Ilustrasi seniman banting setir jadi tukang ojek. | ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA

Kisah Dalam Negeri

Terpaksa Banting Setir dari Seniman Jadi Tukang Ojek

Beryl Gondrong berharap dapat tampil lagi bermain lenong bersama seniman lainnya.

MEILIZA LAVEDA 

Hiruk pikuk kehidupan di perlintasan rel Kereta Rel Listrik (KRL) Stasiun Pasar Minggu, Jakarta Selatan kembali hadir di tengah pandemi Covid-19. Di sekitar bibir gang yang terletak di Jalan Raya Pasar Minggu sudah dipenuhi beberapa pedagang asongan, penumpang KRL, serta ojek pangkalan (opang). Tak disangka, di barisan pertama, terlihat Beryl Gondrong (50 tahun), seorang panjak, pemain Lenong asal Condet. Dengan masker dan mata jelinya, ia sedang menunggu penumpang yang minta diantar. Bunyi bising sirene begitu memekak telinga. Suara itulah yang menemaninya sepanjang hari. Sejak Maret lalu, seniman itu beralih profesi menjadi opang Stasiun Pasar Minggu.

Beryl mulai menunggu penumpang dari pukul 06.00 WIB hingga malam hari. Bekerja mulai dari matahari terbit hingga tenggelam terpaksa ia lakukan demi mencari sesuap nasi untuk istri dan ketiga anaknya.

Pendapatan sehari, terkadang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dapur dan iuran kontrak bulannya. Kalau sedang ramai, Beryl bisa mengantongi Rp 200 ribu. Sedangkan jika sepi penumpang, ia hanya mendapat Rp 50 ribu.

“Sehari bisa tiga sampai lima kali narik. Kurang lebih segitu ya. Ya hasilnya sebenarnya nggak cukup,” kata Beryl saat ditemui Republika, beberapa waktu lalu. 

Raut wajah Beryl berubah menjadi sedih lantaran rindu berpentas bersama rekan-rekannya. Terakhir pentas, kata dia, dalam acara Indonesia Bersatu pada Januari lalu. Peran sebagai babe ia biasa lakoni. Dilengkapi dengan kostum sadariah Betawi, kopiah, dan sarung yang dikalungkan di leher.

Kini, rasa rindunya harus ia rasakan entah sampai kapan. Kendati demikian, Beryl tak bosan menunggu panggilan pementasan. “Ini lagi nungguin job dari sanggar Opet Robert. Katanya ada rencana bulan November. Belum tahu pastinya,” ujar dia. 

Selain sebagai panjak, Beryl kerap menghiasi acara di stasiun televisi, seperti acara Facebook dan hadir di beberapa sinetron. Sayangnya selama pandemi, tawaran pekerjaan tak kunjung datang. 

Hal serupa juga dirasakan Addin Ikhwani (25) yang juga berprofesi sebagai panjak dan pemain musik gambang kromong. Addin mengatakan, sebenarnya pada Maret lalu, sudah mendapatkan tawaran bermain. Namun, semua jadwal pementasan terpaksa batal karena pandemi. 

photo
Para seniman betawi turut memerihkan pentas donasi virtual untuk pekerja seni di Gedung Kesenian Jakarta, Ahad (28/6). Pentas donasi virtual dalam rangka ulang tahun kota Jakarta ke 493 tersebut sekaligus penggalangan dana bagi pekerja seni yang terdampak Covid-19 - (Republika/Prayogi)

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ia hanya berprofesi sebagai guru seni di salah satu sekolah di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Tentunya sebagai guru, pendapatannya masih kurang untuk membantu kedua orang tuanya yang sudah tua. Terlebih, ia tinggal bersama adiknya juga. Maka dari itu, Addin kerap berjualan makanan via daring. Ia menceritakan, rekan senimannya, juga mengganti profesi sebagai wirausaha kecil-kecilan.

 
Teman-teman dari sanggar lain sekarang juga jadi wirausaha. Jualannya beragam mulai dari pakaian hingga makanan. Yang penting prinsipnya ada pemasukan buat keluarga.
ADDIN IKHWANI, Pemain musik gambang kromong
 

 

Biasanya saat situasi normal, dalam sepekan, ia bisa dapat dua kali tawaran pementasan. Sehingga kalau sebulan dia bisa mendapat bayaran setara upah minimum regional (UMR). 

Namun, sampai saat ini, Addin belum bisa tampil di panggung. Ia mengaku tidak bisa menghilangkan rasa rindunya tampil dalam pementasan. Menurutnya, walaupun selama masa transisi ini sudah dilakukan latihan bersama rekan-rekannya, hal tersebut tetap terasa berbeda.

“Sekarang kan sudah masa transisi ya, sudah ada latihan gitu. Tapi rasanya tetap beda ya dari tampil di panggung,” kata dia.

Ketua Komunitas Sanggar Ondel-Ondel DKI Jakarta Yogie Ahmad memaparkan, dampak Covid-19 juga dirasakan seniman ondel-ondel. Seharusnya saat ini rekan komunitasnya sudah mendapat berlimpah tawaran pementasan. Namun, terpaksa batal lantaran wabah Covid-19.

“Yang mirisnya ada rekan seniman yang jual alat-alat mereka. Ada yang jual gendang atau tehyan. Malahan ada yang jual ondel-ondelnya. Itu kan buat mata pencaharian mereka,” kata Yogie. 

Sebagai ketua komunitas, ia merasa bertanggung jawab untuk mencari bantuan. Selain mencari bantuan, ia juga menghabiskan kas komunitas untuk membantu para seniman ondel-ondel.

Kan Jakarnaval 2019 dapat banyak. Uangnya enggak diabisin. Saya sisakan untuk pemasukan kas. Sewaktu-waktu ada biaya darurat. Eh bener aja pas pandemi gini jadi habis. Pemerintah harus lebih memperhatikan nasib para seniman,” ujar dia.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat