Penyandang disabilitas mencoba fasilitas tempat cuci tangan ramah disabilitas. | Edi Yusuf/Republika

Keluarga

Mari Peduli Penyandang Disabilitas

Infrastruktur pendukung disabilitas masih terpusat di kota besar saja.

Semua berawal dari pertemuan Saldi Rahman dan ketiga temannya di BBRVPD (Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Penyandang Disabilitas) Cibinong. Mereka --Saldi bersama Wahyu Alistia, Rendi Agustra, dan Oktra Densi-- mengikuti pelatihan kerja untuk para penyandang disabilitas agar dapat bekerja di berbagai perusahaan.

Setelah mengikuti pelatihan selama 10 bulan, mereka pun langsung mendapatkan pekerjaan. Namun, baru enam bulan bekerja, mereka memutuskan untuk mengundurkan diri dan ingin menjalani usaha kedai kopi.

Mengapa kopi? “Kopi ini nggak ada matinya, dan sekarang lagi hits juga. Kita bisa jadi iconic juga. Karena walau banyak yang jual kopi, tapi kalau yang mengelolanya disabilitas itu akan berbeda, dan kami jual kopi di combi itu belum ada,” ungkap Saldi.

Rupanya, keberuntungan pun ada di pihak mereka. Ada seorang dermawan yang meminjamkan sebuah mobil combi untuk memulai usaha, sehingga mereka hanya membeli peralatan membuat kopi. Modal usaha mereka peroleh dari hasil menabung hasil kerja mereka selama enam bulan di perusahaan dan terkumpul modal awal Rp 15 juta. Hingga akhirnya berdirilah kedai kopi yang diberi nama Kito Rato itu.

Bagi dia, masih banyak orang baik yang ingin berpartisipasi bantu penyandang disabilitas seperti mereka. Mereka juga optimistis ketika banyak penyandang disabilitas yang terbantu, maka akan membantu sesama mereka juga.

Meskipun ada yang menganggap penyandang disabilitas sebagai warga kelas dua, tapi kini kian banyak saja orang yang mulai peduli pada mereka. Terlihat dari banyaknya komunitas yang mendukung keberadaan mereka, serta didukung pula dengan fasilitas yang bisa memudahkan.

Misalnya untuk toilet bagi penyandang disabilitas. Indonesia masih perlu melakukan pembenahan kualitas toilet di ruang publik. Selain agar lebih bersih dan minim kontaminasi bakteri dan virus, juga didorong agar toilet umum lebih mudah digunakan bagi penyandang disabilitas.

Salah seorang alumnus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Barliantoro mengungkapkan, di tengah pan demi ini tentu bagi penyandang disabilitas sebaiknya berdiam diri dahulu di rumah. Sedangkan untuk pembenahan fasilitas umum untuk penyandang disabilitas, pemerintah bisa menunda hingga wabah ini hilang.

“Mungkin sekarang fasilitas penyandang disabilitas seperti toilet, baru bisa kita temui di mal-mal ya. Stasiun juga sudah mulai ada tapi belum semua. Masih banyak memang ruang publik yang belum memenuhi standar bagi penyandang disabilitas,” ungkap Barli kepada Republika.

Dengan melihat para penyandang disabilitas, relawan Kitabisa.com ini merasa dirinya lebih bersyukur atas kehidupan yang didapatnya. Dia pun menekankan pentingnya berpikir ulang ketika mengeluh soal kehidupan, serta lebih banyak bersosialisasi dengan lingkungan agar hati lebih peduli. Selain itu, tetap terus berpartisipasi membantu mereka yang membutuhkan.

“Pemerintah, khususnya Dinas Sosial harus sering-sering terjun ke lapangan untuk memantau siapa yang butuh dan rangkul. Lalu ketika ada komunitas yang mungkin namanya belum besar, tapi ingin membantu, ya harus didukung untuk bersinergi dan diawasi,” ungkap Barli.

Menurut dia, banyak sekali komunitas yang belum punya nama besar tapi ingin ikut membantu mereka yang membutuhkan. Sayangnya, pemerintah kurang mendukung dalam hal memberikan persetujuan proposal. Padahal komunitas-komunitas itu bisa membantu pemerintah melakukan pendataan masyarakat yang benar-benar membutuhkan.

Ia berharap, pemerintah juga memenuhi kebutuhan fasilitas penyandang disabilitas yang ada di luar Pulau Jawa, khususnya di daerah-daerah terpencil. Jangan hanya memperhatikan yang ada di Jakarta karena keluarga penyandang disabilitas didaerah lain pun tentu akan merasa sangat terbantu dengan fasilitas yang lengkap.

 
Masih banyak memang ruang publik yang belum memenuhi standar bagi penyandang disabilitas.
 
 

Fasilitas Setengah Hati

Ahmad Junaedi, seorang penyandang disabilitas, terlihat membantu mengatur lalu lintas di kawasan Jalan Ciledug Raya, Tangerang, Banten, Kamis (18/6). Mengenakan kostum polisi, dia turut membantu petugas polisi yang berjaga agar lalu lintas tetap lancar.

Menyandang predikat sukarelawan pengatur lalu lintas (superlas), Ahmad melakukan itu semua meski harus bersimpuh lantaran keterbatasan fisiknya. Berkat kerja kerasnya itu, Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Nana Sudjana memberikan penghargaan kepadanya.

photo
Ahmad Junaedi (kiri) sukarelawan pengatur lalu lintas (Superlas) penyandang disabilitas mengatur lalu lintas di Jalan Ciledug Raya, Tangerang, Banten, Kamis (18/6/2020). Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Nana Sudjana memberikan penghargaan kepada Ahmad Junaedi yang dinilai mampu membantu masyarakat dalam mengatur lalu lintas di kawasan tersebut di tengah keterbatasan fisik yang dimilikinya - (MUHAMMAD IQBAL/ANTARA FOTO)

Saat ini keberadaan para penyandang disabilitas tak lagi dipandang sebelah mata. Berkat kemauan dan kerja keras, mereka mampu berperan aktif dalam kegiatan bermasyarakat. Bak gayung bersambut, kepedulian masyarakat pada para penyandang disabilitas pun terlihat lebih tinggi. Contoh sederhana saja, ketika ada seorang penyandang disabilitas ingin menyeberang, tak perlu menunggu lama ada saja yang sigap membantu.

Namun, kepedulian sosial saja rupanya tak cukup untuk membantu saudara kita ini. Perlu ada infrastruktur pendukung yang bisa memudahkan mereka agar dapat beraktivitas sehari-hari.

Isnurul Naeni Sekjen Yayasan Diffable Action Indonesia (YDAI) melihat fasilitas berupa infrastruktur untuk difabel saat ini semakin baik. Fasilitas yang ada mampu mengakomodasi hampir semua kebutuhan difabel. "Sayangnya hanya terpusat di kota besar, sedangkan di kota kecil level kecamatan dan kelurahan ataupun kota kecil masih kurang," kata perempuan yang akrab disapa Isna kepada Republika.

Kendala terbesar bagi difabel terutama di daerah adalah kondisi sosial masyarakat yang kurang kondusif. Hal ini membuat rekan difabel kadang enggan beraktivitas di luar.

Isna mengatakan, ada beberapa fasilitas, umumnya di daerah dan bagi pengguna kursi roda, masih terkesan setengah hati. "Ada ramp (alat bantu untuk kursi roda) yang sangat curam sehingga tidak bisa digunakan. Ada handrailing (pegangan) tapi tidak bisa buat tumpuan karena posisinya enggak pas dan kurang kuat. Ada juga guiding block untuk tunanetra di beberapa trotoar kadang berbelok dan mentok terhalang pohon," ujarnya.

Saat itulah muncul kisah suka dan duka dalam mendampingi difabel. Kondisi suka bila ia bisa menunjukkan bahwa difabel pun bisa melakukan sesuatu dan berprestasi seperti mereka yang normal. Sedangkan kisah duka muncul ketika para difabel masih dipandang sebagai sebuah ketidakmampuan.

Isna menyatakan masih banyak yang harus dilakukan untuk menjadikan difabel setara, mandiri, dan mencapai kesejahteraan. Dia berharap rekan difabel di seluruh Indonesia bisa mendapatkan akses pendidikan yang semakin baik dari waktu ke waktu. Hal itu selalu diupayakan YDAI selama kiprahnya di Kota Bogor dan sejumlah kota lain di Indonesia.

YDAI juga berharap dukungan dari pemerintah, seperti agar para difabel yang sudah mandiri dengan usahanya tidak terpuruk karena terdampak Covid-19. "Kita pun tak ingin muncul masyarakat miskin difabel yang baru," ujarnya.

Selain itu, lanjut Isna, ada dukungan akses lapangan kerja dan usaha untuk difabel yang saat ini masih berstatus pengangguran serta akses pendidikan bagi difabel untuk menempuh pendidikan formal. "Kami juga berharap adanya dukungan beasiswa pendidikan hingga pendidikan tinggi bagi anak-anak para orangtua difabel agar tidak memunculkan generasi dengan tingkat pendidikan rendah," ujarnya.

photo
Yanti (34 tahun), penyandang disabilitas, mengenakan alat pelindung diri saat menjual makanan di jalanan Kota Pekanbaru, Riau, Sabtu (20/6/2020). Yanti yang kakinya diamputasi akibat menderita diabetes, terpaksa berjualan untuk bertahan hidup setelah suaminya dirumahkan dari pekerjaannya meski tahu dirinya sangat berisiko tinggi jika terinfeksi Covid-19 - (FB Anggoro/ANTARA FOTO)

Disabilitas Saat Pandemi

Saat pandemi Covid-19, penyandang disabilitas turut menjadi perhatian pemerintah. Setidaknya ada 377 ribu para penyandang disabilitas yang mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah.

"Itu semua penyandang disabilitas dari berbagai sumber kita optimalkan tentunya dengan kategori prasejahtera atau terpapar dampak COVID-19, sehingga mereka perlu bantuan sosial dalam konteks jaring pengaman sosial," kata Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial Harry Hikmat dalam siaran pers.

Pemerintah mengalokasikan total Rp 371 miliar untuk memberikan bantuan kepada penyandang disabilitas yang membutuhkan, termasuk mereka yang tinggal bersama keluarga penerima manfaat Program Keluarga Harapan (PKH), keluarga penerima bantuan sembako di Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi, dan keluarga penerima bantuan sosial tunai.

Direktur Eksekutif Yayasan Plan International Indonesia Dini Widiastuti mengatakan setidaknya ada 34 juta penduduk dengan disabilitas yang terdampak terhadap kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk pencegahan penyebaran virus Covid-19.

Dini yang kerap melakukan pendampingan para disabilitas di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur menjelaskan bahkan informasi mengenai pencegahan Covid-19 pun masih belum secara benar didapatkan oleh masyarakat yang memiliki keterbatasan pada layanan informasi.

Dia juga menyoroti kesulitan para anak-anak dengan disabilitas untuk mendapatkan pembelajaran dalam masa pandemi. "Untuk anak-anak sekolah reguler dengan daring begini saja merasa kesulitan, apalagi disabilitas. Ini harus diperhatikan oleh pemerintah agar anak-anak dengan disabilitas juga tidak tertinggal," kata Dini.

Selain bermasalah pada kondisi keuangan, Pinky juga mengunkapkan bahwa penduduk dengan disabilitas juga kerap mengalami masalah dalam memenuhi kewajiban seperti tagihan listrik dan juga cicilan bank atau koperasi. Menurut Pinky, warga dengan disabilitas juga membutuhkan bantuan dalam pengelolaan keuangan untuk mengatur kewajiban yang harus dibayarkannya dalam masa pandemi.

Pinky berharap masyarakat yang lebih mampu dapat membantu sesama mulai dari tetangganya sendiri dengan berbagi dan membeli apabila ada warga yang menjual produk.

"Ada yang jual bumbu pecel, walaupun kita tidak butuh tetap beli saja untuk membantu. Kita harus tahan diri untuk tidak beli baju, foya-foya, uang ini kita sisihkan untuk membantu sesama," kata Pinky.

 
Kita harus tahan diri untuk tidak beli baju, foya-foya, uang ini kita sisihkan untuk membantu sesama.
DINI WIDIASTUTI, Direktur Eksekutif Yayasan Plan International Indonesia
 

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat