Menteri Haji dan Umrah Arab Saudi Muhammad Saleh Benten di Masjid al-Haram. Tampak di sekitar Ka'bah sedikit orang yang melaksanakan thawaf. | al Akhbar

Khazanah

Bolehkah Badal Haji karena Pandemi?

Pandemi ini bukan halangan yang akan berlangsung seterusnya sehingga haji ditiadakan sama sekali.

OLEH MABRUROH

Badal haji merupakan upaya menggantikan atau mewakilkan seseorang untuk berhaji. Dengan syarat, orang yang membadalkan haji harus terlebih dahulu menunaikan haji wajibnya.

Lalu, apakah badal haji bisa menjadi pilihan ketika tahun ini Pemerintah Arab Saudi menutup pintu bagi jamaah haji dari luar negeri akibat pandemi Covid-19?

Terkait hal ini, Direktur Rumah Fiqih Indonesia Ustaz Ahmad Sarwat menceritakan kisah seorang perempuan yang datang menemui Rasulullah SAW. Perempuan itu mengatakan bahwa ibunya sudah lama ingin menunaikan ibadah haji, tapi belum memiliki kesempatan. Ketika kesempatan datang, ibunya sudah meninggal dunia.

"Dia ingin sekali berangkat haji, bagaimana ya Rasulullah? "tanya perempuan itu. Kemudian, Rasul menjawab, "Ya sudah, kamu berangkat haji untuk menghajikan ibumu.''

Dalam ilmu fikih, kata Ustaz Sarwat, hal ini disebut al hajju 'anil ghoiri, yakni mengerjakan haji untuk orang lain. Hanya saja, di Indonesia lebih dikenal dengan istilah badal karena menggantikan.

"Cuma di situ ada syarat-syaratnya. Kalau orangnya mampu berangkat dan orangnya bisa mengerjakan haji, tidak boleh digantikan oleh orang lain, tapi kalau orangnya tidak mampu karena sudah tua dan sakit-sakitan, itu boleh digantikan orang lain. Kedua, kalau orangnya sudah meninggal dan sebelumnya memang sudah ada pesan-pesan (bisa dibadalkan)," papar Ustaz Sarwat.

Lalu, bagaimana dengan situasi pandemi saat ini, apakah badal haji dibolehkan? Ia menerangkan, pandemi Covid-19 ini bukanlah halangan yang akan berlangsung seterusnya. Artinya, masih ada kesempatan tahun depan.

"Kan wabah ini tidak selamanya sampai kiamat, jadi dalam kondisi wabah itu belum bisa digantikan orang lain, karena apa? Karena Nabi (Muhammad) pun sempat beberapa kali tidak bisa haji," ujar dia.

Ustaz Sarwat kemudian mengisahkan saat Rasulullah SAW bermimpi melaksanakan ibadah haji, berihram dengan mencukur sebagian rambut kepalanya. Tapi, ternyata Rasulullah tidak bisa berangkat haji pada tahun itu, tahun berikutnya, tahun berikutnya, dan tahun berikutnya pun Rasulullah belum juga bisa berangkat haji.

"Tertunda hingga empat kali atau empat tahun, baru kemudian benar-benar haji di tahun ke-10," ujar Ustaz Sarwat.

Pada saat tidak dapat melaksanakan haji, Rasulullah tidak lantas meminta tolong sahabatnya untuk menggantikannya berhaji. Sebab, yang menjadi masalah bukan orangnya, melainkan karena situasi yang tidak bisa menuju ke Makkah.

"Kalau tidak sakit parah atau meninggal langsung, belum ada istilah badal-badalan," ujar dia.

 
Kalau tidak sakit parah atau meninggal langsung, belum ada istilah badal-badalan
USTAZ AHMAD SARWAT, Direktur Rumah Fiqih Indonesia
 

Karena itu, Ustaz Sarwat pun mengingatkan kepada para pemukim Indonesia di Saudi untuk tidak sembarangan membadalkan haji. Jika ingin membadalkan, harus benar-benar orang yang dibadalkannya dalam kondisi sakit parah.

Begitu pula dengan calon jamaah haji Indonesia yang batal berangkat ke Tanah Suci tahun ini, Ustaz Sarwat berharap, mereka tidak meminta dibadalkan kerabatnya di Makkah. "Itu tidak bisa. Karena kitanya sehat, kalau kita sakit dan sakitnya parah sudah mau meninggal, dia belum haji maka dia bisa dihajikan." 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat