Pendukung Hamas melakukan unjuk rasa di Gaza menetang rencana anekasi Israel atas Tepi Barat. | AP/Adel Hana

Resonansi

Trump dan Netanyahu Persatukan Fatah-Hamas

Terserah kepada Tuan Netanyahu dan Trump, apakah akan mengobarkan perang.

Oleh IKHWANUL KIRAM MASHURI

OLEH IKHWANUL KIRAM MASHURI

Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu tampaknya belum akan menunaikan janjinya menganeksasi Tepi Barat pada 7 Juli besok. Tanggal itu ia janjikan saat kampanye pemilu Maret lalu. Waktu itu, ia sedang bertarung sengit dengan lawan politiknya, Benny Gantz, untuk memperebutkan kursi PM. Pada saat bersamaan, ia harus menghadapi proses hukum atas tiga tuduhan sekaligus: suap, penipuan, dan penyalahgunaan kekuasaan.

Dengan posisi seperti itu, ia pun mengumbar janji yang diharapkan bisa mengambil hati para pemilih, utamanya kelompok ekstrem kanan Yahudi. Yakni, menganeksasi wilayah luas di Tepi Barat, mencakup Lembah Yordania dan semua pemukiman Yahudi yang dibangun di wilayah Palestina. Waktunya pun telah ia tentukan, tanggal 7 Juli tadi. Harapannya, ia tetap berkuasa dan sekaligus memberinya kekebalan hukum di usianya yang 70 tahun.

Menurut sejumlah pengamat Timur Tengah, penundaan itu bisa jadi karena belum ada lampu hijau dari Gedung Putih. Presiden Donald Trump yang kini sedang menghadapi pemilihan presiden pada November mendatang, ingin tetap bersinggasana di Gedung Putih untuk periode keduanya. Ia tampaknya tidak ingin lebih terpuruk lantaran dukungannya kepada PM Netanyahu untuk segera menganeksasi Tepi Barat. 

Dukungan yang ternyata ditentang keras oleh masyarakat internasional, termasuk para sekutunya di Timur Tengah. Ia khawatir respon negatif masyarakat internasional itu justru akan mempengaruhi masyarakat pemilih di Amerika.

Berdasarkan sejumlah survei, suara dukungan kepada Trump tertinggal jauh dibandingkan pesaingnya dari Partai Demokrat, Joe Biden. Trump antara lain dinilai tidak becus menangani wabah Covid-19, tidak peduli dengan masalah rasisme, dan tidak mampu menjadikan Amerika sebagai jagoan (America First).  

Rencana aneksasi Tepi Barat itu sendiri merupakan salah satu ketentuan dari rancangan Presiden Trump untuk menciptakan perdamaian di Timur Tengah. Rancangan itu ia sebut the Big Deal of the Century. Salah satu pasal yang paling kontroversial dari rancangan itu adalah ‘diperbolehkannya Israel untuk mencaplok semua pemukiman Yahudi yang dibangun di atas wilayah Palestina yang mereka duduki’.

Masyarakat internasional berpendapat pemukiman itu ilegal. PBB menganggapnya sebagai pelanggaran hukum internasional. Namun, Presiden Trump pada November 2019 menyatakan pemukiman Yahudi yang dibangun di daerah pendudukan Israel legal dan tak melanggar hukum apa pun.

Masyarakat internasional pun marah. Rancangan Trump dianggap telah menghapus

solusi dua negara, yang menjadi dasar dibangunnya proses perdamaian antara Israel dan Palestina selama ini. Apalagi pernyataan yang tertuang dalam the Deal of the Century itu juga sekaligus memberi wewenang kepada Israel untuk menganeksasi pemukiman Yahudi di Tepi Barat.

Trump tentu tidak mau gegabah. Ia tidak ingin penolakan dunia internasional ini akan mempengaruhi pemilih Amerika. Persis seperti yang diperlihatkan masyarakat Amerika yang menolak rasisme yang dipicu oleh kematian warga kulit hitam George Floyd di tangan polisi kulit putih. Demonstrasi pun terjadi di seluruh kota Amerika dan berlangsung berhari-hari, yang tentu saja di luar perkiraan Trump. Penolakan terhadap rasisme masyarakat AS inilah yang kemudian ikut menggerus suara dukungan kepada Trump, sebagaimana diperlihatkan oleh berbagai lembaga survei.

Apalagi penolakan terhadap rencana aneksasi Tepi Barat ini sangat luas. Dari pihak Palestina sendiri, seluruh negara Arab (termasuk para sekutu Amerika), negara-negara Eropa, Asia, Afrika, hingga lembaga-lembaga dan organisasi internasional.   

Mengenai penolakan pihak Palestina, Presiden Mahmud Abbas menegaskan, ‘’Kami telah menolak sejak awal. (The Deal of the Century Trump) tidak akan terlaksana dan hanya akan masuk ke tong sampah sejarah.’’

Menurut Presiden Palestina, pihaknya tidak akan menerima sebuah negara tanpa  Yerusalem Timur, yang akan menjadi ibukota Negara Palestina seperti telah diakui PBB, termasuk oleh negara-negara yang mempunyai pengaruh besar, seperti negara-negara Uni Eropa, Rusia, dan Cina.

 
Coba bayangkan, 1018 tokoh Eropa yang mewakili 25 negara mau menandatangani petisi yang mengecam dan menolak keras skema pencaplokan Tepi Barat. 
 
 

Presiden Trump, PM Netanyahu, dan kelompok ekstrem kanan Israel mungkin tidak pernah membayangkan sikap keras yang akan diperlihatkan para pemimpin Palestina. Yakni, membubarkan Otoritas (Pemerintah) Palestina dan mengabaikan Perjanjian Oslo dan perjanjian-perjanjian lain dengan Amerika dan Israel. Ini berarti membiarkan kondisi Palestina menjadi kacau dan liar, yang akan berdampak pada munculnya aksi-aksi kekerasan dan terorisme bukan saja di Timur Tengah, tapi juga menyasar terhadap semua kepentingan Amerika dan Israel di seluruh dunia.

Mungkin juga tidak pernah terpikirkan oleh Trump bahwa pencaplokan Yerusalem Timur dan Barat dan pengakuannya sebagai ibukota Israel justru akan mempersatukan masyarakat dunia untuk melawannya. Terutama negara-negara Eropa utama. 

Coba bayangkan, 1018 tokoh Eropa yang mewakili 25 negara mau menandatangani petisi yang mengecam dan menolak keras skema pencaplokan Tepi Barat. Di antara mereka adalah 240 anggota parlemen Inggris. Lebih dari itu, Parlemen dan Senat Prancis serta organisasi-organisasi masyarakat sipil telah menuntut secara resmi sanksi terhadap Israel.

Yang juga di luar dugaan banyak pihak, pun mungkin oleh Trump dan Netanyahu, rencana aneksasi Tepi Barat justru mempersatukan dua faksi utama Palestina, Fatah dan Hamas. Mereka mengesampingkan perbedaan yang telah berlangsung selama bertahun-tahun dan bersatu untuk menghadapi rencana Trump dan Netanyahu untuk menggabungkan Tepi Barat ke Negara Israel.

Persatuan dua faksi itu diumumkan pada Jumat lalu, dalam sebuah konferensi pers bersama, oleh sekretaris Komite Sentral ‘Fatah’ Gabriel Rahoub dan wakil kepala biro politik ‘Hamas’ Saleh Arouri. ‘’Kedua faksi sepakat mengadopsi posisi Palestina bersatu melawan aneksasi Israel terhadap Tepi Barat,’’ kata Rahoub. ‘’Kami ingin membuka halaman baru. Waktunya telah tiba bagi kami bekerja sama melawan PM Netanyahu dan Presiden Trump yang telah mengancam  kepentingan nasional kami,’’ sambung Arouri.

 
Kini genderang perang telah ditabuh. Selanjutnya terserah kepada Tuan Netanyahu dan Trump, apakah mereka benar-benar akan mengobarkan perang atau tidak.
 
 

Kedua pihak sepakat menggalang perlawanan rakyat semesta melawan rancangan Trump dan Netanyahu mencaplok wilayah-wilayah Palestina. Persatuan dua faksi ini telah disetujui Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan kepala biro politik Hamas Ismail Haniyeh. ‘’Jika aneksasi benar-benar dilaksanakan, pasukan kami akan bergerak. Kami tidak akan mengibarkan bendera putih. Kami juga tidak akan menderita dan mati sendirian. Kami adalah pejuang,’’ lanjut Rahoub. ‘’Kami tidak akan kompromi. Rencana aneksasi Tepi Barat adalah serius, yang akan menghapus cita-cita Negara Palestina Merdeka,’’ tambah Arouri.

Menurut Nabil Amr, kolomnis dan politisi Palestina, persatuan Fatah dengan Hamas menunjukkan satu konsensus telah disepakati, yaitu menolak keras aneksasi. Cara perlawanan dan dosisnya berbeda-beda sepanjang Fatah pembuat keputusan di Tepi Barat dan Hamas di Gaza. Di Tepi Barat, mereka lebih suka berjuang lewat jalur politik dan aksi-aksi kemarahan lewat demonstrasi besar-besaran. Sedangkan di Gaza, mereka mengangkat slogan perjuangan bersenjata. Kedua cara ini dinyatakan sebagai sikap resmi, yang akan diikuti oleh para pendukung dua kekuatan utama Palestina.

Kini genderang perang telah ditabuh. Selanjutnya terserah kepada Tuan Netanyahu dan Trump, apakah mereka benar-benar akan mengobarkan perang atau tidak. Bila perang yang akan dipilih, bisa dipastikan aksi-aksi kekerasan akan muncul di mana-mana. Bukan hanya di Timur Tengah, tapi juga akan meluas di berbagai negara, yang menyasar kepentingan Israel dan Amerika. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat