Petugas memeriksa hasil rapid tes peserta dan panitia Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) di kampus UPI, Kota Bandung, Selasa (7/7). | Edi Yusuf/Republika

Nasional

Biaya Rapid Test Dinilai Masih Mahal

Harga maksimal yang ditetapkan Kemenkes itu tetap masih mahal bagi sebagian masyarakat.

JAKARTA -- Patokan harga maksimal tes cepat atau rapid test yang dikeluarkan pemerintah dinilai masih mahal. Bahkan, anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay menilai, rapid test  mestinya disediakan pemerintah secara cuma-cuma.

"Rapid test itu difasilitasi negara bukan untuk memberatkan masyarakat. Karena keperluan untuk itu pada hakekatnya bukan untuk masyarakat saja, tetapi juga untuk pemerintah," kata Saleh saat dihubungi Republika, Rabu (8/7).

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menerbitkan Surat Edaran tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan Rapid Test Antibodi, yaitu Rp 150 ribu. Surat yang telah dikonfirmasi Kemenkes tersebut ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Bambang Wibowo pada 6 Juli 2020. 

Menurut edaran itu, pemerintah perlu menetapkan tarif maksimal bagi masyarakat yang ingin melakukan rapid test lantaran tarif saat ini masih bervariasi. Variatifnya tarif tersebut menimbulkan kebingungan masyarakat.

Sebelumnya, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengusulkan pemberian subsidi untuk pengadaan rapid test bagi masyarakat yang akan melakukan perjalanan dengan angkutan umum, terutama pesawat udara, kereta api, dan bus AKAP (Antar-Kota Antar-Provinsi). Sebab, sejumlah maskapai telah bekerja sama dengan berbagai mitra untuk mengadakan tes cepat Covid-19. Namun, harganya bervariatif dan mahal. 

Sebagai contoh, Sriwijaya Air mematok harga rapid test di kisaran Rp 350-450 ribu dan Lion Air Group yang hanya Rp 95.000. Operator bandara, PT Angkasa Pura II juga menyelenggarakan tes cepat bekerja sama dengan Kimia Farma, di mana per calon penumpang dikenakan biaya Rp 225 ribudi Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang dan Bandara Husein Sastranegara, Bandung.

“Kita minta Kemenkeu agar rapid test diberikan subsidi pada mereka yang akan melakukan perjalanan,” ujar Budi, pekan lalu.

Saleh menilai, harga maksimal yang ditetapkan Kemenkes itu tetap masih mahal bagi sebagian kalangan masyarakat. Padahal, kebutuhan masyarakat akan rapid test kian meningkat dengan adanya regulasi pemerintah yang mensyaratkan tes untuk beraktivitas seperti menggunakan kendaraan umum.

photo
Satgas Covid-19 Jawa Barat bersama Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) melakukan rapid test kepada peserta dan panitia Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) di kampus UPI, Kota Bandung, Selasa (7/7)  - (Edi Yusuf/Republika)

"Harganya tetap mahal, alangkah indahnya harusnya tetap difasilitasi oleh negara. Katanya kan alokasi Rp 75 triliun untuk penanggulangan Covid-19, nah kan itu belum dipakai seluruhnya masih sekitar yang kami baca baru beberapa triliun, artinya masih banyak," kata Saleh.

Ia juga menekankan, jika penetapan tarif itu tetap dilakukan, maka harus disertai sanksi. Ada dua jenis sanksi yang bisa diberikan bagi pelanggar ketentuan tersebut. Pertama, bersifat administratif seperti penurunan kelas rumah sakit. Kedua bersifat denda. 

"Sehingga bila ada masyarakat mengadukan pada dinas terkait atau Kemenkes, nanti dinas atau Kemenkes bisa mendenda institusi kesehatan atau rumah sakit tersebut," ujarnya. Tanpa adanya sanksi, maka pembatasan tarif rapid test itu tidak akan berjalan maksimal. 

Ketua MPR Bambang Soesatyo menilai Kemenkes memang perlu mengawasi standar harga atau tarif pelaksanaan rapid test. Dikhawatirkan, tanpa ada standar harga, terjadi komersialisasi. Ia meminta pemerintah mengawasi harga tes Covid-19 tersebut.

"Mengingat adanya peluang terjadinya penyimpangan dan komersialisasi tes Covid-19 yang dilakukan rumah sakit swasta akibat dari lemahnya peran pemerintah dalam mengatur dan mengawasi uji tes tersebut," kata dia melalui keterangan tertulisnya, Rabu (8/7).

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat