus akan diikhtiarkan oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk memakmurkan rakyat, mengurangi kemiskinan dan ketimpangan, dan mewujudkan keadilan sosial.

Dari pengertian tautologis tersebut, sebenarnya juga berarti bahwa implementasi Pancasilanomics akan saling memperkuat dengan ekonomi Islam. Ekonomi Islam bukan perbankan dan keuangan syariah semata.

Bahkan, kalau selama ini realisasi mudarabah dan musyaraqah dalam perbankan Islam masih belum dominan, sebenarnya perbankan syariah pun belum sepenuhnya menegakkan maqosyid syariah. 

Dengan demikian, antara Pancasilanomics dan ekonomi Islam harus saling bersinergi dalam menegakkan kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Semoga.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat