Petugas melayani pengurusan perizinan usaha di ruang Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Pusat di Gedung BKPM, Jakarta, Selasa (7/7/). | GALIH PRADIPTA/ANTARA FOTO

Opini

Fondasi Pelayanan Publik

Salah kebijakan akan semakin merugikan publik yang sudah sulit saat ini.

M RIZKI PRATAMA, Tenaga Pengajar Prodi Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya

Birokrasi pada era governansi plus krisis saat ini, seharusnya tidak hanya fokus pada internal organisasi, tetapi bagaimana memberikan nilai tambah bagi publik dengan respons paling optimal.

Dalam konteks normal baru, yang tampaknya juga belum begitu normal, tentu birokrasi menghadapi pilihan sulit, antara mengatur diri mereka sendiri melalui berbagai protokol kesehatan dan bagaimana tetap mengoptimalkan pelayanan publik.

Secara realistis, dengan perspektif internal birokrasi muncul beberapa poin agar birokrasi tetap berkinerja optimal, seperti fleksibilitas kantor melalui work from home, pengukuran kinerja yang tetap jelas, dan digitalisasi pekerjaan (Prasojo, 2020).

Namun, secara eksternal, yaitu birokrasi sebagai organisasi pelayanan publik, orientasi ke publik harus tetap optimal. Sementara itu, kita paham, sumber daya birokrasi terbatas di tengah performa birokrasi kita yang dipandang sebelah mata, bahkan sebelum pandemi.

Salah kebijakan akan semakin merugikan publik yang sudah sulit saat ini. Rumus fondasi pelayanan publik harus tetap muncul, bahkan bertambah.

Pertama, keterlibatan antarsektor tidak hanya negara. Kedua, adopsi teknologi informasi secara masif. Dan ketiga, businesslike process, yakni sektor bisnis menjadi benchmark pelayanan publik.

Namun, mari kita perhatikan realitas, masyarakat yang membutuhkan pelayanan administratif tetap mengular untuk mengantre, mereka yang sakit tetap berjejer di lorong-lorong poli rumah sakit, penerima bantuan pemerintah tetap harus mengantre.

Sama sekali tak efisien dan efektif, terutama untuk melindungi masyarakat dari pandemi yang membutuhkan kedisiplinan kontak fisik seminimal mungkin. Banyak yang seharusnya dapat diurus lewat rumah, tetapi rumit harus ke kantor pelayanan publik.

 
Contoh sederhana, ada proses membalik masyarakat harus datang ke kantor untuk mendapatkan pelayanan publik, tetapi petugas pelayanan publik yang dapat pergi dari pintu ke pintu.
 
 

Pelayanan publik yang digital merupakan solusi saat ini. Sayangnya,  bertahun-tahun berlalu masih jalan di tempat. Ada juga pengorbanan aparat pelayanan publik yang tetap bekerja di lapangan, di antaranya dokter, perawat, tenaga medis, petugas kepolisian, TNI, dan ASN.

Mereka juga masih menjalankan administrasi manual yang tak terintegrasi, koordinasi, dan sambung-menyambung data semakin rumit di tengah situasi yang sulit. Jika semua sudah terintegrasi dan go online, tentu mempermudah kerja mereka di lapangan.

Menerapkan protokol kesehatan saja tidaklah cukup jika prioritas kesejahteraan publik yang diutamakan, perlu inovasi radikal agar pelayanan publik bukan menjadi beban masyarakat, dan justru menjadi pintu masuk meningkatkan kesejahteraan mereka.

Inovasi radikal ini tidak harus dimaknai mereformasi total birokrasi kita, akan tetapi lebih pada pola pikir yang harus membalik posisi birokrasi sebagai institusi pelayanan publik, bukan institusi yang dilayani publik.

Contoh sederhana, ada proses membalik masyarakat harus datang ke kantor untuk mendapatkan pelayanan publik, tetapi petugas pelayanan publik yang dapat pergi dari pintu ke pintu.

Atau, lebih efisien lagi jika barangkali dokumen pelayanan publik dapat dikirim melalui jasa ekspedisi dan dikembalikan ke alamat pemohon, bahkan peluang menggunakan jasa antaran daring juga masih terbuka. Tentu antrean dapat berkurang.

Tentu going digital tidak juga 100 persen menyelesaikan masalah sebab kesenjangan digital kita cukup lebar, sehingga perlu tetap mengalibrasi ulang pelayanan publik sesuai konteks. Mungkin ada kombinasi digital dengan manual.

Pengalaman sistem pembelajaran daring di semua level kemarin, jelas menunjukkan kelemahan proses migrasi digital kita yang masih memerlukan usaha jangka panjang dan tidak bisa cepat, untuk mengatasi permasalahan pelayanan publik saat ini.

Mengurangi kerugian publik akibat pandemi melalui pelayanan publik adalah tugas utama pemerintah saat ini, jika berkaca pada kasus pembelajaran daring. Sayangnya, kita harus mengorbankan capaian pembelajaran yang kurang optimal.

 
Sejauh ini kita memang lambat melakukan progres pelayanan publik pada era pandemi, tetapi harapan besar jangan sampai kita semua terlambat.
 
 

Era pandemi dan normal baru ini akan menciptakan babak baru dalam pelayanan publik. Tentu negara yang benar-benar peduli pada kesejahteraan akan segera memformulasikan sistem pelayanan publik yang adaptif.

Kita mungkin perlu belajar pengalaman negara yang cukup sukses mengendalikan Covid-19 seperti Korea Selatan (Kim, 2020) dengan kacamata pelayanan publik. Pertama, respons cepat untuk segera beradaptasi dan merespons dengan prima kebutuhan publik.

Kedua, bekerja sama antarsektor tidak hanya negara, tetapi juga nonnegara. Titik tumpu tetap pada negara, tetapi tangan terbuka negara untuk bekerja sama harus tetap ada, terutama memercayai rakyatnya sendiri untuk membantu negara.  

Ketiga, negara tidak menggunakan pendekatan kekuasaan, terutama keamanan, yakni posisi publik selalu lemah dengan pendekatan tersebut. Keempat, mendengarkan dan melaksanakan saran para profesional dan ahli.

Terakhir, selalu belajar dari kesalahan, era ini akan menjadi rujukan utama ketika krisis terulang. Sejauh ini kita memang lambat melakukan progres pelayanan publik pada era pandemi, tetapi harapan besar jangan sampai kita semua terlambat. n

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat