Tema Utama
Pesona Taman Dalam Peradaban Islam
Catatan terawal tentang taman berasal dari Mesopotamia.
OLEH HASANUL RIZQA
Taman merupakan wujud apresiasi manusia terhadap keindahan dan keselarasan. Eksistensi taman dimulai sejak ribuan tahun silam di berbagai penjuru dunia. Dalam peradaban Islam, hadirnya taman dilatari keimanan akan adanya surga. Alquran pun berkali-kali melukiskan janah bak taman menakjubkan tempat orang-orang beriman yang diridhai-Nya.
Setua peradaban manusia
Taman memiliki fungsi sosial dan estetika sebagai sarana rekreasi, edukasi, dan komunikasi warga. Keberadaannya juga men jaga kesegaran udara sekaligus ketersediaan air tanah. Dalam perencanaan kota-kota modern, ruang terbuka hijau (RTH) wajib ada. Wujudnya boleh berupa taman yang dapat diakses siapa saja. Di Indonesia, RTH paling sedikit mencakup 30 persen dari keseluruhan luas wilayah suatu kota.
Bila menilik sejarah, tak ada yang bisa memastikan kapan dan di mana taman pertama kali dibuat. Yang jelas, budaya bercocok tanam mulai dikenal manusia sejak 10 ribu tahun sebelum Masehi (SM). Tom Turner dalam Garden History (2004) mengatakan, catatan terawal tentang taman dapat dilacak dari peninggalan kebudayaan yang hidup 4000 SM di Mesopotamia (kini Irak). Daerah berbentuk oval antara Sungai Eufrat dan Tigris itu --sehingga dijuluki Bulan Sabit Subur (Fertile Crescent)-- merupakan tempat lahirnya peradaban tertua dalam sejarah.
Epos Gilgames dibuat pada masa imperium pertama yang menguasai kawasan Mesopotamia, Akkadia. Teks berusia 1400 SM itu berkisah tentang sosok pahlawan mitis Gilgames yang dianggap sebagai penguasa pada milenium ketiga SM. Sang raja dalam karya sastra itu dituturkan memerintah suatu kota yang sepertiga wilayahnya adalah taman.
Sejak abad ke-18 SM, Babilonia meneruskan kebesaran Akkadia di Mesopotamia. Kerajaan yang beribu kota di Babilon (kini Hilla, Irak) itu dipimpin Raja Nebukadnezar II antara tahun 605 dan 562 SM. Pada masa kekuasaannya, Taman Gantung Babilonia diyakini mulai dibangun sebagai sebuah persembahan bagi istrinya, Ratu Amuhia. Sebab, perempuan itu disebut-sebut merindukan kampung halamannya di Media (Iran) yang memiliki kontur perbukitan dan lembah yang asri.
Deskripsi tentang Taman Gantung Babilonia cenderung mengandalkan teks-teks Yunani dan Romawi yang muncul antara abad kedua dan pertama SM. Mereka menilai taman tersebut begitu indah sehingga layak digolongkan sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia kuno --di samping Piramida Giza, Kuil Ar temis, Patung Zeus di Olimpia, Kuburan Mausolus, Patung Raksasa Dewa Helios di Rhodes, dan Mercusuar Aleksandria.
Bentuk kompleks taman itu berbukit-bukit sehingga menampilkan kesan seolah-olah pepohonan yang ada di atasnya menggantung. Air mengalir dari tempat yang paling tinggi menuju ke bagian dasar, selayaknya air terjun.
Hingga kini, kalangan sejarawan masih memperdebatkan, apakah Taman Gantung Babilonia sungguh-sungguh ada atau sekadar kiasan dalam teks Mesopotamia. Memang, dari berbagai inskripsi tentang Nebukadnezar, tak ada yang menyebutkan secara lengkap ihwal taman. Para arkeolog pun belum menemukan situs apa pun yang dapat menjadi bukti eksistensinya.
Dr Stephanie Dalley dari Oxford University pada 2013 lalu mengeklaim, taman itu pernah ada, tetapi lokasinya di Nineveh --sekitar 480 kilometer arah utara Babilon. Hal itu berdasarkan riset yang ia lakukan selama 20 tahun terakhir atas warisan peradaban Mesopotamia Kuno.
Salah satu teks yang menjadi perhatiannya ialah inskripsi tentang Sennacherib. Raja Babilonia periode 705-681 SM itu memuji istananya sendiri yang menjadi keajaiban bagi banyak orang. Taman di istana itu memiliki air terjun dengan memanfaatkan teknologi baling-baling Archimedes untuk memompa airnya. Ekskavasi terkini di Nineveh menemukan bukti-bukti pendukung adanya sistem irigasi masa lalu.
Salah satu prasasti yang berhasil ditemukan mencantumkan, "Sennacherib, sang raja diraja ... Dengan ini, aku membangun saluran air untuk Nineveh dan sekitarnya."
Menurut Dalley, ada kemungkinan para pengelana dari abad pertama SM keliru lantaran menganggap Nineveh dan Babilon sebagai kota yang sama. Alhasil, mereka menyebut salah satu keajaiban dunia kuno itu sebagai Taman Gantung Babilon, alih-alih Taman Gantung Nineveh. Namun, kekeliruan atau fatamorgana sejarah ini dapat dipahami. Sebab, sewaktu menaklukkan Nineveh, Raja Sennacherib menetapkan ibu kotanya, Nineveh, sebagai Babilon Baru.
Filosofi taman
Taman dibangun atas dasar filosofi, yaitu kehendak untuk menciptakan suatu kawasan tertutup yang di dalamnya manusia dapat menemukan kebahagiaan dan kesempurnaan. Taman Gantung Babilonia, misalnya, menutup suatu area di kawasan tandus dan menyulapnya menjadi tanah yang subur dengan memanfaatkan sistem irigasi yang canggih pada masanya.
Ratu Amuhia pun dapat mengobati rasa rindunya terhadap Media, tanah kelahirannya, yang hijau dan rindang. Kompleks yang dibangun oleh suaminya itu seolah-olah menjadi dunia baru yang terpisah dari keseluruhan Babilon.
Seturut dengan filosofi ini, bagian terpenting dari taman justru adalah pagar. Dengannya, batas antara dunia yang diimpikan dan dunia faktual (baca: tak teringinkan) menjadi jelas. Ini pula yang tampak dari pemaknaan taman secara etimologis. Kata garden ('taman') berakar dari bahasa Inggris Kuno, geard, yang berarti 'pagar'. Paradise ('surga'), kata yang mengambil dari bahasa Persia Kuno pairidaeza, juga mengandung makna 'tertutup'.
Dalam Perjanjian Baru, tempat tinggal Adam dan Hawa sebelum diturunkan ke bumi disebut sebagai taman --Taman Eden. Sementara itu, Alquran melukiskan surga bak taman yang ditumbuhi buah-buahan yang bebas dikonsumsi oleh mereka, kecuali satu pohon saja.
Dan (Allah berfirman), "Wahai Adam! Tinggallah engkau bersama istrimu dalam surga dan makanlah apa saja yang kamu berdua sukai. Tetapi, janganlah kamu berdua dekati pohon yang satu ini. (Apabila didekati) kamu berdua termasuk orang-orang yang zalim." (QS al-A'raf:19).
Oleh karena terpikat rayuan setan, leluhur umat manusia itu justru memakan buah dari pohon terlarang. Allah Ta'ala kemudian menurunkan mereka ke bumi. Keturunan Adam dan Hawa dari masa ke masa terus berupaya membawa kembali surga ke bumi dalam wujud taman.
Alquran juga menyinggung tentang taman dari zaman Mesir kuno. Surah asy-Syu'ara ayat 57 menuturkan nasib Fir'aun dan para pengikutnya yang dikeluarkan dari taman-taman dan mata air karena mereka hendak mengejar Bani Israil sampai ke Laut Merah.
Alquran juga menyinggung tentang taman dari zaman Mesir kuno.
Menurut Ali Akbar dalam Arkeologi Al-Qur'an (2020), ada kemungkinan taman dan mata air itu ialah Kuil Karnak di Luxor. Inilah kompleks kuil terbesar yang eksis pada era ribuan tahun SM di Mesir. Selama ratusan tahun, beberapa penguasa Mesir --yang bergelar fir'aun-- mengembangkan kompleks seluas lebih dari 5.000 meter persegi itu.
Selain ratusan pilar raksasa, danau dan mata air juga dapat dijumpai dalam Kuil Karnak. Bahkan, Akbar menjelaskan, beberapa mata air setempat hingga kini masih berfungsi dengan baik. Bisa dibayangkan, betapa indahnya situs tersebut pada masa itu.
Menurut Turner, taman-taman yang dibangun peradaban Mesir Kuno dapat digolongkan menjadi lima jenis, yakni taman kuil, taman warga, taman istana, taman buah dan sayur-mayur, serta habitat pepohonan dan satwa. Semuanya mengandalkan Sungai Nil sebagai sumber pengairan. Keanekaragaman taman itu juga menunjukkan, betapa tingginya pengetahuan bangsa setempat mengenai tata ruang.
Masih banyak peradaban kuno lainnya yang turut membangun taman-taman indah. Satu contoh ialah India. Sejumlah teks, semisal Ramayana atau Mahabharata, menyebutkan taman sebagai latar kisah para pahlawan cerita. Teks Lalit Vistara, yang berpusat pada kisah Siddharta Gautama alias Buddha, menyebutkan Vaishali (kini Bihar, India) sebagai salah satu kota yang begitu kaya akan taman.
Penguasa Anak Benua India dari Dinasti Maurya, Ashoka, terinspirasi gambaran tentang taman-taman mempesona dalam teks-teks religius Buddha. Ia pun membangun beragam taman di setiap kota yang dikuasainya. Mulai dari taman buah, taman bunga, hingga kebun herbal.
Tiap jenis taman serta metode berkebun diistilahkan dengan nama-nama tertentu. Umpamanya, vatika merujuk pada taman kecil yang terdapat di halaman rumah warga. Kemudian, margeshu vriksha merupakan teknik menanam dan menata pepohonan di pinggir jalan umum. Fungsinya untuk menambah kesegaran udara kota dan juga tempat orang berteduh.
Barangkali, filosofi taman tampak paling jelas pada peradaban Persia. Di wilayah-wilayah lain, taman dibangun pada suatu lanskap alami yang sudah memiliki sumber air, seperti sungai atau mata air, dan tanah yang subur.
Sementara itu, kontur tanah Persia cenderung kasar dan gersang, terutama di kawasan dataran tinggi. Alhasil, taman-taman di wilayah tersebut muncul seolah-olah dari ketiadaan. Ada perbedaan yang amat kontras antara kompleks taman dan area sekitarnya.
Di Persia, baik dalam periode sebelum maupun setelah Masehi, taman-taman biasanya dibangun di atas lahan yang dikelilingi pagar batu. Di dalamnya, ada paviliun atau tembok-tembok besar yang dapat dipakai pengunjung untuk tempat berteduh dari terik matahari.
Aliran air dirancang sedemikian rupa sehingga tak hanya berfungsi untuk mengairi tanaman, tetapi juga menciptakan suasana segar, misalnya, melalui kolam-kolam air mancur. Pepohonan ditanam di atas juy, yakni semacam selokan yang dapat mencegah penguapan sehingga air dapat diserap maksimal oleh akar pohon.
Membawa citra surga ke bumi
Islam menghadirkan pencerahan bagi perkembangan peradaban manusia. Pada masa keemasan, umat agama ini berinteraksi dengan banyak kebudayaan besar, seperti Yunani, Persia, Romawi Timur (Bizantium), Cina, atau India. Para pemikir Muslim mengambil apa-apa yang bermanfaat sekaligus tidak bertentangan dengan ajaran Alquran dan Sunnah.
Kecenderungan demikian amat berbeda dengan yang mengemuka saat itu. Peradaban Yunani, misalnya, hanya mau mengambil pengetahuan dari ilmuwan-ilmuwan mereka sendiri.
Begitu pula dengan Persia, India, atau Cina. Dengan hadirnya Islam, sains dan ilmu pengetahuan yang lahir dan berkembang di masing-masing peradaban dibebaskan dari sekat-sekat wilayah sehingga lebih kentara sifat universalnya.
Dengan hadirnya Islam, sains dan ilmu pengetahuan yang lahir dan berkembang di masing-masing peradaban dibebaskan dari sekat-sekat wilayah sehingga lebih kentara sifat universalnya.
Muslimin pada zaman itu mengambil inspirasi dari filosofi Yunani Kuno terkait keindahan. Menurut Plato dan Aristoteles, keindahan dan kenikmatan berkaitan dengan kesempurnaan. Artinya, semakin sempurna sesuatu, maka ia akan kian dipandang indah serta menimbulkan perasaan bahagia bagi yang memilikinya.
Dalam ajaran Islam, Allah merupakan Zat Yang Mahasempurna. Dialah sumber keindahan. Kebahagiaan hanya dapat diraih melalui ridha-Nya. Inilah yang menjadi semangat kreasi para seniman dan arsitek Muslim, termasuk dalam membangun taman.
Penulis Garden History (2004) Tom Turner mengatakan, tujuan desain taman-taman Islam ialah menghadirkan citra tempat yang sempurna, yakni surga, kepada khalayak. Penghuni surga kelak merupakan orang-orang yang beriman dan diridhai-Nya. Maka dari itu, membangun sebuah taman tak ubahnya mengajak orang-orang di dunia untuk merenungi hubungan mereka dengan Tuhan.
Tujuan desain taman-taman Islam ialah menghadirkan citra tempat yang sempurna, yakni surga, kepada khalayak.
Berbeda dengan peradaban-peradaban sebelumnya, Islam menolak paganisme. Agama ini melarang makhluk bernyawa direpresentasikan dalam wujud patung atau sejenisnya.
Alhasil, ekspresi keindahan dihadirkan dalam bentuk lain, semisal dekorasi atau pola-pola geometris yang rumit. Dengan demikian, lanjut Turner, arsitektur Islam tak hanya mengandalkan imajinasi atau kreativitas, melainkan juga perhitungan sains aritmatika dan matematis.
Menurut Turner, ada dua jenis taman yang umumnya terdapat dalam peradaban Islam, yakni taman masjid, madrasah, serta taman istana. Agama ini mengajarkan, tempat ibadah (masjid) tak hanya yang berupa bangunan konkret, lengkap dengan dinding, pintu, dan atap. Seluruh muka bumi ini dapat berfungsi sebagai tempat sujud orang-orang beriman.
Nabi Muhammad SAW bersabda, "Dijadikan bumi ini sebagai masjid dan suci-menyucikan (HR Bukhari)." Keyakinan ini mendasari desain banyak masjid pada era klasik bahkan hingga saat ini.
Tempat jamaah shalat tidak hanya di dalam ruangan, melainkan juga area lapangan luas yang berlapis permukaan batu atau marmer. Bentuk kubah sebagai atap masjid mengadopsi dari arsitektur Bizantium, yang bentuk monumentalnya dapat dijumpai pada Hagia Sophia di Konstantinopel (Istanbul, Turki).
Kolam itu berfungsi sebagai tempat mengambil air wudhu.
Sementara itu, taman madrasah biasanya tidak hanya dilengkapi dengan berbagai tanaman atau pepohonan, melainkan juga kolam air mancur. Kolam itu berfungsi sebagai tempat mengambil air wudhu. Desainnya juga dibuat sedemikian rupa sehingga menjadi lokasi yang sesuai untuk orang-orang melepas lelah atau kontemplasi. Adapun taman istana acap kali dibuat dalam kompleks benteng atau tempat tinggal raja.
Berbagai pepohonan dan tanaman bunga terdapat di sana. Begitu pula kolam air dengan ukuran yang lebih luas daripada taman masjid atau madrasah.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.