Bank Wakaf Mikro. Petugas melayani konsultasi nasabah di Bank Wakaf Mikro Almuna Berkah Mandiri di komplek Ponpes krapyak, Yogyakarta, Rabu (12/2) | Wihdan HIdayat/Republika

Opini

Menyambut Indeks Wakaf Nasional

Masyarakat masih memandang wakaf terbatas pada aset tetap dan terfokus pada aktivitas religius.

RADITYA SUKMANA, Profesor Ekonomi Islam FEB Universitas Airlangga

IMAM WAHYUDI INDRAWAN, Dosen Departemen Ekonomi Syariah, Universitas Airlangga

Wakaf sebagai salah satu ajaran Islam memiliki sejarah panjang dalam mendukung kemajuan peradaban Islam. 

Aset wakaf legendaris dan berdampak besar seperti Universitas Al-Azhar di Mesir maupun wakaf sumur dari sahabat Utsman bin ‘Affan adalah bukti wakaf jika dioptimalkan dapat berperan vital bagi pembangunan masyarakat.

Di Indonesia, wakaf dengan pengelolaan secara produktif juga mulai berkembang. Namun, tak dapat dimungkiri, masyarakat masih memandang wakaf terbatas pada aset tetap dan terfokus pada aktivitas religius, seperti masjid, pesantren, dan permakaman. 

 
Masyarakat masih memandang wakaf terbatas pada aset tetap dan terfokus pada aktivitas religius, seperti masjid, pesantren, dan permakaman. 
 
 

Ini tak sepenuhnya salah, tetapi  jangkauan menjadi sempit dan potensinya belum terkelola secara optimal. Banyak studi menyebutkan, sosialisasi wakaf kepada masyarakat masih minim sehingga persepsi wakaf sebagaimana disebutkan di atas masih umum ditemui. 

Di samping sosialisasi oleh lembaga wakaf dan otoritas, seperti Badan Wakaf Indonesia (BWI), penulis memandang rendahnya kesadaran masyarakat itu karena minimnya pengukuran atas kinerja perwakafan itu sendiri.

Bila kita refleksikan pada perzakatan nasional, Baznas melalui Pusat Kajian Strategis (Puskas)  sejak 2016 menelurkan Indeks Zakat Nasional (IZN) yang menjadi tolok ukur capaian kinerja zakat.

Dalam IZN terdapat sejumlah indikator, baik dari sisi dukungan regulator, penilaian atas proses perzakatan sejak pengumpulan, penyaluran, hingga pelaporan serta dampak distribusi zakat kepada masyarakat, khususnya mustahik.

IZN kemudian berkembang menjadi sejumlah indeks lain, seperti Indeks Desa Zakat, Indeks Literasi Zakat, dan lainnya. Berangkat dari hal di atas, penulis memandang perlu adanya Indeks Wakaf Nasional (IWN) sebagai ukuran kinerja perwakafan di Indonesia. 

Sebagaimana IZN, hendaknya IWN mencakup sejumlah dimensi, seperti dukungan regulator terhadap perwakafan, proses pengelolaan wakaf, hingga jangkauan dan dampak wakaf bagi masyarakat. 

IWN dapat meninjau kinerja wakaf setiap provinsi dalam setiap tahun. Bila proses ini dapat berjalan berkelanjutan, dapat juga menjadi publikasi bukti kesuksesan wakaf dari waktu ke waktu dalam memperbaiki kondisi masyarakat. 

Empat lembaga penelitian di Universitas Airlangga, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, dan Institut Pertanian Bogor menyutujui skema Riset Kolaborasi Indonesia (RKI) untuk mendesain IWN ini dengan Universitas Airlangga sebagai ketua peneliti. 

IWN diharapkan menjadi alat alternatif BWI dalam mengevaluasi perwakafan di Indonesia. 

Konstruksi IWN ini didasarkan pada studi wakaf terdahulu disertai focus group discussion yang melibatkan BWI, KNEKS, DSN MUI, Kemenag, serta praktisi wakaf Pondok Pesantren Gontor (ICAS), ACT, dan Dompet Dhuafa. 

Dengan metodologi seperti ini, IWN dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. 

 
Diharapkan ada upaya saling berlomba di antara stakeholder wakaf hingga di tingkat daerah untuk mencapai posisi terbaik dalam kinerja perwakafan. 
 
 

Sepanjang penulis berinteraksi dengan studi wakaf di ratusan jurnal bereputasi serta berinteraksi langsung maupun tak langsung dengan regulator dan praktisi wakaf di banyak negara, IWN dapat dikatakan merupakan indeks pertama di dunia terkait wakaf. 

Selain itu, indeks ini sangat komprehensif termasuk penilaian tentang peranan stakeholder terkait wakaf. Indeks ini dapat juga diadopsi negara lain dengan beberapa penyesuaian.  

Di antara manfaat IWN, pertama, pemantauan kinerja perwakafan dapat dilakukan rujukan jelas dan terukur. Selama ini, pemantauan kinerja perwakafan belum memiliki ukuran yang jelas sehingga belum dapat dipastikan pengelolaan wakaf berjalan baik atau belum.

Kedua, dengan adanya indeks yang dapat memperbandingkan kinerja perwakafan antarprovinsi, diharapkan ada upaya saling berlomba di antara stakeholder wakaf hingga di tingkat daerah untuk mencapai posisi terbaik dalam kinerja perwakafan. 

Ketiga, adanya IWN yang diukur setiap tahun dapat mendorong stakeholder memperbaiki pengelolaan wakaf dari tahun ke tahun, mengingat adanya perbandingan antarwaktu dalam pengukuran IWN. 

Perbaikan dari tahun ke tahun juga akan mendorong inovasi dan perbaikan kinerja perwakafan sehingga wakaf tidak menjadi statis dan stagnan.

Keempat, dengan IWN dapat terpantau mana daerah yang memerlukan intervensi baik dari sisi regulasi, anggaran, peningkatan kualitas nazir, maupun dampak pengelolaan wakafnya. 

Selain itu, aset-aset wakaf yang tidak terkelola maksimal hendaknya dapat terpantau melalui IWN sehingga dapat diambil kebijakan untuk mengelolanya lebih baik. 

Karena itu, penulis mendorong agar BWI dan Kemenag menggandeng lembaga riset, perguruan tinggi, hingga praktisi wakaf untuk membuat konsep IWN dan mengaplikasikannya sehingga ada pengukuran dan perbaikan kinerja wakaf.

Penulis optimistis, IWN dapat mengevaluasi banyak hal. Tidak hanya itu, karena merupakan pelopor IWN ini, penulis juga optimistis Indonesia menjadi barometer pengelolaan wakaf bagi negara negara lain yang ingin mengembangkan wakaf. n

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat