Komisioner KPU Kota Blitar Bidang Sosialisasi Rangga Bisma Aditya menunjukkan cairan disinfektan saat Sosialisasi Alat pelindung Diri (APD) pendukung pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 di Blitar, Jawa Timur, Sabtu (4/7). | ANTARA FOTO/IRFAN ANSHORI

Nasional

Aturan Pelanggaran Pemilu Kurang Tegas

Aturan penanganan pelanggaran pemilu kurang diperhatikan pembuat undang-undang.

JAKARTA -- Pakar hukum Universitas Indonesia (UI), Topo Santoso mengatakan, aturan penanganan pelanggaran pemilu kurang mendapatkan perhatian pembuat undang-undang. DPR dan pemerintah hanya sibuk mengurusi ketentuan terkait sistem pemilu, ambang batas, dan lain-lain dalam setiap menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilu.

"Ternyata banyak sekali pasal-pasal yang bolong, adalah soal electoral justice, keadilan pemilu, soal penyelesaian pelanggaran, sengketa, tindak pidana, dan sebagainya," ujar Topo dalam diskusi virtual, Ahad (5/7).

Menurut dia, proses penanganan tindak pidana pemilu mengandung kelemahan terhadap semua jenis pelanggaran dan sengketa pemilu, baik tindak pidana pemilu, pelanggaran administrasi pemilu, pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, sengketa proses pemilu, sengketa tata usaha negara (TUN) pemilu, maupun perselisihan hasil pemilu.

 
Akibat dari batas waktu yang sangat singkat, maka banyak kasus tidak diselesaikan.
 
 

Topo menyebutkan, ada batasan waktu yang singkat untuk semua jenis pelanggaran dan sengketa pemilu, kecuali pelanggaran undang-undang lainnya yang tidak tunduk pada pembatasan waktu dalam UU Pemilu. Akibat dari batas waktu yang sangat singkat, maka banyak kasus tidak diselesaikan.

Penanganan pelanggaran pemilu dengan batasan waktu yang cepat, sudah dimulai sejak ketentuan kadaluwarsa kasus ditemukan/diketahui, pengkajian di Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), pembahasan di Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu), penyidikan, penuntutan, peradilan di pengadilan negeri, hingga banding di pengadilan tinggi. Proses tersebut bahkan tidak mencapai batasan waktu sampai tiga bulan.

"Batasan waktu ini amat sangat singkat. Jadi kalau misalnya sama-sama satu jenis tindak pidana memalsukan surat, kalau di KUHP kedaluwarsanya itu bisa berapa tahun, mungkin enam tahun. Tapi di dalam undang-undang pemilu itu hanya tujuh hari, dan ini tidak masuk akal," tutur Topo.

Topo mengatakan, Bawaslu sangat kesulitan ketika saksi-saksi tidak datang ketika dipanggil Bawaslu, sedangkan Bawaslu tidak mempunyai upaya paksa sehingga tidak bisa memaksa terlapor atau saksi hadir. Banyak berkas dari Bawaslu ke penyidik dikembalikan karena belum memenuhi permintaan penyidik, sedangkan Bawaslu tidak bisa melengkapi berkas sesuai waktu. "Akibatnya banyak perkara mentah kembali. Kasus-kasus tidak selesai karena batasan waktu sangat singkat," kata Topo.

Padahal, lanjut dia tindak pidana pemilu harus mencari kebenaran materiil penyelesaiannya tidak dibatasi demikian singkat. Berbeda dengan penyelesaian pelanggaran administrasi, sengketa proses, sengketa TUN pemilu, dan perselisihan hasil pemilu yang memang berada di jalur cepat.

photo
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD memberikan arahan saat Rapat Koordinasi Kesiapan Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2020 di Surabaya, Jawa Timur, Jumat (26/6). - (ANTARA FOTO/MOCH ASIM)

Ia mencontohkan kasus pelanggaran tindak pidana yang tidak diselesaikan. Ada seorang calon anggota DPRD (caleg) di suatu daerah pemilihan (dapil) yang jelas-jelas membagikan uang saat kampanye atau melakukan pelanggaran pemilu berupa politik uang, tetapi berhasil lolos dari jeratan hukum.

Topo melanjutkan, yang bersangkutan tak tersentuh proses hukum karena pembagian uang kepada masyarakat bukan di dapil dirinya. Padahal, uang-uang yang dibagikan itu dan inisiatif tindakan politik uang berasal dari orang tersebut.

Dalam pengadilan, orang yang terkena pidana hanya caleg di dapil tersebut yang ikut membagikan uang. Menurut Topo, orang itu sebenarnya bisa diproses hukum sebagai uitlokker atau orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana.

"Ini suatu paradoks, ini kan tidak masuk akal, suatu pelanggaran, jelas-jelas nyata, uangnya nyata, orangnya nyata, ada di suatu tempat, banyak orang bisa melihat, dan tidak bisa dipidana, yang lain yang kena pidana," jelas Topo.

 
Para penegak hukum dalam perkara pemilu tidak berupaya menggunakan asas-asas hukum, peraturan-peraturan hukum yang bisa menjerat pelaku tindak pidana pemilu. 
 
 

Menurut dia, para penegak hukum dalam perkara pemilu tidak berupaya menggunakan asas-asas hukum, peraturan-peraturan hukum yang bisa menjerat pelaku tindak pidana pemilu. Contohnya, percobaan tindak pidana, ketentuan penyertaan tindak pidana-turut serta, dan uitlokker-percobaan.

Ia mengaku sudah mengatakan berkali-kali kepada DPR dan pemerintah agar kedaluwarsa tindak pidana pemilu tidak boleh terlalu singkat. Menurutnya, tidak masalah jika proses penyelesaian pelanggaran tindak pidana berlangsung meski tahapan pemilu sudah selesai, bahkan yang bersangkutan sudah menduduki kursi parlemen, jabatan kepala daerah, maupun presiden sekalipun.

"Jangan sampai orang yang melakukan tindak pidana pemilu bisa lolos dari jerat hukum dan kemudian menikmati kursinya hanya karena batasan-batasan waktu laporan penyidikan penuntutan dan putusan di pengadilan," tutur Topo.

Hal itu sudah ia sampaikan dalam rapat dengar pendapat di Komisi II DPR RI saat membahas RUU Pemilu yang masuk program legislasi nasional (prolegnas) 2020 beberapa waktu lalu. Ia meninjau ketentuan terkait perumusan tindak pidana dalam draf RUU Pemilu yang sudah ada.

Salah satunya, penggunaan unsur "yang terbukti" dalam Pasal 688 draf RUU Pemilu. "Setiap peserta atau pelaksana Kampanye yang terbukti dengan sengaja atau lalai yang mengakibatkan terganggunya tahapan pelaksanaan Pemilu dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah)."

Menurut Topo, unsur "...yang terbukti...", ini berlebihan, tidak lazim, dan tidak perlu. Sebab pihak yang menyatakan terbukti atau tidak adalah hakim dalam putusannya. Semua tindak pidana pelakunya baru bisa dihukum jika terbukti. Jadi unsur "yang terbukti" harus dihilangkan.

Isu krusial

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyoroti tiga isu krusial terkait electoral justice atau keadilan pemilu yang perlu diperhatikan dalam RUU Pemilu. UU Pemilu seharusnya mengatur penyelesaian pelanggaran-pelanggaran pemilu secara komprehensif.

"Berkaitan dengan elektoral justice system atau keadilan pemilu, terdapat tiga isu krusial yang perlu dipikirkan dalam revisi undang-undang pemilu," ujar Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini kepada Republika, Ahad (5/7).

Pertama, penyelesaian perselisihan di Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut Titi, perlunya hukum acara perselisihan hasil pemilu di MK karena berkaca pada pengalaman penyelesaian perselisihan hasil Pemilu Presiden (Pilpres) pada Pemilu 2019 lalu.

photo
Hakim Mahkamah Konstitusi saat membacakan sidang putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2019 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (27/6). - (Republika/Putra M. Akbar)

Ia menceritakan, pada saat itu terjadi perdebatan antara pemohon, termohon, dan pihak terkait tentang permohonan mana yang akan dperiksa di persidangan. Sebab, permohonan yang dibacakan di sidang pertama, berbeda dengan apa yang didaftarkan. 

Titi melanjutkan, termasuk juga soal jumlah saksi maupun ahli yang dapat dihadirkan di persidangan. Tak hanya itu, dalam pemilihan legislatif (pileg) kemarin juga ada persoalan, beberapa permohonan tidak diberlakukan konsisten, tidak diputus di dalam dismissal proses, tetapi tidak pula dipanggil di dalam sidang pembuktian.

Namun hanya diputus di putusan akhir dan ditolak. Menurut Titi, hal itu tidak sesuai dengan prinsip due process of law, di mana para pihak mesti diberikan kesempatan yang sama dan adil di dalam proses persidangan.

Selain itu, perlu dipikirkan lagi waktu penanganan perselisihan hasil pemilu. Titi mengatakan, waktu yang terlalu singkat, dapat berdampak pada kualitas persidangan dan upaya untuk membuktikan dalil di persidangan.

Kemudian, perlu dipikirkan kembali waktu pendaftaran permohonan, agar tidak hanya 3x24 jam. Menurut dia, hal ini penting untuk memberikan kesempatan yang sama kepada setiap warga negara yang hendak mengajukan permohonan, mengingat akses dan keterbatasan fasilitas berbeda-beda di setiap daerah.

Kedua, penyelesaian sengketa nonhasil pemilu yang dimulai dari penataan kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Lembaga penyelenggara pemilu ini semakin dominan tren penguatan fungsi ajudikasinya. 

 
Sanksi pidana pemilu ke penyelenggara ad hoc bisa dikurangi, sementara sanksi admininstrasi yang perlu di dorong.
 
 

Titi melanjutkan, jika ini hendak diteruskan, penting untuk menata kewenangan Bawaslu. Salah satunya kewenangan pengawasan yang tidak bisa lagi dilekatkan di lembaga penyelesai sengketa.

Lalu, menurut Titi, perlunya perbaikan syarat bagi calon anggota Bawaslu. Sebab, mereka akan menjadi hakim di dalam penyelesaian sengketa yang semestinya punya kualifikasi untuk itu.

Berikutnya, perlu penataan kelembagaan Bawaslu, khususnya support system untuk melaksanakan fungsi penyelesaian sengeta. Sumber daya manusia di Bawaslu, termasuk sistem penyelesaian sengketa dan manajemen penyelesaian sengketa mesti di bangun dan sebisa mungkin diatur di undang-undang. 

Perludem mengusulkan, salah satu yang bisa menjelaskan fungsi penyelesaian sengketa Bawaslu adalah semua sengketa diajukan ke Bawaslu Provinsi, sesuai dengan wilayah hukumnya. Lalu Bawaslu RI untuk upaya hukum. 

Pengecualian bisa dilakukan di untuk pileg nasional dan pilpres. Sehingga sengketa berlangsung di Bawaslu RI, sementara upaya hukumnya langsung ke Mahkamah Agung.

Ketiga, lanjut Titi, mengurangi sanksi pidana pemilu. Untuk efektivitas penanganan pelanggaran pemilu, pidana pemilu perlu dikurangi. Sanksi pidana pemilu ke penyelenggara ad hoc bisa dikurangi, sementara sanksi admininstrasi yang perlu didorong. Hal ini diharapkan bisa memberikan efek jera dan daya cegah kepada orang yang berpotensi menjadi pelaku pelanggaran pemilu.

Untuk penanganan pelanggaran pemilu, agar prosesnya efektif dan cepat, serta pertanggungjawabannya lebih jelas, pelaporannya bisa langsung ke kepolisian. Sehingga sentra gakkumdu tidak diperlukan lagi. "Mekanisme penanganan pelanggaran administrasi di Bawaslu perlu diperjelas dan sistemnya perlu dibangun. Tingkat pertama di Bawaslu Provinsi dan bandingnya ke Bawaslu RI," kata Titi.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat