Aksi unjuk rasa di Lebanon, pekan lalu. | EPA-EFE/WAEL HAMZEH

Resonansi

Saya Bukan Kafir, Lapar Bikin Kafir!

Kasus bunuh diri marak di Lebanon

Oleh IKHWANUL KIRAM MASHURI

OLEH IKHWANUL KIRAM MASHURI 

Beirut, Jumat pagi, 3 Juli 2020. Para pelanggan sebuah kafe di Hamra, kawasan bisnis di ibu kota Lebanon, tiba-tiba dikejutkan suara tembakan dari sebuah pistol. Seorang laki-laki, 61 tahun, terkapar di trotoar depan kafe. Kepalanya berlumuran darah. Ali Muhammad al Haq, laki-laki itu, baru saja bunuh diri dengan melepaskan peluru, persis ke arah jidatnya. 

Adapun, yang kemudian menambah heboh, di samping jasadnya ia meninggalkan bendera Lebanon dengan tulisan "Ana mus kafir, bas al juu’ kafirun". Kalimat itu menggunakan bahasa pasaran, logat Lebanon. Bahasa sekolahannya kira-kira "Ana lastu kafiran, lakin al juu’ kafirun". Artinya, ‘Saya bukan kafir, tetapi lapar bikin kafir’. Adapun, yang bersangkutan terkonfirmasi tidak mempunyai catatan kriminal. 

Pada hari yang sama, terjadi juga bunuh diri. Kali ini di Kota Sidon (Sayda), Lebanon Selatan. Laki-laki 37 tahun ditemukan gantung diri di kamar rumahnya ketika keluarganya berada di luar. Ayah seorang bocah perempuan yang bekerja sebagai sopir angkut barang ini dikabarkan sedang kesulitan ekonomi kronis.

Sejak muncul krisis di Lebanon pada Oktober tahun lalu, sudah ada empat kasus bunuh diri di Lebanon. Selain dua kasus tadi, dua peristiwa bunuh diri lainnya terjadi pada 4 dan 9 Desember lalu. Pertama, seorang warga Beirut bunuh diri karena dipecat dari pekerjaan.

Kedua, terjadi di Kota Bekaa, 30 kilometer dari Beirut. Seorang ayah bunuh diri karena tidak mampu membayar uang sekolah anak perempuannya.

 

 
Sejak muncul krisis di Lebanon pada Oktober tahun lalu, sudah ada empat kasus bunuh diri di Lebanon.
 
 

 

Berdasarkan laporan Embrace, organisasi nirlaba (LSM) yang memberikan konsultasi tentang kesadaran kesehatan mental di Lebanon, setiap bulan pihaknya menerima sekitar 300 hingga 500 panggilan telepon dari mereka yang mempertimbangkan untuk bunuh diri.

Menurut Dr Shawky Azoury, seorang psikiater, bunuh diri pada umumnya dilakukan oleh mereka yang menderita penyakit mental. Namun, tidak di Lebanon. Di negeri ini, katanya, kelaparan, kemiskinan, rasa terhina, dan tak berdaya telah menyebabkan beberapa warga bunuh diri. 

Mengomentari fenomena bunuh diri itu, seorang profesor ekonomi di Lebanon, Jad Shaaban, mengatakan, mereka sebenarnya bukan bunuh diri, melainkan dibunuh oleh rezim berkuasa. "Dan, mereka akan siap membunuh kami, dengan membuat kami miskin dan lapar demi mempertahankan kekuasaan mereka,’’ katanya. 

Krisis ekonomi di Lebonon dalam beberapa bulan ini merupakan terburuk sepanjang sejarah negeri yang pernah berjuluk ‘Parisnya Timur Tengah’ ini sejak merdeka dari Prancis pada 1943. Dampaknya, terutama, sangat dirasakan oleh kelompok masyarakat menengah ke bawah.

Puluhan ribu warga telah kehilangan pekerjaan dan yang masih bekerja serta para pensiunan dipotong sekian persen gajinya. Kini hampir setengah warga Lebanon hidup di bawah garis kemiskinan, sementara 35 persen tenaga kerjanya menganggur.

 

 
Krisis terburuk di Lebanon ini bermula dari krisis politik, dipicu oleh masalah ekonomi, sejak Oktober tahun lalu.
 
 

 

Krisis ini disertai dengan penurunan nilai tukar mata uang lira. Kini 1 dolar AS dihargai hingga lebih dari 9.000 lira, dari sebelumnya hanya 1.500 lira. Penarikan uang dari bank pun dibatasi. Hal ini masih dibarengi dengan kenaikan harga berbagai barang kebutuhan sehari-hari, yang menyebabkan daya beli masyarakat sangat lemah. Juga pemadaman listrik di beberapa daerah. Krisis ekonomi yang akut inilah yang menyebabkan beberapa orang bunuh diri.

Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Michelle Bachelet, memperingatkan krisis ekonomi di Lebanon sudah pada tingkat gawat. Menurut dia, bila tidak segera ditangani dengan tepat dan segera, negara itu bisa ‘dengan cepat keluar dari kendali’.

Bahkan, lanjutnya, masyarakat lemah sangat rentan akan bahaya kematian. Ia pun meminta semua pihak untuk ‘bertindak cepat sebelum terlambat’. 

Krisis terburuk di Lebanon ini bermula dari krisis politik, dipicu oleh masalah ekonomi, sejak Oktober tahun lalu. Waktu itu muncul aksi-aksi unjuk rasa secara besar-besaran di seluruh Lebanon. Mereka menuntut agar pejabat korup diadili, kekayaan negara yang dijarah pejabat dikembalikan, dan harta orang-orang kaya dipajaki.

Tuntutan lainnya: perbaikan layanan kebutuhan dasar sehari-hari. Dari air, listrik, pendidikan, kesehatan, hingga ketersediaan bahan pokok terjangkau. Mereka juga menolak keras sistem kekuasaan berdasarkan sektarianisme.

Demonstrasi yang berlangsung selama berhari-hari itu akhirnya berhasil memaksa PM Saad Hariri mengundurkan diri pada akhir Oktober. Namun, untuk mencari penggantinya ternyata tidak gampang. Tarik-menarik kepentingan berlangsung alot.

Presiden Michel Aoun akhirnya menunjuk Hasan Diab sebagai PM baru pada awal Januari. Selama dua bulan Lebanon praktis tidak mempumyai pemerintahan definitif. Pemerintahan Diab pun baru bisa bekerja pada akhir Januari, setelah mendapat persetujuan parlemen.

Ketika pemerintahan Diab mulai bekerja, Covid-19 pun muncul, yang menjadikan Lebanon semakin terpuruk. Apalagi, PM Diab bukan tokoh utama Suni—di Lebanon, PM harus dijabat oleh kelompok Suni. Ia juga minim lobi-lobi internasional, terutama dengan negara-negara kaya Arab Teluk.

Menurut sejumlah pengamat Timur Tengah, persoalan Lebanon sudah sangat akut, menyangkut konstitusi, sistem kekuasaan, dan pemerintahan. Selama penyelesaian tidak menyentuh akar masalah, solusinya hanya akan tambal sulam. Solusi ad-hoc. Bahkan, untuk solusi ad-hoc pun pemerintahan Diab sekarang ini kesulitan.

Lebanon, kendati bernama resmi republik (Republik Lebanon) dan bersistem demokrasi parlementer, tetap mengakomodasi keberadaan sekte-sekte keagamaan secara rigid: konfesionalisme. Yaitu membagi kekuasaan dengan rata berdasarkan aliran-aliran agama yang berbeda-beda, yang disebut sekte.

Ada 18 sekte—baik Islam maupun Kristen—yang diakui. Pembagian kekuasaan ya berdasarkan pada proporsi sekte-sekte ini. Misal, presiden harus dijabat seorang Katolik Maronit, perdana menteri (PM) seorang Muslim Suni, wakil PM Kristen Ortodoks, dan ketua parlemen seorang Syiah. Pun dengan menteri-menteri, dibagi secara proporsional menurut kelompok-kelompok keagamaan tersebut. Termasuk para panglima dan kepala staf angkatan bersenjata dan kepolisian.

 
Aksi-aksi demonstrasi panjang — sejak Oktober lalu hingga kini — pun tidak berhasil meruntuhkan sistem kekuasaan berdasarkan sektarianisme ini.
 
 

Pembagian kekuasaan seperti itu juga terjadi di parlemen, yang mempunyai 128 kursi. Sebelum 1990, rasio pembagiannya adalah 6:5, yang lebih menguntungkan kelompok Kristen. Namun, Perjanjian Taif (Saudi) pada 1989, yang mengakhiri perang saudara 1975-1990 mengubah rasio itu untuk memberikan representasi yang sama bagi para pemeluk Islam dan Kristen.

Berikut ini jumlah anggota Parlemen Lebanon yang diatur pembagiannya berdasar agama yang dianut. Jatah untuk Kristen 64 kursi, dengan perincian: Maronit 34 kursi, Ortodoks Yunani 14, Katolik Yunani 8, Ortodoks Armenia 5, Katolik Armenia 1, Protestan 1, dan yang dikategorikan lain-lain 1 kursi. Sedangkan jatah untuk orang Islam juga sama, 64 kursi. Perinciannya, Suni 27 kursi, Syiah 27, Druze 8, dan Alawi (Syiah) 2 kursi.

Pembagian kekuasaan berdasarkan sekte ini ternyata justru meminggirkan rakyat. Sejak Lebanon merdeka, kekuasaan hanya beredar di kalangan elite keluarga-keluarga berpengaruh dalam kelompok-kelompok sektarian itu. Mereka bukan hanya mendominasi kekuasaan politik, melainkan juga sumber-sumber ekonomi negara. Akibatnya KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) pun merajalela dan sulit diberantas.

Aksi-aksi demonstrasi panjang — sejak Oktober lalu hingga kini — pun tidak berhasil meruntuhkan sistem kekuasaan berdasarkan sektarianisme ini. Maka, bisa dipastikan orang-orang miskin dan kelaparan, termasuk yang bunuh diri tadi, adalah kalangan rakyat jelata. Anak-anak, saudara, dan kerabat para pemimpin sekte akan tetap hidup makmur dan sejahtera. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat